Meraih Hidayah dengan Dakwah Salafiyah

meraih hidayah sajalan salaf

Nikmat Hidayah di Tengah Beragam Dakwah

Hidayah merupakan nikmat yang paling berharga dalam kehidupan ini. Setiap muslim sejati pasti mendambakan hidayah. Dengan hidayah itu, ia akan berbahagia dalam kehidupan dunia yang sedang dijalaninya dan dalam kehidupan akhirat yang kelak akan dihadapinya.

Terlebih belakangan ini, manakala beragam dakwah semakin meruak di tengah umat. Masing-masing menyeru kepada manhaj (prinsip beragama) yang diusung dan mengklaim sebagai satu-satunya jalan menuju hidayah. Ikhwanul Muslimin (IM) dengan “tarbiah”-nya, Hizbut Tahrir (HT) dengan gerakan syabab-nya, Jamaah Tabligh (JT) dengan aktivitas khuruj-nya, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dengan gebyar “Penegakan Syariat Islam”-nya, JIL (Jaringan Islam Liberal) dengan “Islam warna-warni”-nya, dan sebagainya. Semuanya saling berlomba untuk mengenalkan dakwahnya dan mengajak umat kepadanya.

Fenomena di atas—tak bisa dimungkiri—cukup membingungkan kebanyakan orang awam. Bahkan, sebagian pegiat dakwah (dai) tidak mampu memilahnya. Berbagai ungkapan kebingungan pun muncul,

“Saya harus ikut yang mana?”

“Saya jadi bingung karena penampilannya sepintas mirip.”

“Mana yang benar? Mana yang dapat mengantarkan kepada hidayah?”

dan berbagai kalimat lainnya.

Baca juga:

Jalan Kebenaran Hanya Satu

Namun, tak semua orang bisa mendapatkan nikmat hidayah karena hidayah adalah milik Allah subhanahu wa ta’ala. Dia subhanahu wa ta’ala Maha Berhak memberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۖ  

“Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberikan hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Fathir: 8)

Tidak mengherankan jika Allah subhanahu wa ta’ala memerintah seluruh hamba-Nya yang beriman untuk memohon hidayah tersebut di setiap rakaat dalam shalatnya,

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)

Bahkan, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka pula untuk memohon keteguhan hati (istiqamah) agar senantiasa berada di atas hidayah tersebut manakala mereka telah meraihnya,

رَبَّنَا لَا تُزِغۡ قُلُوبَنَا بَعۡدَ إِذۡ هَدَيۡتَنَا وَهَبۡ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحۡمَةًۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡوَهَّابُ

Wahai Rabb kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami setelah Engkau beri kami hidayah, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Pemberi.” (Ali Imran: 8)

Dakwah Salafiyah, Jalan Menuju Hidayah                                          

Para pembaca yang mulia, dakwah yang harus diikuti dan dapat mengantarkan kepada hidayah hanyalah dakwah Salafiyah. Mengapa? Sebab, dakwah Salafiyah adalah kelanjutan dakwah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bukan dakwah yang muncul belakangan.

Asasnya adalah Al-Qur’anul Karim, bimbingan (sunnah) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dan prinsip salafush shalih (pendahulu terbaik umat ini dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tabiin, dan tabi’ut tabiin).

Misinya adalah mengajak umat manusia untuk memahami dan menjalani agama Islam sebagaimana yang dipahami dan dijalani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan salafush shalih.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثَةٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قِيلَ: مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ

“Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Beliau ditanya, “Siapakah ia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, “Kitabul Iman”, “Bab Iftiraqul Hadzihil Ummah”, dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiallahu anhuma)[1]

Baca juga:

Siapakah ath-Thaifah al-Manshurah?

Targetnya di dunia adalah terciptanya kehidupan Islami yang penuh berkah, bersendikan iman dan amal saleh.

