Di Balik Rumah Tangga Rasul (2)

Kesabaran yang luar biasa menghadapi tingkah istri, kelembutan tiada tara, tiada membalas kejelekan dengan kejelekan, keadilan, kesetiaan, tidak melupakan cinta dan kebaikan, dan sebagainya dari sifat-sifat keutamaan adalah perangai yang melekat erat pada diri Sang Rasul dalam posisi beliau sebagai seorang suami.

Alangkah indahnya penggambaran diri beliau sebagai pendamping hidup para wanita.

Kesabaran Menghadapi Istri

Tidak pernah diketahui ada suami yang paling sabar dan paling menahan diri dalam menghadapi kelakuan istri yang tidak semestinya daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal beliau adalah manusia yang paling tinggi kedudukannya dan paling mulia derajatnya di sisi al-Khaliq dan di sisi para hamba.

Banyak kisah yang menjadi bukti akan hal ini, di antaranya berikut.

  1. Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkisah dengan panjang yang penggalannya sebagai berikut.

“Kami orang- orang Quraisy menguasai istri-istri kami[1]. Namun, ketika kami datang (ke Madinah) dan tinggal di kalangan orang-orang Anshar, kami dapatkan mereka itu dikalahkan istri-istri mereka. Mulailah istri-istri kami mengambil adab/kebiasaan wanita-wanita Anshar. Suatu hari, aku menghardik istriku dan bersuara keras padanya, ia pun menjawab dan membantahku. Aku mengingkari perbuatannya yang demikian.

“Mengapa engkau mengingkari apa yang kulakukan, sementara demi Allah, istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mendebat beliau, sampai-sampai salah seorang dari mereka memboikot beliau dari siang sampai malam,” kata istriku membela diri.

Berita itu mengejutkan aku, “Sungguh merugi orang yang melakukan hal itu dari mereka,” kataku kepada istriku. Lalu kukenakan pakaian lengkapku dan turun menemui Hafshah, putriku.

“Wahai Hafshah, apakah benar salah seorang kalian ada yang marah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari siang sampai malam?” tanyaku.

“Ya,” jawab Hafshah.

“Sungguh merugi yang melakukan hal itu,” tanggapku. “Apakah kalian merasa aman dari kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala karena kemarahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kamu pun binasa? Jangan kamu banyak menuntut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jangan kamu mendebat beliau dalam satu perkara pun dan jangan memboikotnya. Minta saja kepadaku apa yang ingin kamu minta. Jangan tertipu dengan keberadaan madumu yang lebih cantik darimu dan lebih dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Yang dimaksud Umar radhiallahu ‘anhu adalah Aisyah radhiallahu ‘anhu…. (HR. al-Bukhari no. 4913, 5191 dan Muslim)

Lihatlah bagaimana Umar radhiallahu ‘anhu tersentak dengan berubahnya keadaan istrinya yang sekarang berani membantahnya. Namun, ternyata Umar radhiallahu ‘anhu dapati berita yang lebih membuatnya terkejut bahwa Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima sikap demikian dari istri-istri beliau.

Bagaimana halnya dengan diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri?

Ternyata beliau bersabar menghadapi sikap istri-istri beliau, menanggung kemarahan mereka, sampai-sampai mereka mendiamkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Masya Allah! Padahal siapakah beliau? Beliau bukan orang biasa, tapi seorang nabi yang sangat mulia dan imam yang agung.

Tidaklah beliau bersikap demikian kecuali karena besarnya sifat hilm[2] beliau dan kuatnya kesabaran beliau.

  1. Yang lebih mengagumkan lagi dari diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun istrinya menunjukkan kejengkelan terhadap beliau, namun beliau tetap lemah lembut kepada mereka. Seakan-akan mereka tidak berbuat salah. Aisyah radhiallahu ‘anha memberitakan,

قَالَ لِي رَسُوْلُ اللهِ: إِنِّي لَأَعْلَمُ إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةٌ , وَ إِذَا كُنْتِ عَلَيَّ غَضْبَى.قَالَتْ: فَقُلْتُ: مِنْ أَيْنَ تَعْرِفُ ذلِكَ؟ فَقَالَ: أَمَا إِذَا كُنْتِ عَنِّي رَاضِيَةٌ فَإِنَّكِ تَقُوْلِيْنَ: لاَ وَرَبِّ مُحَمَّدٍ. وَإِذَا كًنْتِ غَضْبَى قُلْتِ: لاَ وَرَبِّ إِبْرَاهِيْمَ. قَالَتْ: قُلْتُ: أَجَلْ وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا أَهْجُرُ إِلاَّ اسْمَكَ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Aku sungguh mengetahui kapan engkau ridha kepadaku dan kapan engkau marah kepadaku.”

Aisyah berkata, “Aku katakan, ‘Dari mana Anda tahu hal itu?’

