al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Berbusana modis ala zaman ‘sesuai anggapan mereka’ lengkap dengan sepatu berhak tinggi merupakan pemandangan yang terlalu sering dan sangat biasa terlihat di luar sana. Seakan-akan semua itu merupakan penampilan yang harus diikuti oleh perempuan modern.
Sepatu berhak tinggi yang dianggap kelayakan dari sebuah penampilan ini sungguh merupakan musibah, karena terlalu banyak perempuan (baca: muslimah) yang tergoda untuk memakainya. Padahal kalau mau dirunut, budaya memakai alas kaki “kelebihan hak” ini bukanlah dari Islam. Lantas, budaya dari mana? Kita pun teringat dengan perempuan Bani Israil atau Yahudi, bagaimana mereka mengada-ada dalam berhias sehingga terjatuh dalam pelanggaran syariat.
Sebagai contoh, akan kita bawakan beberapa kabar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan atsar sahabat tentang hal tersebut.
Sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkisah,
كَانَتِ امْرَأَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ قَصِيْرَةٌ تَمْشِي مَعَ امْرَأَتَيْنِ طَوِيْلَتَيْنِ، فَاتَّخَذَتْ رِجْلَيْنِ مِنْ خَشَبٍ وَخَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ مُغْلَقٍ مُطْبَقٍ، ثُمَّ حَشَتْهُ مِسْكًا وَهُوَ أَطْيَبُ الطِّيْبِ، فَمَرَّتْ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ فَلَمْ يَعْرِفُوْهَا
“Ada seorang wanita bertubuh pendek dari kalangan Bani Israil berjalan bersama dua wanita yang berpostur tinggi. Yang bertubuh pendek memakai dua kaki dari kayu (semacam sandal atau sepatu untuk menambah tingginya) dan mengenakan cincin dari emas yang digantung, yang ditutup. Kemudian dia memenuhinya dengan misik yang merupakan minyak wangi paling harum. Lalu dia lewat di antara dua wanita yang tinggi sementara mereka tidak mengenalinya.” (HR. Muslim, kitab al-Alfazh, no. 5842)
Said ibnul Musayyab rahimahullah, tokoh ulama tabi’in, berkata, “Muawiyah radhiallahu ‘anhu datang ke Madinah, lalu berkhutbah dan mengeluarkan gelungan rambut[1].
Beliau pun berkata,
مَا كُنْتُ أَرَى أَنَّ أَحَدًا يَفْعَلُهُ إِلاَّ الْيَهُوْدُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ بَلَغَهُ فَسَمَّاهُ الزُّوْرَ
‘Semula aku tidak mengira bahwa ada seseorang yang melakukannya[2] selain Yahudi. Sesungguhnya telah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (berita) tentang menyambung rambut, maka beliau menamakannya dengan kedustaan’.” (HR. Muslim, kitab al-Libas, no. 5545)
Abdur Razzaq ash-Shan’ani rahimahullah, alim dari negeri Yaman pada masanya, membawakan riwayat Aisyah radhiallahu ‘anha yang berkata,
كَانَ نِسَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ يَتَّخِذْنَ أَرْجُلاً مِنْ خَشَبٍ يَتَشَرَّفْنَ لِلرِّجَالِ فِي الْمَسَاجِدِ، فَحَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِنَّ الْمَسَاجِدَ وَسُلِّطَتْ عَلَيِهْنَّ الْحَيْضَةُ
“Dahulu para perempuan Bani Israil mengenakan kaki-kaki dari kayu agar mereka terlihat lebih tinggi oleh para lelaki di masjid-masjid. Allah subhanahu wa ta’ala kemudian mengharamkan bagi mereka mendatangi masjid dan ditimpakan kepada mereka haid.” (Mushannaf Abdur Razzaq 3/149)
Kata Ibnu Hajar rahimahullah, “Sanadnya sahih.”
Beliau rahimahullah juga berkata, “Walaupun hadits ini mauquf (ucapan sahabat, yaitu Aisyah radhiallahu ‘anha), tetapi hukumnya marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sebab, urusan seperti ini tidak bisa dikatakan bersumber dari pendapat sendiri atau akal-akalan. Maksud ‘ditimpakan kepada mereka haid’ dalam hadits di atas adalah masa haid perempuan Bani Israil panjang. Mereka harus menjalani waktu yang lama untuk sampai kepada masa suci. Hal ini termasuk hukuman yang ditimpakan akibat perbuatan mereka yang disebutkan dalam hadits.” (Fathul Bari, 2/407)
Maksud ‘kaki-kaki dari kayu’ menjadi lebih jelas dengan atsar dari sahabat yang mulia, Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, yang diriwayatkan oleh Ishaq ibnu Rahuyah rahimahullah dalam Musnadnya (2/147),
كَانَ نِسَاءُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ يَتَّخِذْنَ قَوَالِبَ …
Kata قَوَالِب adalah bentuk jamak dari قاَلِبٌ , artinya ‘sandal dari kayu’. (Lisanul ‘Arab, maddah qalaba, 1/689)
Berita tentang perbuatan perempuan Yahudi dan kerusakan yang mereka adaadakan adalah bukti bahwa sumber mayoritas kejelekan dan kerusakan di muka bumi ini adalah mereka, bangsa Yahudi.