Firman Allah ‘azza wa jalla,

وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنًاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡ‍ًٔاۚ

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kalian yang beriman dan mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh, Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun.” (an-Nur: 55)

Adapun targetnya di akhirat adalah mendapatkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan masuk ke dalam surga (al-Jannah) yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٍ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ وَأَعَدَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٍ تَجۡرِي تَحۡتَهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًاۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡعَظِيمُ

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kalangan sahabat Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal abadi di dalamnya. Itulah kemenangan yang agung.” (at-Taubah: 100)[2]

Syiar utamanya adalah kembali kepada Al-Qur’anul Karim dan bimbingan (sunnah) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dengan pemahaman salafush shalih dalam setiap permasalahan agama.

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٌ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا

“Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa: 59)

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا

“Dan barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman[3], Kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)

Demikian pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ، عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

“Sungguh, siapa saja di antara kalian yang hidup sepeninggalku nanti, niscaya ia akan melihat perselisihan yang banyak (dalam memahami agama ini). Oleh karena itu, wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnah (bimbingan)ku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang terbimbing. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian (maksudnya, berpeganglah erat-erat dengannya—pen.). (Sahih, HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, ad-Darimi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dari sahabat al-Irbadh bin Sariyah radhiallahu anhu. Lihat Irwa’ul Ghalil, hadits no. 2455)

Baca juga:

Mengagungkan Sunnah, Buah Nyata Akidah yang Benar

Seruannya senantiasa tegak di atas ilmu (basirah).

Allah ‘azza wa jalla berfirman,

قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ

“Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan ilmu yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik’.” (Yusuf: 108)

Adapun jalan (thariqah) dakwah ini senantiasa terbimbing di atas hikmah, pengajaran yang baik, dan diskusi ilmiah dengan cara yang baik pula. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ

“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)

Lebih dari itu, dakwah Salafiyah adalah dakwah bijak yang sangat memperhatikan hubungan antara hamba dan Allah subhanahu wa ta’ala serta hamba dan sesamanya. Sifatnya terbuka untuk seluruh umat manusia sepanjang masa (universal), dan tidak bersifat eksklusif atau kekelompokan (hizbiyah).

Dengan dakwah Salafiyah, umat manusia—yang sebelumnya berada dalam jurang kejahiliahan—akan terbimbing menuju hidayah. Sekian banyak orang yang sebelumnya tenggelam dalam bid’ah dan kesesatan, kemudian mereka mendapatkan hidayah kepada as-Sunnah. Dua kekaisaran adikuasa dunia saat itu (Romawi dan Persia) dapat ditaklukkan dan tidak sedikit dari mereka yang mendapatkan hidayah Islam. Demikian pula negeri-negeri kafir yang sebelumnya dipenuhi dengan kesyirikan dan kemaksiatan, berubah menjadi negeri tauhid dan takwa yang berlimpah rahmat.

Demikianlah dakwah Salafiyah. Tidaklah ia masuk ke dalam sebuah pribadi, keluarga, kaum, bahkan sebuah negeri, kecuali akan membuatnya dipenuhi dengan rahmat. Sejarah telah mencatat bahwa dakwah Salafiyah merupakan rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin).

Dakwah Salafiyah di Mata Sebagian Masyarakat

Di mata sebagian masyarakat, dakwah Salafiyah tak ubahnya aliran atau sekte sesat, terkhusus belakangan ini; seiring dengan semakin berkembangnya berbagai aliran dan sekte sesat, baik yang baru maupun sekadar berganti baju. Dengan informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah, mereka cenderung emosi atau mengedepankan sikap curiga dengan dalih kewaspadaan. Prinsip “pukul rata” dengan dalil-dalil keumuman atau hukum mayoritas pun menjadi alasan dalam menyikapi semua itu.

Para pembaca yang mulia, alasan atau cara pandang sebagian masyarakat dalam menilai dan menyikapi dakwah Salafiyah di atas, tidak bisa dibenarkan secara syariat. Agama kita yang mulia melarang untuk menilai dan menyikapi sesuatu dengan informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah. Islam justru membimbing umatnya agar mengedepankan sikap ilmiah dan proporsional dalam menilai serta bersikap. Sebab, semua itu kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala, Rabb semesta alam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولًا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sebab, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)

Demikianlah, Islam melarang umatnya untuk menilai dan bersikap dengan menggunakan dalil-dalil keumuman atau hukum mayoritas. Sebab, hal itu merupakan prinsip kaum jahiliah, yang dahulu dijadikan alasan untuk menentang dakwah para rasul yang mulia.