“Jika engkau sedang ridha kepadaku, engkau akan berkata, ‘Tidak! Demi Rabb Muhammad.’ Namun, jika engkau sedang marah kepadaku, engkau berkata, ‘Tidak! Demi Rabb Ibrahim,” jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kata Aisyah, “Benar, demi Allah, wahai Rasulullah! Yang aku tinggalkan tidak lain hanyalah sebutan namamu[3].” (HR. al-Bukhari no. 5228)

  1. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengisahkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumah salah seorang istri beliau. Lalu salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau dengan diantar oleh seorang pelayan.

Istri yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di rumahnya tersebut memukul tangan si pelayan hingga jatuhlah piring yang berada di tangannya. Akibatnya piring tersebut pecah dan makanan yang ada di atasnya berceceran.

Mulailah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring tersebut berikut makanan yang berceceran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibu kalian sedang cemburu.”

Kemudian beliau menahan pelayan tersebut agar tidak kembali hingga didatangkan kepadanya piring milik istri yang rumahnya sedang didiami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Piring yang masih bagus (utuh tidak pecah) tersebut diserahkan lewat si pelayan untuk istri yang piringnya dipecahkan sebagai ganti rugi. Piring yang pecah ditahan di rumah istri yang memecahkan.” (HR. al-Bukhari no. 5225) .

Lihatlah lagi sifat hilm Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istri beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diboikot seharian, tidak disebut namanya, salah seorang istrinya dengan sengaja memecahkan piring milik istri yang lain di hadapannya lantaran cemburu, lalu beliau sendiri yang mengumpulkan pecahan piring dan makanan yang berceceran, luar biasa!

Beliau hadapi semua itu dengan menahan diri, bersabar dan memaafkan, sementara beliau sangat bisa memarahi istri-istri beliau bahkan menceraikan mereka hingga Allah subhanahu wa ta’ala menggantikan untuk beliau dengan istri-istri yang lebih baik, seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala janjikan dalam ayat,

عَسَىٰ رَبُّهُۥٓ إِن طَلَّقَكُنَّ أَن يُبۡدِلَهُۥٓ أَزۡوَٰجًا خَيۡرٗا مِّنكُنَّ مُسۡلِمَٰتٖ مُّؤۡمِنَٰتٖ قَٰنِتَٰتٖ تَٰٓئِبَٰتٍ عَٰبِدَٰتٖ سَٰٓئِحَٰتٖ ثَيِّبَٰتٖ وَأَبۡكَارٗا ٥

“Jika Nabi menceraikan kalian, Allah akan memberi ganti kepada beliau dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian; yang patuh tunduk berserah diri (kepada Allah), yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang ahli ibadah, yang gemar berpuasa, yang janda ataupun yang perawan.”[4] (at-Tahrim: 5)

Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang sangat pengasih dan penyayang, suka memaafkan dan melupakan kesalahan yang diperbuat kepadanya. Tidak ada perbuatan tidak pantas yang ditujukan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali menambah pada diri beliau sifat al-hilm.

Kesetiaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Kepada Cintanya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suami yang setia dengan cintanya kepada istri-istrinya, tidak melupakan kebaikan mereka, terutama kepada Khadijah radhiallahu ‘anha, sampai-sampai membuat Aisyah radhiallahu ‘anha cemburu. Padahal Khadijah radhiallahu ‘anha telah wafat dan keduanya pun sebelumnya tidak pernah bersua. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ اللهِ كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ، لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهِ.

“Tidak pernah aku cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terhadap Khadijah, karena beliau sering sekali menyebut dan memujinya.” (HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 6228, 6230)

Dengarkan ungkapan kecemburuan Aisyah radhiallahu ‘anha kepada Khadijah radhiallahu ‘anha,

كَأَنَّهَ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ: إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ.

“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu[5], dan aku mendapat anak darinya.” (HR. al-Bukhari no. 3818)

Sampai pun Khadijah radhiallahu ‘anha telah wafat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap terkenang kepadanya, kepada cinta dan pengorbanannya yang besar. Untuk menyambung ‘rasa’ tersebut, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuat baik kepada sahabat-sahabat sang istri. Seperti kabar dari Aisyah radhiallahu ‘anha,

وَرُبَّمَا ذَبَحَ الشَّاةَ ثُمَّ يُقَطِّعُهَا أَعْضَاءً ثُمَّ يَبْعَثُهَا فِي صَدَائِقِ خَدِيْجَةَ

“Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelih kambing kemudian memotongnya menjadi beberapa bagian, lalu mengirimnya kepada teman-teman Khadijah.” (HR. al-Bukhari no. 3818)

Dalam riwayat Muslim, disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menitahkan,

أَرْسِلُوْا بِهَا إِلَى أَصْدِقَاءِ خَدِيْجَةَ. قَالَتْ: فَأَغْضَبْتُهُ يَوْمًا فَقُلْتُ: خَدِيْجَة؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ :إِنِّي قَدْ رُزِقْتُ حُبَّهَا

“Kirimkanlah daging-daging ini kepada para sahabat Khadijah.”

