Tayammum

Tayammum tentu bukanlah amalan yang asing lagi bagi masyarakat kita meski barangkali kita jarang melakukannya karena kita hidup di lingkungan yang memiliki persediaan air yang melimpah. Namun akan lebih baik jika kita mengilmui tata cara tayammum yang dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu saat mungkin kita harus melakukannya.

Penjelasan tentang wudhu dan perkara-perkara yang bersangkutan dengannya telah kita ketahui dan telah lewat pembahasannya. Permasalahan berikutnya adalah masalah tayammum dan beberapa perkara yang berhubungan dengannya. Adapun syariat tayammum ini Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Sempurna kasih sayang-Nya pada hamba-hamba-Nya berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:

وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ أَوۡ لَٰمَسۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ مَا يُرِيدُ ٱللَّهُ لِيَجۡعَلَ عَلَيۡكُم مِّنۡ حَرَجٖ وَلَٰكِن يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمۡ وَلِيُتِمَّ نِعۡمَتَهُۥ عَلَيۡكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ٦

“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar) atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau bersyukur.” (al-Maidah: 6)

 

Tayammum Khusus bagi Umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Syariat tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي مِنَ الْأَنْبِيَاءِ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيْرَةَ شَهْرٍ، وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا

“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (al-Majmu’ 2/239)

menepuk-tanah

Pengertian Tayammum

Tayammum secara bahasa diinginkan dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja.” Sedangkan makna tayammum apabila ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja menggunakan tanah/debu untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai niat,” sehingga dengan perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. (Fathul Bari, 1/539)

Tata Cara Tayammum

‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan hal tersebut kepada beliau, beliau pun bersabda,

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini.” Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya[1], kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)

Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi:

وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

“Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

Dari hadits Ammar radhiallahu ‘anhu di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara tayammum itu adalah:

  1. Memukulkan dua telapak tangan ke tanah/debu dengan sekali pukulan
  2. Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan tersebut
  3. Mengusap wajah lebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya mengusap wajah.

 

Berniat

Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Niat tempatnya di dalam hati, tidak dilafadzkan.

Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hlm. 60)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (al-Majmu’, 2/254)

Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari al-Auza’i[2] dan al-Hasan bin Saleh yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (al-Mughni, 1/158)

Memukulkan Dua Telapak Tangan ke Tanah/Debu dengan Sekali Pukulan

Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat al-Imam Ahmad, ‘Atha’, Makhul, al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir, dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut Tatsrib 1/269—270, Adhwa’ul Bayan, tafsir surat al-Maidah ayat 6, masalah ke-2)

Ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam.

Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ، ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ

“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183)

Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, ad-Daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan selainnya

(at-Talkhis 1/237, Adhwa’ ul Bayan, tafsir surat al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam at-Taqrib (hlm. 341), “Dha’if.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/tata cara tayammum tidak ada yang sahih kecuali hadits Abul Juhaim ibnul Harits al-Anshari[3] dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (Fathul Bari, 1/554)

Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad hadits dalam at-Talkhis 1/236—240 no. 206—208.

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (Subulus Salam, 1/149)

Dalam hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2)

Selain itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata al-Imam asy-Syaukani rahimahullah: “Aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368)

 

Meniup atau Mengibaskan Debu dari Dua Telapak Tangan

Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekadarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (Syarah Shahih Muslim, 4/62)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata, “(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meniup  tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)

Kata Ibnu Qudamah rahimahullah, “Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar radhiallahu ‘anhu disebutkan bahwa setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. al-Imam Ahmad rahimahullah menyatakan, “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (al-Mughni, 1/155)

 

Mengusap Wajah Sebelum Mengusap Dua Telapak Tangan

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir surat al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4).

Al-‘Allamah asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menghikayatkan kesepakatan pengikut mazhab Syafi’i dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya al-Imam Malik rahimahullah dan mayoritas pengikut beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”

Sementara al-Imam Ahmad rahimahullah dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir surat al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul Bari, 1/440)

Namun yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut ini :

  1. Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai al-Imam Ahmad rahimahullah berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab al-Hambali, 2/90).
  2. Mendahulukan wajah merupakan dzahir al-Qur’an karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ

“Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (al-Maidah: 6)

Dalam ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

“Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)

Dalam riwayat an-Nasa’i disebutkan dengan lafadz perintah,

ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ

“Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. an-Nasa’i no. 2913)

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat Allah subhanahu wa ta’ala,

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلۡمَرۡوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِۖ

“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (al- Baqarah: 158)

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari Shafa lebih-lebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar radhiallahu ‘anhu dalam riwayat al-Bukhari no. 347[4], “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)

Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah lebih-lebih dahulu baru tangan[5] –dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan tangan lebih-lebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan (al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu a’lam.