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata,

“Di antara prinsip kaum jahiliah adalah menilai kebenaran dengan jumlah mayoritas dan kesalahan dengan jumlah minoritas. Menurut mereka, segala sesuatu yang diikuti kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada mereka dalam menilai kebenaran dan kesalahan.

Baca juga:

Menggugat Hukum Mayoritas

Patokan tersebut tidak benar karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ

“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanyalah persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan (terhadap Allah).” (al-An’am: 116)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ

Akan tetapi, kebanyakan manusia itu tidak mengetahui.” (al-A’raf: 187)

وَمَا وَجَدۡنَا لِأَكۡثَرِهِم مِّنۡ عَهۡدٍۖ وَإِن وَجَدۡنَآ أَكۡثَرَهُمۡ لَفَٰسِقِينَ

“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sebaliknya, yang Kami dapati kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al-A’raf: 102)

dan sebagainya.” (Syarh Masail al-Jahiliyah, hlm. 60)

Maka dari itu, sedikitnya pengikut suatu dakwah, tidak lazimnya cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti kebanyakan orang), atau penampilan yang berbeda dengan keumuman, bukanlah alasan untuk memvonis salah atau sesatnya sebuah dakwah. Bukankah dakwah para rasul yang mulia—pada awal kemunculannya—juga tidak umum dan tidak lazim di mata kaumnya?! Bukankah tidak sedikit dari para rasul tersebut yang dimusuhi dan ditentang dakwahnya? Beberapa orang dari mereka (para rasul) hanya diikuti segelintir orang, bahkan ada yang tak memiliki seorang pengikut pun.

Baca juga:

Bekal Dai Ketika Berdakwah

Namun, semua itu tidak mengurangi nilai dakwah yang mereka emban. Tidak pula hal itu menjadikan dakwah mereka divonis salah atau sesat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَمَآ ءَامَنَ مَعَهُۥٓ إِلَّا قَلِيلٌ

“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

عُرِضَتْ عَلَيَّ اْلأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ

“Telah ditampakkan kepadaku beberapa umat. Kemudian aku melihat seorang nabi yang hanya memiliki pengikut kurang dari sepuluh orang, seorang nabi yang hanya berpengikut satu atau dua orang, dan seorang nabi yang tidak memiliki seorang pun pengikut.” (HR. al-Bukhari no. 5705 dan 5752; dan Muslim no. 220, dari sahabat Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma)

Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy Syaikh rahimahullah berkata,

“Hadits ini mengandung bantahan terhadap orang yang berdalil dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama jumlah yang banyak, padahal tidaklah demikian. Yang semestinya adalah mengikuti Al-Qur’an dan as-Sunnah, bersama siapa pun dan di mana pun.” (Taisir al-Azizil Hamid, hlm. 106)

Menelisik Kehidupan Komunitas Salafi

Pembahasan mengenai komunitas Salafi (orang-orang yang menyambut dakwah Salafiyah dan berupaya meniti jejak salafush shalih dalam kehidupan beragama) tidak bisa dipisahkan dengan dakwah Salafiyah. Sebab, keduanya saling terkait.

Dalam kehidupan bermasyarakat, tak bisa dimungkiri bahwa komunitas Salafi sering mendapatkan perlakuan yang berbeda di tengah masyarakatnya. Sebabnya bermacam-macam:

  • bisa jadi karena informasi yang sangat terbatas atau setengah-setengah tentang mereka,
  • dianggap tidak lazim cara ibadah yang dilakukan (tidak seperti kebanyakan orang),
  • penampilan mereka yang berbeda dengan keumuman, atau
  • karena anggapan bahwa mereka bagaikan malaikat, yang tak mungkin terjatuh dalam dosa dan maksiat.

Sebab yang pertama, kedua, dan ketiga, alhamdulillah, telah dibahas dalam subjudul sebelum ini. Adapun sebab yang keempat, berikut pembahasannya.

