Membingkai Safar dengan Do’a

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Nasim Mukhtar)

Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda: “Sesungguhnya Allah l adalah Dzat Yang Maha Baik dan Allah l tidaklah menerima amalan kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah l telah memerintahkan kaum mukminin sebagaimana perintah-Nya kepada segenap Rasul:

‘Wahai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ (Al-Mu’minun: 51)

Allah l juga berfirman:

‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu’.” (Al-Baqarah: 172)

Setelah itu Rasulullah n menceritakan keadaan seseorang yang telah lama safar, rambutnya kusut penuh dengan debu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke arah langit sembari berdoa, “Wahai Rabbku, wahai Rabbku.” Padahal makanannya haram, minumannya pun haram, pakaiannya juga haram, serta ia dibesarkan dari yang haram. Lantas bagaimana mungkin doa yang ia panjatkan akan dikabulkan?”

Beberapa Hal tentang Jalur Periwayatan Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim t di dalam Shahih-nya (no. 1015), Al-Imam At-Tirmidzi t di dalam As-Sunan (no. 2989), dan Al-Imam Ahmad t di dalam Al-Musnad (2/328).
Madaar (jalur utama) hadits ini adalah Fudhail bin Marzuq. Dia meriwayatkan dari ‘Adi bin Tsabit, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah z. Adapun Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Fadhl melalui Abu Usamah, dari Abu Kuraib Muhammad bin Al-’Ala’. At-Tirmidzi meriwayatkan dari Fadhl melalui Abu Nu’aim, dari ‘Abd bin Humaid. Sementara Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Fadhl dengan perantara Abu An-Nadhr.
Abu Hazim adalah Salman Al-’Asyja’i Al-Kufi t. Dia ditsiqahkan oleh para ulama, di antaranya Yahya bin Ma’in dan Abu Dawud. Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr t berkata, “Mereka (para ulama) telah sepakat bahwa dia seorang yang tsiqah.” Abu Hazim termasuk kalangan tabi’in dan meninggal dunia pada masa pemerintahan ‘Umar bin Abdul Aziz t.
‘Adi bin Tsabit Al-Anshari Al-Kufi adalah Ibnu Binti ‘Abdillah bin Yazid Al-Khatmi. Ayahnya adalah seorang sahabat Nabi n. Dia ditsiqahkan para ulama semisal Al-Imam Ahmad t dan An-Nasa’i t.
Fudhail bin Marzuq t kunyahnya Abu Abdirrahman Al-Kufi Ar-Raqqasyi. Tergolong generasi awal dari tabi’ut tabi’in. Adz-Dzahabi t menyatakan ketsiqahannya.
Diagram periwayatan bisa dilihat di samping.
Makna Mufradat Hadits
وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ
“Padahal makanannya haram.”
Artinya menunjukkan bahwa dia dibesarkan semenjak kecil dengan makanan yang haram. Adapula ulama yang membedakan maknanya. Apabila huruf dzal tanpa tasydid maka maksudnya dia sendiri yang mencari makanan tersebut. Jika menggunakan tasydid maksudnya ia diberi makan oleh orang lain. (Tuhfadzul Ahwadzi, dalam syarah hadits ini)
فَأَنَّى
“Lantas bagaimana mungkin…”
Ini adalah kalimat yang digunakan untuk sesuatu yang sangat jauh kemungkinan terjadinya. Maksudnya, dari mana dia akan dikabulkan doanya ,dan bagaimana mungkin dikabulkan doanya sementara keadaan dia seperti ini? (Tuhfadzul Ahwadzi, dalam syarah hadits ini)
يُطِيلُ السَّفَرَ
“Yang telah lama safar.”
Dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi t bahwa orang tersebut melakukan safar untuk melaksanakan ketaatan. Seperti haji, ziarah yang mustahab, silaturahmi, dan yang semisalnya. (Syarah Shahih Muslim tentang hadits ini)
Mustajabnya Doa Musafir
Kehidupan seorang muslim tidak akan terlepas dari doa. Semenjak pertama kali ia membuka mata dari tidur malamnya sampai ia kembali ke peraduannya selalu dihiasi dengan doa. Karena doa adalah senjata sekaligus benteng pertahanan yang ampuh dan kokoh. Doa akan benar-benar bermanfaat bila disertai keyakinan penuh bahwa Allah l akan mengabulkannya. Karena Allah Maha Mendengar. Allah k berfirman:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah:186)
Di antara faktor yang harus diperhatikan ketika berdoa adalah mencari waktu-waktu yang dinashkan (disebutkan oleh dalil) sebagai saat yang mustajab. Di antara waktu yang dinashkan adalah di saat safar. Ketika menjelaskan tentang hadits di atas, Al-Imam Ibnu Rajab t di dalam Jami’ul Ulum wal Hikam menyatakan bahwa sabda Rasulullah n ini merupakan keterangan tentang adab-adab di dalam berdoa. Selain itu juga diterangkan tentang sebab-sebab terkabulnya doa sekaligus hal-hal yang dapat menghalangi terkabulkannya doa.
Pembahasan kita saat ini adalah safar  di mana menjadi salah satu sebab doa yang dipanjatkan seorang hamba akan dikabulkan. Safar adalah salah satu sebab makbulnya doa. Berdasarkan hadits Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ لاَ شَكَّ فِيْهِنَّ: دَعْوَةُ الْوَالِدِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga macam doa yang mustajab, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Doa orangtua, doa seorang musafir, dan doa orang yang terzalimi.” (HR. Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad [no. 32], Abu Dawud [no. 1536], At-Tirmidzi [2/256], Ibnu Majah [no. 3862], Ibnu Hibban [no. 2406], dan Ahmad [2/258]. Hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t. Silakan merujuk As-Silsilah Ash-Shahihah no. 598)
Al-Imam An Nawawi t di dalam Riyadh Ash-Shalihin membuat bab dengan judul Disunnahkannya Berdoa Ketika Safar. Kemudian beliau membawakan hadits di atas.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin t menjelaskan bahwa seorang musafir adalah orang yang meninggalkan kampung halamannya. Ia tetap dikatakan sebagai musafir hingga kembali ke negerinya. Beliau menambahkan, pada umumnya doa seorang musafir adalah doa orang yang benar-benar dalam kesulitan. Seorang hamba jika dalam kesulitan dan berdoa kepada Rabbnya tentu akan dikabulkan karena Allah l menjawab doa orang yang mengkhawatirkan mudarat dan kesulitan.
Lalu beliau menegaskan, seorang musafir yang berdoa agar Allah l memudahkan safarnya atau memberikan pertolongan kepadanya atau doa yang lain, maka sungguh Allah l akan mengabulkannya. Oleh karena itu, sepatutnya seorang musafir mempergunakan kesempatan di dalam safar untuk berdoa. Apabila safar yang dia lakukan dalam rangka ketaatan seperti umrah dan haji, tentu akan menambah kekuatan dikabulkannya doa. (Syarah Riyadh Ash-Shalihin)
Doa seorang musafir termasuk doa orang yang sedang mengalami kesulitan. Allah l menjanjikan, doa orang yang mengalami kesulitan akan dikabulkan. Allah l berfirman:
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada ilah (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingat(Nya).” (An-Naml: 62)
Ibnu Katsir t berkata, “Dalam ayat ini Allah l mengingatkan bahwa hanya Dia yang berhak untuk diminta ketika terjadi kesulitan. Hanya Dia yang diharap di saat muncul persoalan. Sebagaimana firman-Nya:
“Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih.” (Al-Isra’: 67)
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudaratan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.” (An-Nahl: 53)
Maka, semakin berat dan jauh safar seseorang semakin besar pula kemungkinan untuk dikabulkannya doa. Karena safar akan menjadi sebab bertambahnya kepasrahan hati disebabkan jauhnya ia dari kampung halaman.