 

Batasan Tangan yang Harus Diusap

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah, dan dinukilkan pula pendapat ini dari Malik.

Al-Imam al-Khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits dan al-Imam asy-Syafi’i berpendapat seperti ini dalam al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam at-Tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan sahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti asy-Sya’bi, ‘Atha’ dan Makhul. (Sunan at-Tirmidzi, 1/97)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku[6]. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi[7]. Pembicaraan tentang hadits ini sudah kita singgung dalam masalah memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan yang haditsnya dha’if atau mauquf.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang sahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku. al-Imam Ahmad rahimahullah menyatakan, ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50)

Ada pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273).

Ibnu Hazm membicarakan hadits ini dalam al-Muhalla (1/373—374), dan berkata, “Yang wajib bagi kita adalah kembali pada al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana Allah memerintah kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Jadi, kalau mau melakukannya, kita akan mendapatkan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.”

Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberikan batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan.

Demikian juga kita yakin apabila Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu.

Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah k tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Jadi, tidak wajib dalam tayammum selain mengusap wajah dan kedua tangan.”

Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah dalam Fathul Bari (2/56) berkata, “Hadits ini sangat mungkar dan terus-menerus ahlul ilmi mengingkarinya.” Guru kami al-Muhaddits asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i rahimahullah juga menyatakannya dha’if.

Al-Imam az-Zuhri rahimahullah sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah, “Hadits ini telah diingkari oleh az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata, ‘Hadits ini tidak dianggap oleh manusia’. Setelah itu az-Zuhri menahan diri menyampaikan hadits ini. Beliau pun berkata, “Hadits ini tidak boleh diamalkan.” (Fathul Bari, al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali, 2/57)

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah dan selainnya mengatakan, “Apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang sahih yang datang belakangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang jadi hujah adalah apa yang beliau perintahkan. Yang menguatkan riwayat ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah ‘Ammar bin Yasir rahimahullah (sahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum –pen.) memfatwakan hal tersebut setelah meninggalnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentu perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, lebih-lebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55, Subulus Salam 1/150, Adhwa’ul Bayan, tafsir surat al-Maidah 6, masalah ke-3)

 

Perselisihan tentang Pengusapan Wajah

Al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i, al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut tipis yang menampakkan kulit maupun yang tidak.

Adapun pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Ini adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin Yahya an-Naisaburi dan al-Jauzajani. Sebab, mereka berpandangan, mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari, Ibnu Rajab, 2/50, al-Muhalla, 1/368)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Thaharah tayammum ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada para hamba-Nya. Hal ini tentu berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan, dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan padanya karena sulit diusap seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis. Jadi, yang diusap hanyalah yang zahir (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis, air wajib disampaikan ke pangkal rambut tersebut.” (asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349)

Dalam hal ini, penulis lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh asy- Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, karena zahir nash yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari zahirnya.

Jadi, dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyelanyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya.

Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari


[1] Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)(ed)

[2]  Tharhut Tatsrib, al-Imam al-‘Iraqi, 1/268

[3]  Abul Juhaim radhiallahu ‘anhu berkata,

أَقْبَلَ النَّبِيُّ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ بِوَجْهِهِ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ فَمَسَحَ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok -pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)

[4] Yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ammar radhiallahu ‘anhu,

إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى الْأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini.” Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” ( HR. al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)

[5] Disebutkan dalam riwayat,

وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

“Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

[6] Seperti pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan pengikut keduanya, ats-Tsauri, Ibnu Abi Salamah, dan al-Laits. Demikian pula pendapat Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam, Ibnu Nafi’, dan Isma’il al-Qadhi. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)

[7] Dengan lafadz,

التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ، ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ

“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”

Comments are closed.