Manusia Tidak Sama dengan Malaikat

Para pembaca yang mulia, sesungguhnya manusia—setinggi apa pun keimanannya—tidaklah sama dengan malaikat. Manusia adalah makhluk yang berkarakter dasar amat zalim dan amat bodoh. Bahkan, mayoritas mereka lalai dari ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّهُۥ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا

“Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)

وَإِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلنَّاسِ عَنۡ ءَايَٰتِنَا لَغَٰفِلُونَ

“Dan sesungguhnya mayoritas manusia benar-benar lalai dari ayat-ayat Kami.” (Yunus: 92)

Adapun malaikat adalah makhluk yang tak pernah mendurhakai Allah subhanahu wa ta’ala sesaat pun. Mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya. Bahkan, mereka selalu bertasbih kepada Allah subhanahu wa ta’ala, malam dan siang, tiada henti-hentinya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ

“(Para malaikat itu) tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Tahrim: 6)

يُسَبِّحُونَ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ لَا يَفۡتُرُونَ

“Mereka selalu bertasbih tiada henti-hentinya malam dan siang.” (al-Anbiya: 20)

Baca juga:

Rasul Itu Manusia, Bukan Malaikat

Demikian pula dengan komunitas Salafi. Layaknya manusia, mereka tidak akan luput dari kesalahan dan dosa. Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan, dan ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan. Hal ini mengingatkan kita akan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ فَمِنۡهُمۡ ظَالِمٌ لِّنَفۡسِهِۦ وَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٌ وَمِنۡهُمۡ سَابِقُۢ بِٱلۡخَيۡرَٰتِ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَضۡلُ ٱلۡكَبِيرُ

“Kemudian Kitab (Al-Qur’an) itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[4] dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata,

“Mereka semua termasuk orang-orang yang dipilih oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mewarisi al-Kitab (Al-Qur’an) walaupun tingkatan dan keadaan mereka berbeda-beda. Masing-masing mendapatkan porsi tertentu untuk mewarisi al-Kitab, termasuk orang yang menganiaya diri sendiri. Prinsip keimanan, ilmu tentang keimanan, dan pengamalan mengenai keimanan yang masih tersisa pada diri orang (yang menganiaya diri sendiri) tersebut merupakan bentuk pewarisan al-Kitab tersebut. Sebab, maksud dari ‘mewarisi al-Kitab’ di sini adalah mengetahui dan mengamalkannya, mempelajari lafaz-lafaznya, dan mendulang makna yang dikandungnya.” (Taisir al-Karimir Rahman, tafsir surah Fathir: 32)

Mungkin, akan ada yang bertanya, “Apa ruginya jika dianggap seperti malaikat, bukankah itu sebuah rekomendasi?”

Memang, sepintas lalu terkesan sebagai rekomendasi. Namun, jika dicermati dengan saksama justru sebaliknya; anggapan tersebut malah merugikan komunitas Salafi itu sendiri. Bahkan, akan merugikan dakwah Salafiyah yang merupakan jalan menuju hidayah.

Mengapa demikian? Sebab, anggapan tersebut berawal dari sikap berlebihan (ghuluw) dalam merekomendasi. Telah terbukti bahwa kesudahan ghuluw adalah petaka. Berikutnya, ketika anggapan tersebut menjadi keyakinan di masyarakat, kemudian di antara komunitas Salafi ada yang terjatuh dalam kesalahan atau dosa, masalahnya justru akan berbeda. Berbagai ungkapan kekecewaan akan bermunculan.

“Bagaimana bisa orang Salafi berbuat demikian?!”

“Kelihatannya saja alim, tetapi nyatanya zalim!”

“Penampilannya layaknya malaikat, tetapi hakikatnya penjahat!”

Rekomendasi berbalik menjadi isolasi (pemboikotan). Kepercayaan berbalik menjadi kebencian. Dakwah Salafiyah pun jadi perbincangan. Padahal, sekiranya pelakunya adalah anggota masyarakat selain mereka, kemungkinan besar tidak akan ada ungkapan seperti itu.