Doa seorang musafir akan bertambah besar kemungkinan dikabulkan apabila dia menengadahkan kedua tangannya. Hal ini diperkuat dengan hadits Salman z, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
“Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala Dzat Yang Maha Malu dan Maha Memberi, Allah malu apabila seorang hamba mengangkat kedua tangannya kepada-Nya kemudian mengembalikannya dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Dawud no. 1488, At-Tirmidzi no. 3556, Ibnu Majah no. 3865, dan Ahmad, 5/438)
Ketika Asy Syaikh Al-‘Utsaimin t ditanya tentang hikmah dikabulkannya doa seorang musafir, beliau menjawab, “Hikmah di balik itu bahwa seorang musafir akan terpusat hatinya. (Pikiran) ia tidak sesibuk sebagaimana ketika menetap di kota maupun desa. Kemudian lagi, pada umumnya seorang musafir akan berdoa seperti doa orang yang mengalami kesulitan dan benar-benar membutuhkan Allah l karena ia sedang berada di dalam perjalanan. Lebih-lebih jika safarnya adalah safar yang dilingkupi ketakutan dan rasa cemas. Tentu orang yang berdoa akan bertambah besar harapan dan kepasrahan hatinya kepada Allah l dibandingkan dengan keadaan sebaliknya. Hal inilah yang menjadi sebab dikabulkannya doa.” (Nur ‘Ala Ad-Darb)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t juga menerangkan tentang mustajabnya doa seorang musafir. Beliau berkata, “Doa itu mustajab ketika turunnya hujan, berkecamuk peperangan, ketika adzan dan iqamat, di akhir shalat, ketika sujud, doa orang yang berpuasa, doa seorang musafir, doa orang yang dizalimi, dan yang semisalnya. Semua ini  berdasarkan hadits-hadits yang dikenal di dalam kitab-kitab shahih dan sunan.” (Majmu’ Fatawa 27/129)
Beberapa Contoh Doa yang Dikabulkan Ketika Safar
Al-Imam Ibnu Al-Qayyim t di dalam Zadul Ma’ad (1/462) menjelaskan bahwa berjihad, haji, umrah, dan hijrah termasuk bagian dari safar. Berikut ini beberapa peristiwa yang menjadi ibrah bagi kita, betapa doa sungguh luar biasa. Subhanallah.
1. Hadits Anas bin Malik z yang diriwayatkan Al-Bukhari (7/294), Muslim (2009), yang mengisahkan perjalanan Rasulullah n menuju kota Madinah ditemani oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq z dalam rangka berhijrah. Di dalam perjalanan panjang itu, Rasulullah n dikejar oleh seorang penunggang kuda yang bermaksud jahat yaitu Suraqah bin Malik. Ketika Suraqah mulai nampak mendekat, Rasulullah n berdoa:
اللَّهُمَّ اصْرَعْهُ
“Ya Allah, jatuhkanlah dia di atas tanah.” Kuda itu pun menjatuhkan Suraqah lalu berdiri kembali sambil meringkik. Suraqah berseru, “Wahai Nabi Allah, silakan perintahkan kepada saya apa yang anda inginkan!” Rasulullah menjawab, “Tetaplah engkau di tempatmu, jangan biarkan seorang pun menyusul kami.”
Allah l mengabulkan  doa Nabi-Nya hingga Suraqah yang semula hendak mencelakai Rasulullah n justru berubah menjadi pelindung dan menyelamatkan Rasulullah n dari pengejaran mata-mata.
Kisah ini merupakan contoh Allah l mengabulkan doa seorang musafir dalam rangka hijrah.
2. Hadits Ibnu Abbas c yang diriwayatkan Al-Bukhari (no. 3953) tentang perang Badar. Rasulullah n tiada henti memanjatkan doa. Meminta dengan sepenuh hati agar Allah k menurunkan pertolongan dan memenangkan kaum muslimin. Rasulullah n berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَنْشُدُكَ عَهْدَكَ وَوَعْدَكَ اللَّهُمَّ إِنْ شِئْتَ لَمْ تُعْبَدْ
“Ya Allah, sesungguhnya aku benar-benar meminta jaminan dan janji-Mu. Ya Allah, jikalau Engkau kehendaki, Engkau tidak lagi akan diibadahi.”
Di dalam riwayat Ahmad (1/30) disebutkan bahwa Rasulullah n ketika berdoa, selendang beliau terjatuh. Lalu datanglah Abu Bakr memungut selendang itu dan memakaikannya kembali di pundak Rasulullah n. Abu Bakr berkata, “Cukup wahai Nabi Allah, doa yang anda pinta. Karena sesungguhnya Rabbmu pasti akan mewujudkan janji-Nya.”