Kita tidak heran dengan ulah bangsa yang dimurkai[3] dan dilaknat ini[4] karena mereka memang cinta kerusakan dan membenci perbaikan, cinta kekafiran dan benci kepada keimanan berikut ahlul iman[5], kecuali mereka yang Allah subhanahu wa ta’ala muliakan dengan mendapat petunjuk.[6]
Karena ulah kaum perempuan Yahudi tersebut, kaum lelaki mereka tergoda. Kita pun teringat dengan hadits yang menyatakan bahwa bencana pertama yang menimpa Bani Israil bersumber dari kaum perempuannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَاتَّقُوْا الدُّنْيَا وَاتَّقُوْا النِّسَاءَ، فَإِنَّ أوَّلَ فِتْنَةِ بَنِي إِسْرَائِيِلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ
“Hati-hatilah kalian dari dunia dan hati-hatilah dari wanita[7], karena sesungguhnya awal bencana yang menimpa Bani Israil adalah pada godaan wanita.” (HR. Muslim, kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a, no. 6883)
Nah, sepatu tinggi ternyata diadopsi dari kaki kayu yang dibuat oleh perempuan Yahudi untuk mengesankan tubuhnya lebih tinggi dari yang sebenarnya. Kita katakan seperti ini karena merekalah yang pertama kali berhias dan tampil di hadapan lelaki dengan model seperti itu, sebagaimana tersebut dalam hadits.
Jadi, memakai sandal atau sepatu tinggi berarti bertasyabbuh (menyerupai atau meniru) dengan Yahudi, padahal mereka adalah orang-orang kafir penghuni neraka. Tasyabbuh dengan ashabun nar (penghuni neraka) dalam hal yang merupakan kekhususan mereka adalah terlarang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan dalam haditsnya,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka.” (HR. Abu Dawud, kitab al-Libas, no. 4031. Dinyatakan sahih dalam Shahih al-Jami’, 2/1059)
Menyerupai orang kafir secara lahiriah akan mengantarkan kepada penyerupaan secara batin. Tasyabbuh dengan orang yang buruk adalah keburukan dan sebaliknya tasyabbuh dengan orang yang baik adalah kebaikan.
Apabila ada yang bertanya, “Bagaimana apabila perempuan yang mengenakan sepatu tinggi tersebut tidak berniat tasyabbuh sama sekali?”
Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya, al-Iqtidha’, berikut ini adalah jawabannya. Beliau rahimahullah menyatakan bahwa termasuk tasyabbuh dengan orang kafir ialah melakukan sesuatu yang asalnya merupakan perbuatan mereka.
Berdasarkan hal ini, wanita yang memakai sepatu tinggi berarti ber-tasyabbuh dengan wanita kafir, walaupun tujuannya bukan meniru mereka. Hanya saja, karena asal perbuatan tersebut diambil dari mereka, jadilah yang berbuat terjatuh dalam tasyabbuh.
Ternyata, bukan hanya kerusakan tasyabbuh yang dihindari dari pemakaian sepatu berhak tinggi ini. Namun, ada kerusakan atau pelanggaran lain pada pemakaiannya. Apakah itu? Perempuan yang keluar rumah memakai sepatu atau sandal bertumit tinggi telah melanggar salah satu adab syar’i bagi muslimah saat keluar rumah.
Adab yang dimaksud adalah tidak bersengaja memperdengarkan suara langkah kaki atau apa yang tersembunyi di baliknya dari perhiasan yang dikenakan, seperti suara gelang kaki. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan….” (an-Nur: 31)
Apabila perempuan bersepatu tinggi melangkah, satu, dua, tiga langkah, dan seterusnya…. Apakah Anda mendengar suara sepatunya? Ya…. tuk…tuk…tuk atau suara semacam itu. Belum lagi apabila dia mengenakan gelang kaki, tentu lebih ramai lagi suaranya.