Pelajaran Berharga

Para pembaca yang mulia, apabila kita memerhatikan fenomena di atas dengan saksama, ada beberapa pelajaran berharga yang dapat kita ambil. Di antaranya:

  1. Komunitas Salafi hendaklah selalu berupaya menjaga nama baik dakwah Salafiyah.

Caranya ialah dengan berupaya menjalankan segala ketaatan dan menjauhkan diri dari segala kemaksiatan. Selalu berakhlak mulia, berkata santun, bijak dalam berdakwah, dan tidak menjadi juru fitnah yang membuat orang lari dari dakwah Salafiyah.

  1. Masyarakat secara umum hendaklah tidak berlebihan menyikapi komunitas Salafi.

Maksudnya, tidak berlebihan dalam merekomendasi dan tidak berlebihan pula mengkritisi mereka. Sikap ilmiah dan proporsional sangat dibutuhkan dalam semua itu.

  1. Kesalahan oknum dari komunitas Salafi tidak berarti dakwah Salafiyah yang diikutinya adalah salah atau sesat.

Sebab, keadaan oknum dapat berubah-ubah seiring dengan naik dan turunnya keimanan. Adapun keadaan dakwah Salafiyah tidak akan berubah dan senantiasa di atas kemuliaan.

Demikianlah yang dapat kami sajikan dalam kesempatan kali ini. Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi para pencari kebenaran.

Amin, ya Rabbal Alamin


Catatan Kaki

[1] Syaikh Ahmad bin Muhammad ad-Dahlawi al-Madani rahimahullah berkata,

“Hadits ini adalah nas (dalil yang jelas—pen.) bagi apa yang diperselisihkan. Sebab, dengan tegas, Rasul shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tiga hal:

1) Umat Islam sepeninggal beliau akan berselisih dan bergolong-golongan. Setiap golongan akan berbeda pemahaman dan pendapat dalam memahami agama. Semuanya masuk neraka. Sebab, mereka masih berselisih dalam permasalahan agama walaupun telah datang (kepadanya) keterangan dari Rabb semesta alam.

2) Ada satu golongan yang diselamatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala karena mereka berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, serta mengamalkan keduanya tanpa takwil dan penyimpangan.

3) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah menetapkan golongan yang selamat di antara sekian banyak golongan itu. Golongan yang selamat itu hanya satu. Mereka memiliki ciri-ciri yang khusus, sebagaimana telah beliau dijelaskan sendiri (dalam hadits tersebut) yang tidak lagi membutuhkan takwil dan tafsir. (Tarikh Ahlil Hadits, hlm. 78—79)

Golongan yang dimaksud Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah golongan yang mengikuti dakwah Salafiyah. Sebab, jalan yang mereka tempuh dalam kehidupan beragama ini adalah jalan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya (salafush shalih).”

[2] Dalam ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengkhususkan ridha dan jaminan surga-Nya hanya untuk para sahabat Muhajirin dan Anshar. Akan tetapi, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pun akan mendapatkan ridha Allah subhanahu wa ta’ala dan jaminan surga layaknya mereka.

[3] Imam Ibnu Abi Jamrah al-Andalusi rahimahullah berkata,

“Para ulama telah menjelaskan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala (di atas), bahwa yang dimaksud dengan ‘orang-orang mukmin’ dalam ayat ini ialah para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan generasi pertama dari umat ini.” (al-Marqat fi Nahjis Salaf Sabilun Najah, hlm. 36—37)

[4] Yang dimaksud dengan “orang yang menganiaya dirinya sendiri” ialah orang yang lemah (lambat) dalam mengerjakan suatu kewajiban dan masih melakukan sesuatu yang diharamkan.

Yang dimaksud dengan “pertengahan” ialah orang-orang yang mengerjakan semua kewajiban dan meninggalkan semua yang diharamkan, tetapi terkadang dia meninggalkan sesuatu yang sunnah dan mengerjakan sesuatu makruh.

Adapun yang dimaksud dengan “orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan” ialah orang-orang yang mengerjakan semua kewajiban dan semua yang disunnahkan, serta meninggalkan segala sesuatu yang haram, makruh, dan sebagian hal yang mubah. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, surah Fathir: 32)

 

Ditulis oleh Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

 

Comments are closed.