Kisah ini adalah contoh Allah l mengabulkan doa seorang musafir dalam rangka berjihad.
3. Sebuah atsar yang diriwayatkan Al-Imam Ahmad t lengkap dengan sanadnya, dalam Az-Zuhud (hal. 257), Ibnu Sa’d di dalam Ath-Thabaqat (7/135), serta Ibnu Abi Ad-Dunya di dalam Mujab Ad-Da’wah, tentang kisah perjalanan Shilah bin Asy-yam. Ketika itu Shilah sedang melintasi daerah Ihwaz1 di atas hewan tunggangannya dalam keadaan benar-benar lapar. Tidak ada seorang manusia pun yang ia temui. Hingga pada akhirnya, Shilah berdoa kepada Allah l dan memohon agar diberi makanan. Shilah bertutur, “Tiba-tiba aku mendengar suara keras di belakangku seperti ada sesuatu yang jatuh. Ketika aku menoleh, aku melihat kain berwarna putih. Lalu aku pun turun dari kendaraan untuk mengambil kain tersebut. Ternyata di dalam bungkusan itu terdapat sekantong kurma matang. Aku pun membawa kurma tersebut dan kembali menaiki kendaraanku.”
Kisah ini merupakan contoh makbulnya doa seorang musafir dalam rangka menuntut ilmu syar’i.
4. Al-Imam Ibnu Sa’d t di dalam Ath-Thabaqat ketika membawakan biografi Sufyan bin ‘Uyainah t, meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Hasan bin ‘Imran, keponakan Sufyan bin ‘Uyainah. Ia berkata: Aku menemani pamanku, Sufyan, pada haji terakhir yang ia tunaikan pada tahun 197 H. Ketika kami tiba di Muzdalifah, beliau mendirikan shalat. Setelah itu dia beristirahat di atas pembaringannya lalu berkata, “Sungguh, aku telah mendatangi tempat ini selama 70 tahun (untuk menunaikan ibadah haji). Setiap tahun aku selalu berdoa, ‘Ya Allah, hamba memohon agar haji kali ini bukanlah haji untuk yang terakhir kalinya.’ Sungguh, aku benar-benar merasa malu kepada Allah karena seringnya aku mengucapkan doa ini.” Lalu, Sufyan bin ‘Uyainah kembali ke kediamannya di pinggiran kota Makkah. Tahun berikutnya, Sufyan bin ‘Uyainah meninggal dunia di hari Sabtu bulan Rajab tahun 198 H.
Beberapa Doa yang Diajarkan untuk Seorang Musafir
Safar adalah sebuah perjalanan yang penuh dengan ujian. Tidak sedikit halangan yang menghadang. Dalam keadaan seperti inilah, setan selalu menggoda hendak menjerumuskan anak keturunan Adam ke dalam dosa. Oleh karenanya, Rasulullah n mengajarkan untuk kita sebuah doa yang mulia:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesesatan dan disesatkan, dari ketergelinciran dan digelincirkan, kezaliman dan dizalimi, serta dari kebodohan atau dibodohi.” (HR. Ahmad, 6/306, Ibnu Majah no. 3884, An-Nasa’i, 8/268, At-Tirmidzi no. 3427, Abu Dawud no. 5094 dari Ummu Salamah x)
Safar bukan saja sebuah perjalanan yang melelahkan. Safar pun merupakan bagian amaliah yang sarat dengan nilai-nilai ibadah. Sebelum memulai safar, kita diingatkan untuk tetap menjaga tauhid dalam bentuk menyerahkan diri sebagai tawakkal kita kepada Allah l. Kita pun mesti meyakini bahwa safar yang dilakukan tidak akan tercapai melainkan dengan kehendak-Nya. Rasulullah n mengajarkan doa untuk kita:
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Dengan menyebut asma Allah, aku benar-benar bertawakkal kepada Allah, tidak ada daya dan upaya melainkan milik Allah.” (HR. Abu Dawud no. 5094, At-Tirmidzi no. 3426 dari Anas bin Malik z)
Doa semacam ini sangat bermanfaat sekali bagi seorang muslim sehingga ia dianjurkan untuk mengucapkannya setiap kali keluar meninggalkan rumah untuk menyelesaikan urusan dunia maupun ibadahnya. Ia akan selalu mendapatkan perlindungan di dalam perjalanan, memperoleh pertolongan untuk menunaikan kepentingan dan memperoleh taufiq.
