Waktu-waktu Shalat Sunnah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)

 

1. SHALAT DHUHA

Shalat dhuha dikerjakan pada siang hari. Waktunya yang utama/afdhal disebutkan dalam hadits di bawah ini:

Zaid bin Arqam z melihat orang-orang sedang shalat dhuha, maka ia berkata: Ketahuilah, orang-orang itu sungguh mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu ini lebih utama. Rasulullah n bersabda:

صَلاَةُ الْأَوَّابِيْنَ حِيْنَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ

“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743)

Waktu yang demikian itu, kata Al-Imam Ash-Shan’ani t adalah ketika matahari telah tinggi dan panasnya terasa. (Subulus Salam, 3/50)

Al-Imam An Nawawi t berkata, “Ar-Ramdha’ adalah pasir yang panasnya bertambah sangat karena terbakar matahari. Shalat awwabin adalah saat kaki-kaki anak unta yang masih kecil terbakar karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas. Awwab adalah orang yang taat. Ada yang mengatakan awwab adalah orang yang kembali dengan melakukan ketaatan. Dalam hadits ini ada keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dhuha, walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari sampai tergelincirnya.” (Al-Minhaj, 6/272)

Ucapan beliau t bahwa waktu shalat dhuha yaitu mulai terbitnya matahari sampai zawal tentunya tidak persis saat terbitnya matahari, karena adanya larangan yang datang dalam hadits lain untuk mengerjakan shalat di waktu tersebut seperti hadits berikut ini:

Dari Ibnu Umar c, ia berkata: Rasulullah n bersabda:

وَلاَ تَحَرَّوْا بِصَلاَتِكُم طُلُوْعَ الشَّمْسِ وَلاَ غُرُوْبَهَا، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بِقَرْنَيْ شَيْطَانٍ

“Janganlah kalian memilih untuk mengerjakan shalat kalian ketika terbit matahari dan tidak pula ketika tenggelam matahari, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Al-Bukhari no. 582, 3272 dan Muslim no. 1922)

Uqbah bin Amir z berkata:

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ، أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ…

“Ada tiga waktu di mana Nabi n melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi….” (HR. Muslim no. 1926)

Demikian pula hadits ‘Amr bin ‘Abasah z yang menyebutkan sabda Rasulullah n kepadanya:

صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ….

“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari….” (HR. Muslim no. 1927)

Adapun hadits Abud Darda’ dan Abu Dzar c yang mengabarkan dari Rasulullah n, dari Allah k, bahwasanya Dia berfirman:

ابْنَ آدَم، اِرْكَعْ لِي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ، أَكْفِكَ آخِرَهُ

“Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat dari awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Demikian juga dalam riwayat Ahmad (4/153) dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani z disebutkan dengan lafadz:

إِنَّ اللهَ k يَقُوْلُ: يَا ابْنَ آدَمَ، اكْفِنِي أَوَّلَ النَّهَارِ بِأَرْبَعِ رَكَعَاتٍِ، أَكْفِكَ بِهِنَّ آخِرَ يَوْمِكَ

“Sesungguhnya Allah k berfirman: ‘Wahai anak Adam, cukupi Aku pada awal siang dengan empat rakaat niscaya Aku akan mencukupimu dengannya pada akhir harimu’.”

Maka yang dimaksud awal siang dalam dua hadits di atas bukan persis setelah shalat subuh, karena adanya hadits Rasulullah n:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

Al-Imam Asy-Syaukani t menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya shalat dhuha. Al-Imam An-Nawawi t dalam Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk dengan terbitnya matahari, akan tetapi disenangi mengakhirkannya sampai matahari tinggi. Sebagian dari mereka berpendapat, waktunya mulai masuk saat matahari tinggi. Pendapat ini yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar, 2/329)

Dalam Zadil Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari selesainya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.”

Kata pensyarahnya, “Yakni dari naiknya matahari seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat dengan matahari berada di tengah langit. Waktunya yang paling utama adalah apabila panas matahari terasa menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/176)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t menyatakan bahwa ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya sekitar satu meter1. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal siang sampai datangnya waktu larangan di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena adanya hadits Nabi n tentang shalat awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/88)

 

Nabi n Mengerjakan Shalat Dhuha setelah Siang Meninggi

Dalam peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani x mengabarkan:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n أَتَى بَعْدَ مَا ارْتَفَعَ النَّهَارُ يَوْمَ الْفَتْحِ، فَأُتِيَ بِثَوْبٍ فَسُتِرَ عَلَيْهِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ قَامَ، فَرَكَعَ ثَمَانِي رَكَعَاتٍ…