Kata Aisyah, “Suatu hari aku marah kepada Rasulullah, aku berkata, “(Lagi-lagi) Khadijah?”

Rasulullah menjawab, “Sungguh, aku dianugerahi cintanya.” (HR. Muslim no. 6228)

Kenangan terhadap Khadijah radhiallahu ‘anha pun sempat tergugah manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara Halah radhiallahu ‘anha saudari Khadijah. Lagi-lagi Aisyah radhiallahu ‘anha sebagai penyampai ilmunya[6], “Halah bintu Khuwailid, saudari Khadijah, minta izin masuk ke kediaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam teringat dengan suara Khadijah saat minta izin (dahulu).

Beliau pun bergembira dengan kedatangan Halah. ‘Ya Allah, Halah bintu Khuwailid,’ seru beliau.” (HR. Muslim no. 6232)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senang dengan kunjungan Halah ke tempat beliau karena membuka kembali kenangan bersama Khadijah dan hari-hari indah yang dahulu dilalui bersamanya. Hal ini merupakan bukti penjagaan cinta (kesetiaan). Demikian keterangan an-Nawawi rahimahullah. (al-Minhaj, 15/198)

Contoh bukti kesetiaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berikutnya. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat takhyir,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ قُل لِّأَزۡوَٰجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيۡنَ أُمَتِّعۡكُنَّ وَأُسَرِّحۡكُنَّ سَرَاحٗا جَمِيلٗا ٢٨ وَإِن كُنتُنَّ تُرِدۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَ فَإِنَّ ٱللَّهَ أَعَدَّ لِلۡمُحۡسِنَٰتِ مِنكُنَّ أَجۡرًا عَظِيمٗا ٢٩

Wahai Nabi, Katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, marilah aku berikan mut’ah[7] untuk kalian dan aku ceraikan kalian dengan cara baik-baik. Dan jika kalian menghendaki keridhaan Allah dan Rasul-Nya serta kesenangan di negeri akhirat, sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar.” (al-Ahzab: 28—29)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Aisyah radhiallahu ‘anha untuk menawarkan pilihan yang disebutkan dalam ayat di atas. Aisyah radhiallahu ‘anha-lah istri beliau yang paling awal beliau berikan pilihan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiallahu ‘anha,

إِنِّي ذَاكِرٌ لَكِ أَمْرًا فَلاَ عَلَيْكِ أَنْ لاَ تَسْتَعْجِلِي حَتَّى تَسْتَأْمِرِي أَبَوَيكِ

“Aku akan menyebutkan kepadamu satu urusan. Namun, janganlah engkau terburu-buru memutuskan sampaikan engkau mengajak musyawarah kedua orang tuamu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyarankan Aisyah radhiallahu ‘anha untuk bermusyawarah dengan kedua orang tuanya, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu dan Ummu Ruman radhiallahu ‘anha, karena beliau meyakini bahwa kedua orang tua Aisyah radhiallahu ‘anha tidak mungkin menyuruh putrinya untuk memilih berpisah (bercerai) dari beliau. (HR. al-Bukhari, kitab ath-Thalaq, bab ke-6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan sabdanya kepada sang istri,

إِنَّ اللهَ قَالَ: يآ أَيُّهَا النَّبِيُّ قلْ لِأَزْوَاجِكَإِلَى تَمَامِ الْآيَتَيْنِ. فَقُلْتُ لَهُ: فَفِي أَي هذا أَسْتَأْمر أَبَوَيَّ؟ فَإِنِّي أُرِيْدُ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ وَ الدَّارَ الآخِرَةَ

Sungguh Allah telah menurunkan firman-Nya, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu….” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan dua ayat sampai sempurna.

Aku (Aisyah) katakan kepada beliau, “Apakah dalam urusan seperti ini aku perlu mengajak musyawarah kedua orang tuaku? Sungguh, aku menginginkan (memilih) Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat.” (HR. al-Bukhari no. 4785) (Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 6/243, karya al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dan ash-Shahihul Musnad min Asbab an-Nuzul, hlm. 164, karya asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i rahimahullah)

Ternyata Aisyah radhiallahu ‘anha bukanlah wanita yang mengejar kesenangan yang fana. Lihatlah pilihannya, “Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat.”

Setelah beroleh keputusan Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepada istri-istri beliau yang lain. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada mereka,

إِنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَذَا وَكَذَا. فَقُلْنَ: وَنَحْنُ نَقُوْلُ مِثْلَ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ كُلُهُنَّ

“Sungguh, Aisyah mengatakan ini dan itu….”