Seorang musafir pun semestinya bertekad untuk berbuat kebajikan dan ketakwaan. Ia  harus selalu berkeinginan untuk melaksanakan amalan yang diridhai Allah l. Rasulullah n membimbing kita untuk memohon pertolongan dari Allah l agar mampu beramal dan bertakwa di dalam safar. Beliau berdoa:
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى
“Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kebaikan dan takwa dari-Mu di dalam safar kami, demikian pula kami meminta amalan yang Engkau ridhai.” (HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar c no. 1342)
Safar memang perjalanan yang melelahkan. Terkadang banyak kesulitan yang dihadapi. Sehingga seorang musafir membutuhkan perlindungan agar selamat hingga tiba di tempat tujuan. Rasulullah n mengajarkan untuk kita sebuah doa:
اللَّهُمَّ بَلاَغًا يَبْلُغُ خَيْرًا مَغْفِرَةً مِنْكَ وَرِضْوَانًا بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِي الْأَهْلِ، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا السَّفَرَ وَاطْوِ لَنَا الْأَرْضَ، اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْقَلِبِ
“Ya Allah, aku memohon agar aku sampai dan mendapatkan kebaikan, maghfirah dari-Mu dan keridhaan. Hanya di tangan-Mu segala kebaikan, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, Engkau adalah teman di dalam safar dan pengganti dalam keluarga. Ya Allah, permudahlah safar ini untuk kami dan gulunglah bumi untuk kami. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan safar dan kejelekan dari tempat kembali.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnad-nya, 3/226, dari Al-Barra’)
Sebagai bentuk syukur seorang musafir ketika dia kembali ke kampung halaman, hendaknya ia berdoa:
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
“Kami kembali, sebagai orang yang bertaubat, senantiasa beribadah, dan memuji Rabb kami.” (HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin Umar c)
Alangkah indahnya perjalanan seorang muslim. Dimulai dengan doa, sepanjang safar dihiasi doa, dan diakhiri dengan doa pula. Benar-benar membingkai safar dengan doa.
Beberapa Faedah Lain dari Hadits
Hadits ini termasuk dasar kaidah-kaidah penting di dalam Islam. Banyak sekali faedah yang dapat diambil dari hadits ini, di antaranya:
1. Di dalam hadits ini dijelaskan tentang dianjurkannya berinfaq dengan barang yang halal.
2. Dijelaskan juga tentang disyariatkannya serius di dalam berdoa, dalam bentuk memerhatikan makanan, minuman, dan pakaian. Al-Imam Wahb bin Munabbih t menyatakan, “Barangsiapa ingin doanya dikabulkan Allah l hendaknya dia memilih makanan yang baik.” (Jami’ Al-’Ulum wal Hikam)
3. Hendaknya seorang musafir dirinya sendiri, orangtua, keluarga, dan orang-orang yang dicintai. Hendaknya pula ia memilih doa yang bersifat umum dan menyeluruh. Disertai dengan khudhu’ (ketundukan) dan harapan besar. Karena doa musafir mustajab, maka tidak layak bila disia-siakan.
4. Pada dasarnya, terdapat kesamaan hukum syar’i antara para nabi dan rasul. Kecuali ada dalil yang menjelaskan perbedaannya.
5. Syariat Islam memerintahkan umat untuk mengonsumsi makanan yang halal. Hal ini merupakan sifat para nabi dan pengikut mereka. Makanan yang halal akan memengaruhi ibadah seorang hamba, doa, dan diterimanya amalan yang ia lakukan.
6. Tanggung jawab orangtua untuk memberi nafkah yang halal kepada anak dan istri sebagai perwujudan firman Allah l:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (At-Tahrim: 6)
Wallahu a’lam.