“Rasulullah n datang pada hari Fathu Makkah setelah siang meninggi, lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat….” (HR. Muslim no. 1665)

 

2. SHALAT WITIR

Shalat witir merupakan shalat nafilah yang dilakukan di malam hari dengan bilangan ganjil dan merupakan akhir dari shalat lail/tahajjud, berdasarkan sabda Rasulullah n:

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا

“Jadikanlah witir sebagai akhir shalat kalian di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 998 dan Muslim no. 1752)

Ketika ada seseorang bertanya kepada Rasulullah n tentang shalat lail, beliau n menjawab:

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى، فَإِذَا خَشِيَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً تُوْتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى

“Shalat lail itu dikerjakan dua rakaat, dua rakaat. Apabila salah seorang dari kalian mengkhawatirkan masuknya shalat subuh maka ia mengerjakan shalat satu rakaat sebagai pengganjil (witir) dari shalat yang telah dikerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 990 dan Muslim no. 1745 )

Waktu shalat witir terus berlangsung sampai saat sahur sebagaimana kabar Ummul Mukminin Aisyah x tentang witir Rasulullah n:

كُلُّ اللَّيْلِ أَوْتَرَ رَسُوْلُ اللهِ n وَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ

“Seluruh waktu malam Rasulullah n pernah mengerjakan shalat witir dan berakhir witir beliau sampai waktu sahur.” (HR. Al-Bukhari no. 996 dan Muslim no. 1735)

Dalam lafadz lain:

مِنْ كُلِّ اللَّيْلِ قَدْ أَوْتَرَ رَسُوْلُ اللهِ n مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ وَأَوْسَطِهِ وَآخِرِهِ، فَانْتَهَى وِتْرُهُ إِلَى السَّحَرِ

“Dari setiap (waktu) malam Rasulullah pernah mengerjakan shalat witir, dari awal malam, tengah dan akhirnya. Berakhir witir beliau sampai sahur.” (HR. Muslim no. 1734)

Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Malam hari seluruhnya merupakan waktu untuk mengerjakan shalat witir. Namun ulama sepakat bahwa awal waktunya adalah saat hilangnya syafaq setelah shalat Isya. Demikian yang dinukilkan Ibnul Mundzir. Sebagian mereka memutlakkan bahwa waktu witir itu dimulai (mulai masuk) dengan masuknya waktu Isya….” (Fathul Bari, 2/626)

Al-Imam An-Nawawi t menyatakan, “Hadits ini menunjukkan bolehnya mengerjakan witir pada seluruh waktu malam setelah masuknya waktu witir. Ulama berbeda pendapat tentang awal waktu witir. Yang shahih dalam mazhab kami dan yang masyhur menurut Asy-Syafi’i serta pengikut mazhabnya adalah waktu witir masuk setelah selesai mengerjakan shalat Isya, dan terus berlangsung waktunya sampai terbitnya fajar….” (Al-Minhaj, 6/267)

Waktu yang utama/afdhal untuk mengerjakan witir adalah di akhir malam, seperti yang ditunjukkan dalam hadits Jabir z, ia berkata: Rasulullah n bersabda:

مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُوْمَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوْتِرْ أَوَّلَهُ، وَمَنْ طَمَعَ أَنْ يَقُوْمَ آخِرَهُ، فَلْيُوْتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ، فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُوْدَةٌ، وَذلِكَ أَفْضَلُ

“Siapa yang khawatir tidak dapat bangun untuk shalat di akhir malam maka hendaklah ia berwitir di awal malam. Siapa yang sangat berkeinginan untuk bangun di akhir malam maka hendaklah ia mengerjakan witir di akhir malam, karena shalat di akhir malam itu disaksikan dan yang demikian itu lebih utama.” (HR. Muslim no. 1763)

Dalam hadits di atas ada dalil yang sharih/jelas bahwa mengakhirkan pelaksanaan witir sampai akhir malam itu lebih utama/afdhal bagi orang yang yakin dapat terbangun di akhir malam. Namun bagi orang yang tidak yakin dapat bangun di akhir malam, maka yang utama baginya adalah mengerjakan witir di awal malam. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah z, ia berkata:

أَوْصَانِي خَلِيْلِي n بِثَلاَثٍ: بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيِ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَنَامَ

“Kekasihku n mewasiatkan kepadaku (agar mengerjakan) tiga perkara (yaitu) puasa tiga hari setiap bulannya, dua rakaat dhuha dan agar aku berwitir sebelum tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 1981 dan Muslim no. 1669)

Dengan datangnya subuh, berakhirlah waktu shalat witir. Rasulullah n bersabda:

أَوْتِرُوْا قَبْلَ أَنْ تُصْبِحُوا

“Kerjakanlah oleh kalian shalat witir sebelum kalian berada di waktu subuh.” (HR. Muslim no. 1761)

Demikian juga hadits Ibnu Umar c:

مَنْ صَلَّى مِنَ اللَّيْلِ فَلْيَجْعَلْ آخِرَ صَلاَتِهِ وِتْرًا، فَإِنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ يَأْمُرُ بِذَلِكَ، فَإِذَا كَانَ الْفَجْرُ فَقَدْ ذَهَبَ كُلُّ صَلاَةِ اللَّيْلِ وَالْوِتْرِ

“Siapa yang shalat di malam hari, hendaklah ia menjadikan akhir shalatnya itu witir, karena Rasulullah n memerintahkan yang demikian itu. Apabila fajar telah datang maka berakhirlah seluruh shalat lail dan witir.” (HR. Al-Hakim dalam Mustadrak 1/302. Al-Imam Adz-Dzahabi menshahihkannya dalam At-Talkhis. Al-Hafizh berkata (Fathul Bari, 2/618), “Hadits ini dishahihkan oleh Abu ‘Awanah dan selainnya, dari jalan Sulaiman bin Musa, dari Nafi’, dari Ibnu Umar.”)

 

3. SHALAT IDUL FITHRI DAN IDUL ADHA

Yazid bin Khimyar mengabarkan:

خَرَجَ عَبْدُ اللهِ بْنُ بُسْرٍ صَاحِبُ رَسُوْلِ اللهِ n مَعَ النَّاسِ فِي يَوْمِ عِيْدِ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى، فَأَنْكَرَ إِبْطَاءَ الْإِمَامِ، فَقَالَ: إِنَّا كُنَّا قَدْ فَرَغْنَا سَاعَتَنَا هَذِهِ، وَذَلِكَ حِيْن التَّسْبِيْحِ

“Abdullah bin Busr z sahabat Rasulullah n keluar (untuk mengerjakan shalat) bersama orang-orang pada hari Idul Fithri atau Idul Adha. Ia pun mengingkari keterlambatan imam. Ia berkata, ‘Sungguh kami dahulu telah selesai dari mengerjakan shalat id pada waktu kita sekarang ini.’ Waktu pelaksanaan shalat id itu ketika waktu tasbih.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq dan Abu Dawud dalam Sunan-nya secara maushul no. 1135, dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud dan juga dalam Al-Irwa’ 3/101)

Dalam hadits di atas, Abdullah bin Busr z mengingkari terlambatnya imam keluar ke tanah lapang untuk mengimami jamaah shalat id. Dulunya di waktu seperti itu, mereka telah selesai melaksanakan shalat id bersama Rasulullah n. Waktu itu adalah ketika dilaksanakannya shalat dhuha. Al-Qasthalani t berkata, “Waktu tasbih adalah waktu shalat nafilah (sunnah) apabila telah berlalu waktu karahah.” (Aunul Ma’bud, kitab Ash-Shalah, bab Waqtul Khuruj ilal ‘Id)

Al-Imam Ibnu Qudamah t dalam Al-‘Umdah mengatakan, “Waktu shalat id dimulai dari naiknya matahari dan berakhir ketika zawal.” (Al-‘Uddah Syarhul ‘Umdah, hal. 108)

Dalam Zadil Mustaqni’ disebutkan, “Waktu id sama dengan waktu shalat dhuha.” (Zadil Mustaqni’ dengan Ar-Raudhul Murbi’, 1/237)

Ibnu Hazm t berkata: “Yang sunnah dalam pelaksanaan shalat id adalah penduduk setiap kampung atau kota keluar menuju tanah lapang luas yang ada di tempat tinggal/daerah mereka pada pagi hari saat matahari telah naik dan memutih, dan ketika mulai dibolehkannya melakukan shalat sunnah (dengan berlalunya waktu karahah, pent.). Setelahnya, imam datang lalu maju ke depan shaf, tanpa didahului dengan azan ataupun iqamah, lalu imam pun shalat (mengimami manusia)….” (Al-Muhalla, 3/293)

Al-Hafizh Ibnu Hajar t menyatakan: Ibnu Baththal berkata: “Fuqaha sepakat bahwa shalat id tidak boleh dilaksanakan sebelum terbit matahari dan tidak pula tepat saat matahari terbit. Shalat id hanya boleh dilaksanakan ketika telah diperkenankan melaksanakan shalat sunnah (karena telah berlalunya waktu karahah, pent.).” (Fathul Bari, 2/589)