Para istri yang lain semuanya mengatakan kepada beliau, “Kami mengucapkan sebagaimana ucapan Aisyah.”

Padahal sebelumnya Aisyah radhiallahu ‘anha berpesan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ تُخْبِرْ أَزْوَاجَكَ أَنِّي اخْتَرْتُكَ

“Wahai Rasulullah, jangan beri tahu kepada istri-istrimu bahwa aku memilihmu.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

إِنَّمَا بَعَثَنِيَ اللهُ مُبَلِّغًا وَلَمْ يَبْعَثْنِي مُتَعَنِّتًا

“Aku diutus Allah subhanahu wa ta’ala hanyalah sebagai muballigh (penyampai) dan tidaklah aku diutus sebagai orang yang menyengsarakan.” (HR. al-Bukhari no. 5191 dan Muslim)

Semua istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa kecuali memilih Allah, Rasul-Nya, dan negeri akhirat. Hal ini menunjukkan bahwa didikan akhlak nubuwwah telah tertanam dalam sanubari mereka.

Mereka memilih sebagaimana pilihan sang Rasul untuk hidup zuhud dalam kehidupan dunia dan hanya berambisi meraih kebahagiaan di negeri yang kekal abadi. (Taisir al-Karim ar-Rahman, karya al-Imam as-Sa’di rahimahullah, hlm. 663)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


[1] Istri-istri mereka tidak berani melawan atau membantah suami.

[2] Hilm, kurang lebihnya kita maknakan sangat penyabar, tidak bertindak dengan emosi dan serampangan, namun tetap tenang dalam bersikap dan dalam mengambil keputusan atau tindakan. Dalam at-Ta’rifat, karya al-Jurjani al-Hanafi, disebutkan makna al-hilm adalah tetap tenang saat bergejolaknya kemarahan. Disebut pula bahwa al-hilm adalah menunda memberi balasan orang yang berbuat zalim. (hlm. 96)

[3] Kata Ibnul Munayyir, “Yang dimaukan Aisyah radhiallahu ‘anha adalah dia meninggalkan penyebutan nama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam secara lafadz (tidak mau menyebut nama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam karena sedang marah, namun kalbu Aisyah radhiallahu ‘anha tetap saja dipenuhi cinta kepada beliau radhiallahu ‘anha) dan tidak mengosongkan kalbunya dari rasa cinta dan kasih kepada diri beliau yang mulia.” (Fathul Bari, 9/405)

[4] Tatkala istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar ancaman dan peringatan dalam ayat ini, mereka bersegera membuat ridha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat cocok diterapkan pada diri mereka. Jadilah mereka wanita-wanita mukmin yang paling utama. Ini merupakan dalil bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah memilihkan untuk Rasul-Nya kecuali keadaan yang paling sempurna dan perkara yang paling tinggi. Ketika Allah subhanahu wa ta’ala memilih untuk Rasul-Nya agar tetap menahan istri-istri beliau yang disebutkan dalam ayat (tidak menceraikan mereka), hal ini menunjukkan mereka adalah sebaik-baik wanita dan paling sempurna. (Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 874)

[5] Yakni Khadijah radhiallahu ‘anha itu wanita yang memiliki keutamaan, wanita yang cerdas dan semisalnya. Dalam riwayat al-Imam Ahmad dari hadits Masruq dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Dia beriman kepadaku ketika semua manusia mengkufuriku. Dia membenarkan aku ketika semua manusia mendustakanku. Dia mendukungku dengan hartanya ketika manusia menahannya dariku, dan Allah subhanahu wa ta’ala memberi rezeki kepadaku berupa anak darinya ketika aku tidak mendapatkan anak dari istri-istriku yang lain.” (Fathul Bari, 7/170)

[6] Aisyah radhiallahu ‘anha adalah wanita cerdas yang faqih yang terlahir dari madrasah nubuwah. Beliau banyak mendengarkan hadits dan meriwayatkannya dari suaminya yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hidup berdampingan sebagai istri sang Rasul benar-benar digunakan Aisyah radhiallahu ‘anha dengan sebaik-baiknya untuk menimba ilmu dari beliau. Aisyah radhiallahu ‘anha terdepan dalam hal keilmuan dibanding para istri beliau yang lain, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya. Lebih dari itu, Aisyah radhiallahu ‘anha bahkan termasuk dari kalangan sahabat Rasul yang banyak menyampaikan hadits beliau.

Tentu untuk urusan dalam rumah sang Rasul, urusan beliau dengan istri-istrinya, kita dapati kabarnya dari orang dalam rumah beliau, yakni para istri beliau. Aisyah yang paling banyak menyampaikan ilmunya kepada kita. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai al-Humaira radhiallahu ‘anha.

[7] Mut’ah adalah pemberian sesuatu atau materi untuk menyenangkan istri yang dicerai.