Kata Ummu Abdillah al-Wadi’iyah hafizhahallah, seorang penuntut ilmu senior dari negeri Yaman, putri al-Muhaddits asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’I rahimahullah, “Kita ditimpa bencana di zaman ini dengan al-ka’bul ‘ali (alas kaki bertumit tinggi). Kita dapati perempuan mengenakannya. Saking tingginya sandal tersebut, sampai memiliki suara (saat dipakai melangkah). Kadang si perempuan bertingkah genit ketika berjalan.[8]
Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat. Jika dia keluar rumah, setan memerhatikannya dan menghiasinya (dalam pandangan lelaki[9]).” (HR. at-Tirmidzi, kitab ar-Radha’, no. 1173, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Misykat no. 3109 dan al-Irwa’ no. 273. Lihat Nashihati lin Nisa’, hlm. 99)
Ada lagi satu madarat ketika perempuan mengenakan alas kaki yang tinggi. Si perempuan menghadapkan dirinya kepada bahaya, yaitu bisa saja terpeleset jatuh saat berjalan karena hak tinggi yang dikenakannya. Apalagi ketika dia berjalan terburu-buru.
Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ ketika ditanya tentang hukum memakai sepatu hak tinggi bagi wanita memberikan jawaban sebagai berikut.
“Memakai sepatu hak tinggi tidak diperbolehkan. Sebab, perempuan yang memakainya bisa terjatuh. Sementara itu, syariat ini memerintah manusia untuk menjauhi segala yang berbahaya, semisal keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Janganlah kalian menjatuhkan diri-diri kalian kepada kebinasaan.” (al- Baqarah: 195)
“Janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (an-Nisa: 29)
Selain itu, sepatu ini menampakkan perawakan si perempuan lebih dari yang semestinya (tampak lebih tinggi) sehingga ada unsur tadlis (menipu, menampakkan kepalsuan).
Di samping itu, mengenakan sepatu tinggi berarti memperlihatkan sebagian perhiasaan perempuan mukminah (di hadapan lelaki yang tidak halal melihatnya)[10]. Hal ini dilarang berdasar firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Janganlah mereka (para perempuan) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, ayah-ayah mereka, mertua lelaki mereka, anak-anak lelaki mereka, anak-anak lelaki dari suami mereka, saudara-saudara lelaki mereka, anak-anak lelaki dari saudara-saudara lelaki mereka (keponakan), anak-anak lelaki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan mereka.” (an-Nur: 31) (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, hlm. 475)
Yang jelas, seorang muslimah yang taat bukanlah pengikut setiap gaya dan mode yang ditawarkan di luar sana. Seorang muslimah sejati bukanlah seseorang yang latah atau ikut-ikutan dengan manusia di sekitarnya.
Dia adalah seseorang yang selalu berpegang dan terikat dengan aturan agamanya. Dia selalu memerhatikan, apakah sesuatu itu sesuai dengan ketentuan agamanya atau tidak? Adakah pelanggaran ataukah tidak? Apabila ternyata melanggar dan berbahaya, dia tidak merasa berat untuk meninggalkannya.
Nasihat untuk muslimah, jadilah seorang yang memerhatikan perhiasan untuk negeri akhiratmu, beroleh keridhaan sang Rabb. Sebab, sebentar lagi akan tiba hari perjumpaan dengan-Nya.
Janganlah perhatian diri hanya tertuang untuk berhias di negeri dunia hingga tidak peduli, apakah melanggar aturan Rabb atau tidak. Agama kita tidak melarang berhias dan berpenampilan, namun tentu dengan sesuatu yang tidak melanggar syariat dan mengandung dosa.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[1] Rambut palsu ini biasa dipakai oleh wanita untuk disambungkan dengan rambut aslinya.
[2] Menyambung rambut.
[3] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman menyebutkan doa orang-orang beriman yang memohon kepada-Nya ash-shirathal mustaqim dan berlindung dari jalan Yahudi,
“… bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai….” (al-Fatihah)
[4] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Yahudi,
“Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil lewat lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Hal itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
Mereka tidak saling melarang terhadap perbuatan mungkar yang mereka lakukan. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu lihat kebanyakan dari mereka berloyalitas dengan orang-orang kafir. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka dan mereka akan kekal dalam azab.” (al-Maidah: 78—80)
[5] Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Sungguh-sungguh kamu akan mendapati manusia yang paling sengit permusuhannya terhadap orang-orang
yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik.” (al-Maidah: 82)
[6] Di antara orang-orang Yahudi yang beroleh kemuliaan dengan petunjuk tersebut ialah Ummul Mukminin Shafiyyah bintu Huyai radhiallahu ‘anha dan sahabat yang mulia, Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya.
[7] Maknanya, hindarilah, jangan sampai kalian para lelaki tergoda dengan perempuan. (al-Minhaj, 17/58)
[8] Karena sepatu yang tinggi mendorong pemakainya berlenggak-lenggok ketika berjalan, dan ini bisa kita buktikan.
[9] Akibatnya lelaki tergoda dengannya.
[10] Dalam hal ini sepatu tinggi tersebut merupakan perhiasan si perempuan yang sengaja dipakainya untuk memberi nilai lebih atau menambah indah penampilannya.