Adapun hadits marfu’ yang membedakan waktu pelaksanaan shalat idul fithri dan idul adha, kalau idul fithri saat matahari naik/tingginya seukuran dua tombak, adapun idul adha saat matahari naik/tingginya seukuran satu tombak dari hadits Jundab z:

كَانَ النَّبِيُّ n يُصَلِّي بِنَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَالشَّمْسُ عَلَى قَيْدِ رُمْحَيْنِ وَالْأَضْحَى عَلَى قَيْدِ رُمْحٍ

“Adalah Nabi n shalat mengimami kami pada hari idul fithri dalam keadaan matahari tingginya seukuran dua tombak dan pada hari idul adha dalam keadaan matahari tingginya seukuran satu tombak.” (Hadits ini diriwayatkan dalam Al-Adhahi oleh Al-Hasan ibn Ahmad Al-Banna’2)

Al-Imam Asy-Syaukani t berkata, “Hadits ini yang paling bagus dari riwayat-riwayat tentang penentuan pasti waktu shalat id.” Namun, kata Al-Imam Al-Albani t, “Memang demikian, hanya saja hadits ini tidak shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 347)

Karena dalam sanadnya ada Al-Mu’alla bin Hilal, dia seorang pendusta. Kata Al-Hafizh t dalam Taqrib-nya, “Al-Mu’alla bin Hilal disepakati kedustaannya oleh para imam pengkritik rawi.”

Ada juga riwayat Al-Imam Asy-Syafi’i  t dalam Musnad­-nya (no. 322) secara mursal:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ n كَتَبَ إِلَى عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ وَهُوَ بِنَجْرَانَ: أَنْ عَجِّلِ الْأَضْحَى وَأَخِّرِ الْفِطْرَ وَ ذَكِّرِ النَّاسَ

Bahwasanya Nabi menulis surat kepada ‘Amr bin Hazm ketika sedang berada di Najran, yang isinya, “Segerakanlah shalat idul adha, akhirkanlah shalat idul fithri, dan berikanlah peringatan/nasihat kepada manusia.”

Namun kata Al-Allamah Shiddiq Hasan Khan t, “Dalam sanad hadits ini ada Ibrahim bin Muhammad, guru Asy-Syafi’i. Dia perawi yang dhaif/lemah. Sungguh telah terjadi kesepakatan atas faedah yang diberikan oleh hadits-hadits tersebut, sekalipun hujjah tidak dapat ditegakkan dengan semisal hadits-hadits tersebut.” (Ar-Raudhatin Nadiyah dengan At-Ta’liqat Ar-Radhiyah, 1/387)

 

Apabila Hari Id Baru Diketahui Setelah Zawal

Apabila kita terlambat mengetahui datangnya hari Id dan sudah berlalu waktu disyariatkannya shalat id karena matahari telah tergelincir/zawal, maka kita melaksanakan shalat id pada esok paginya sebagai qadha shalat id yang terluputkan. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 1/211)

Dalilnya adalah hadits berikut ini:

Dari Abu ‘Umair bin Anas, dari paman-pamannya yang merupakan sahabat Rasulullah n dari kalangan Anshar, mereka berkata, “Tertutup (awan/mendung) bagi kami hilal (bulan muda, sebagai pertanda awal masuknya bulan hijriyah, pent.) bulan Syawwal. Maka kami berpagi hari dalam keadaan tetap berpuasa (karena menyangka masih bulan Ramadhan/yakni menggenapkan Ramadhan 30 hari, pent.). Lalu pada akhir siang datanglah serombongan musafir yang berkendaraan menemui Rasulullah n. Mereka bersaksi bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka Rasulullah n memerintahkan orang-orang untuk berbuka puasa (membatalkan puasa yang sedang dikerjakan karena sudah berlalu bulan Ramadhan, pent.) pada hari mereka tersebut. Dan agar pagi hari besok mereka menuju tanah lapang mereka untuk melaksanakan shalat id.” (HR. Abu Dawud no. 1157, Ahmad 5/57, dll. Dishahihkan Al-Imam Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)

Seandainya boleh mengerjakan shalat id setelah zawal niscaya Nabi n tidak mengakhirkannya sampai keesokan harinya. (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 1/211)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


1 Al-Imam Al-Albani t ketika ditanya tentang kadar rumh/satu tombak, beliau mengatakan dua meter bila dikiaskan dengan ukuran yang ada pada hari ini. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 2/167)

2 Ahli fiqih dan muhaddits bermazhab Hambali, wafat 471 H. (Syadzaratudz Dzahab 3/338-339)