Godaan Hawa Nafsu

Godaan Hawa Nafsu

Setan telah berikrar untuk menggoda manusia. Ia bersumpah di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala setelah Allah memutuskan bahwa dia harus keluar dari surga dalam keadaan terhina.

Iblis menjawab sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

قَالَ فَبِمَآ أَغۡوَيۡتَنِي لَأَقۡعُدَنَّ لَهُمۡ صِرَٰطَكَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ ١٦ ثُمَّ لَأٓتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيۡنِ أَيۡدِيهِمۡ وَمِنۡ خَلۡفِهِمۡ وَعَنۡ أَيۡمَٰنِهِمۡ وَعَن شَمَآئِلِهِمۡۖ وَلَا تَجِدُ أَكۡثَرَهُمۡ شَٰكِرِينَ ١٧

“Karena Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (al-A’raf: 16—17)

Qatadah rahimahullah mengatakan,

“Wahai anak Adam, setan akan mendatangimu dari segala arah. Akan tetapi, ia tidak akan mendatangimu dari arah atasmu. Ia tidak akan bisa menghalangi antara kamu dan rahmat Allah subhanahu wa ta’ala.”

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Jalan yang dilalui manusia ada empat, tidak ada yang lain. Seseorang terkadang mengambil arah kanan, terkadang mengambil arah kiri, terkadang mengambil arah depan, dan terkadang kembali ke belakang. Jalan mana saja yang ia tempuh dari arah-arah ini, ia akan mendapati setan mengintainya.

Kalau dia menelusuri jalan tersebut untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ia akan mendapati setan pada jalan itu untuk menghambatnya dan memutus jalannya, atau untuk melambankan ketaatannya. Sementara itu, apabila ia menelusuri jalan itu untuk berbuat maksiat, ia akan mendapati setan berada padanya untuk menyemangatinya atau untuk membantunya serta menghiasinya dengan angan-angan. Seandainya ia bisa turun, setan pun akan menggoda dari arah sana.”

Baca juga:

Lawan Hawa Nafsumu, Kenali Sumber Keyakinanmu!

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengatakan,

“Tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan sesuatu kecuali setan memiliki dua godaan kepadanya, baik ke arah menyepelekan atau ke arah berlebih-lebihan. Adapun agama Allah subhanahu wa ta’ala berada di tengah-tengah; antara yang menyepelekannya dan yang berlebih-lebihan. Bagaikan sebuah lembah yang terletak di antara dua gunung, petunjuk di antara dua kesesatan, dan di tengah antara dua ujung (kutub) yang tercela.

Sebagaimana orang yang menyepelekan perintah itu berarti menyia-nyiakannya, demikian pula yang berlebihan juga menyia-nyiakannya. Hanya saja yang itu dengan menyepelekan, sedangkan yang ini dengan melampaui batas.” (Madarijus Salikin)

Baca juga:

Meraih Hidayah dengan Dakwah Salafiyah

Beliau juga berkata,

“Fitnah (godaan) itu ada dua macam. (Yang pertama) adalah godaan syubhat (kesalahpahaman, kerancuan berpikir atau berkeyakinan). Itu adalah yang terbesar dari dua godaan tersebut. Yang kedua adalah godaan syahwat. Terkadang keduanya terkumpul pada seorang hamba dan terkadang hanya ada satu.

Godaan syubhat disebabkan lemahnya basirah dan sedikitnya ilmu. Lebih-lebih apabila syubhat itu diiringi oleh niat yang jelek dan munculnya hawa nafsu. Di situlah letak godaan dan musibah terbesar.

Silakan engkau katakan semaumu tentang kesesatan orang yang niatnya jelek; yang mengendalikan adalah hawa nafsunya, bukan petunjuk. Sudah begitu, disertai kelemahan basirah dan sedikitnya ilmu tentang (syariat) yang Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Rasul-Nya membawanya. Maka dari itu, dia tergolong orang yang Allah subhanahu wa ta’ala katakan,

إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَمَا تَهۡوَى ٱلۡأَنفُسُۖ وَلَقَدۡ جَآءَهُم مِّن رَّبِّهِمُ ٱلۡهُدَىٰٓ

“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka. Dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (an-Najm: 23)

Baca juga:

Menyelisihi As-Sunnah, Menuai Ancaman

Allah subhanahu wa ta’ala juga telah memberitakan bahwa mengikuti hawa nafsu itu akan menyesatkan dari jalan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٌ شَدِيدُۢ بِمَا نَسُواْ يَوۡمَ ٱلۡحِسَابِ

“Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)

Tidak ada yang menyelamatkan seseorang dari hawa nafsu kecuali mengikuti Rasulullah dengan sebenarnya, berhukum kepada beliau dalam urusan agama, yang kecil atau yang besar, yang tampak atau yang tidak tampak, akidah atau amalan, hakikat ataupun syariat. Dari sinilah hakikat iman dan syariat Islam diambil.

Demikian juga dalam hal apa yang Allah subhanahu wa ta’ala tetapkan berupa sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan nama-nama-Nya, serta (meniadakan) apa yang ditiadakan dari-Nya. Sebagaimana diambil dari beliau tentang wajibnya shalat, waktu-waktunya, dan jumlah rakaatnya. Demikian pula besaran zakat dan pihak yang berhak mendapatkannya, wajibnya wudhu, dan mandi janabat serta puasa Ramadhan.

Karena itu, seseorang tidak boleh menganggap beliau sebagai rasul hanya dalam salah satu urusan agama, tetapi bukan pada urusan yang lain. Beliau adalah rasul dalam segala hal yang dibutuhkan oleh umat, baik dalam hal ilmu maupun amal. Tidak boleh diterima kecuali dari beliau dan tidak boleh diambil kecuali darinya. Semua petunjuk itu berkisar antara ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan beliau. Semua yang keluar/menyimpang dari jalan beliau, itu adalah kesesatan.

Baca juga:

Mengagungkan Sunnah, Buah Nyata Akidah yang Benar

Maka dari itu, apabila seseorang mengikat kalbunya untuk itu dan berpaling dari selainnya, lantas menimbang segala sesuatu dengan ajaran yang dibawa beliau;

  • jika sesuai, dia terima—bukan karena orang itu yang mengatakannya, melainkan karena sesuai dengan ajaran Rasul; dan
  • jika menyelisihinya, dia tolak, siapa pun yang mengatakannya;

inilah yang akan menyelamatkan dia dari godaan syubhat.

Akan tetapi, apabila dia kehilangan sebagian prinsip ini, dia akan tertimpa godaan syubhat seukuran hilangnya prinsip tersebut.

Fitnah (godaan) syubhat ini terkadang muncul karena pemahaman yang keliru, penukilan yang salah, atau kebenaran yang tersembunyi dari seseorang dan belum ia dapatkan. Bahkan, bisa jadi pula karena tujuan yang rusak atau hawa nafsu yang diperturutkan. Hal itu disebabkan oleh butanya pandangan kalbu dan rusaknya niat. (Ighatsatul Lahfan)

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh Ustadz Qomar Suaidi, Lc.