Mu’awiyah Bin abi Sufyan dan Ahlul Bait

(ditulisoleh: Al-Ustadz Abdurrahman Mubarak)

Para sahabat Rasulullah n adalah generasi terbaik umat ini karena mereka lebih dahulu masuk Islam, memiliki keutamaan bersahabat dengan Rasulullah n, berjihad bersama beliau, dan menerima syariat dari beliau, kemudian menyampaikannya kepada orang-orang setelah mereka. Allah l berfirman,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)
Dalam ayat lain, Allah l menyebutkan,
“Bagi orang fakir yang berhijrah, diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya serta mereka menolong Allah dan Rasul-Nya, mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 8—9)
Rasulullah n berkata,
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلاَ نَصِيفَهُ.
“Janganlah kalian mencerca sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, kalau kalian berinfak emas satu Gunung Uhud niscaya tidak cukup untuk menandingi satu sha’ infak para sahabat, bahkan tidak menyamai setengah sha’ infak para sahabat.” (HR. al-Bukhari no. 3673, lihat Kitab at-Tauhid, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan)

Siapakah yang Dimaksud Sahabat?
Sahabat Rasulullah n adalah seseorang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah n dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman. (Nukhbatul Fikr)

Akidah Ahlus Sunnah dalam Masalah Sahabat Rasulullah n
Ibnu Taimiyah t berkata, “Di antara pokok prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah hati dan lisan mereka selamat (tulus) terhadap para sahabat Rasulullah n. Hal ini sebagaimana yang Allah l sebutkan sifat mereka dalam firman-Nya,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami. Jangan Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (al-Hasyr: 10)
Selain itu, juga demi menaati sabda Nabi n,
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ، وَلاَ نَصِيفَهُ.
“Janganlah kalian mencerca sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, jika salah seorang kalian berinfak seperti Gunung Uhud tidak akan menyamai satu mudnya, bahkan setengah mud infak mereka.” (HR. al-Bukhari no. 3673)
Ahlus Sunnah adalah orang yang mengakui kemuliaan dan keutamaan para sahabat Rasulullah n. Tidak ada kedengkian di hati mereka kepada sahabat Rasulullah n, apalagi sampai lancang mengafirkan para sahabat Rasulullah n, seperti yang dilakukan oleh Rafidhah dan Khawarij.

Di Antara Ciri Ahlul Bid’ah adalah Mencerca Para Sahabat
Sebagian ahlul bid’ah mencerca dan mencaci maki para sahabat, bahkan sampai lancang mengafirkan sebagian sahabat Rasulullah n, seperti yang dilakukan oleh Rafidhah dan Khawarij.
Rafidhah memiliki prinsip-prinsip yang batil, di antaranya tidak ada wala selain dengan adanya bara’.
Maksudnya, di antara akidah sesat Rafidhah adalah tidaklah akan terwujud loyalitas kepada ahlul bait melainkan dengan berlepas diri dari para sahabat Rasulullah n.
Bahkan, di antara kekonyolan Syi’ah Rafidhah, mereka tidak mau menyebut angka sepuluh atau melakukan sesuatu yang berjumlah sepuluh karena mereka membenci sepuluh sahabat yang dipastikan masuk surga, termasuk Ali. (Lihat Syarah al-Aqidah ath-Thahawiyah)
Ibnu Taimiyah t berkata, “Ahlus Sunnah berlepas diri dari Rafidhah yang mengultuskan Ali bin Abi Thalib z dan berlepas diri pula dari Nawashib yang memancang permusuhan kepada ahlu bait Rasulullah n.” (lihat al-Aqidah al-Wasithiyah)

Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, Seorang Sahabat Rasul n
Di antara sahabat Rasulullah n yang harus kita hormati dan cintai adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Beliau adalah salah seorang sahabat yang mulia dan memiliki banyak keutamaan. Semua dalil yang menunjukkan keutamaan sahabat juga menjadi dalil tentang keutamaan Mu’awiyah karena beliau adalah salah seorang sahabat Rasulullah n.
Di antara ucapan para ulama yang menunjukkan keutamaan beliau adalah sebagai berikut.
• Ibnu Qudamah t berkata, “Mu’awiyah adalah paman kaum muslimin, penulis wahyu, dan salah satu pemimpin muslimin.
• Ibnu Abil Izzi t berkata, “Mu’awiyah adalah raja pertama dan yang terbaik pada kaum muslimin.”
• Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak t, “Siapa yang lebih utama, Mu’awiyah atau Umar bin Abdil Aziz?” Ibnul Mubarak menjawab, “Sungguh debu yang ada di hidung Mu’awiyah lebih baik dan lebih utama daripada Umar bin Abdil Aziz.”
• Al-Mu’afa bin Imran ditanya siapa yang lebih afdal antara Mu’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Al-Muafa marah dan bertanya kepada penanya, “Apakah engkau hendak menjadikan seorang sahabat layaknya seorang tabi’in? Mu’awiyah adalah sahabat Rasulullah n dan ipar beliau.”
• Ibnul Mubarak t berkata, “Aku tidak pernah melihat Umar bin Abdul Aziz memukul seorang pun selain orang yang telah mencela Mu’awiyah. Beliau memukulnya dengan cemeti.”
• Abu Taubah Rabi’ bin Nafi’ al-Halabi berkata, “Mu’awiyah adalah tabir para sahabat Rasulullah n. Jika seseorang telah berani membuka tabir itu (yakni dengan mencela Mu’awiyah, -pen.), ia akan lancang kepada yang ditutupnya (yakni berani mencaci maki sahabat yang lainnya, -pen.).” (Lihat Min Aqwalil Munshifin karya asy-Syaikh Abdul Muhsin)
Demikianlah ucapan salafus saleh ketika memuji Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan melarang mencerca beliau z.

Siapakah Ahlul Bait?
Asy-Syaikh Abdul Muhsin hafizhahullah berkata, “Pendapat yang benar, ahlul bait adalah orang-orang yang diharamkan memakan sedekah. Mereka terdiri dari istri-istri Rasulullah n dan anak keturunan beliau serta seluruh muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muththalib. Mereka adalah Bani Hasyim bin Abdu Manaf.”
Ibnu Katsir t berkata, “Ahlul bait adalah keluarga Nabi n yang diharamkan menerima sedekah, sebagaimana penafsiran perawi hadits. Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqil, keluarga Abbas, serta Bani Harits bin Abdul Muthalib, sebagaimana telah ada tafsirnya dalam Shahih Muslim. Termasuk di dalamnya adalah istri-istri Rasulullah n. Istri-istri beliau n adalah ahlul baitnya, sebagaimana ditunjukkan oleh konteks ayat dalam surat al-Ahzab. Demikianlah yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan selain keduanya.”
Asy-Syaikh Khalil Harras berkata, “Ahlul bait Rasulullah n adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat. Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga Aqil, dan keluarga Abbas. Mereka semua adalah Bani Hasyim. Bani Muththalib juga disamakan hukumnya dengan mereka berdasarkan ucapan Rasulullah n,
“Mereka tidak berpisah dengan kita dalam keadaan jahiliah dan Islam.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin berkata, “Istri-istri beliau termasuk ahlul bait Rasulullah n berdasarkan nash al-Qur’an (yakni dalam surat al-Ahzab: 28—33 -pen.).”

Akidah Ahlus Sunnah Berkaitan dengan Ahlul Bait
Ibnu Taimiyah t berkata, “Ahlus Sunnah mencintai ahli bait Rasulullah n, berwala’ kepada mereka, dan menjaga wasiat Rasulullah n tentang mereka ketika berkata di hari Ghadir Khum, ‘Aku ingatkan kalian dengan keagungan Allah l tentang (perintah untuk memuliakan dan hak-hak) ahli baitku’.” (HR. Muslim no. 2408)
Ibnu Katsir t berkata, “Kita tidak mengingkari wasiat tentang ahlul bait dan perintah untuk berbuat baik, menghormati, dan memuliakan mereka. Karena mereka adalah keturunan dari orang yang suci serta berasal dari rumah yang terbaik dari sisi nasab dan kemuliaan. Apalagi apabila mereka mengikuti sunnah Nabi n yang sahih dan jelas, sebagaimana yang dilakukan oleh salaf mereka, seperti al-Abbas dan keturunannya, Ali dan ahlul bait, serta keturunannya.”

Ahlus Sunnah di Atas Kebenaran dalam Masalah Ahlul Bait
Ahlus Sunnah berwala kepada seluruh muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muthalib dan istri-istri Nabi n. Ahlus sunnah mencintai mereka semua, memuji mereka semua, serta mendudukkan mereka pada kedudukannya dengan adil dan inshaf, bukan dengan hawa nafsu.
Ahlus Sunnah mengakui keutamaan orang yang terkumpul padanya keutamaan iman dan nasab.
Ahlus Sunnah mencintai ahlul bait yang masuk dalam golongan sahabat Rasulullah n karena keimanan, ketakwaan, dan kedudukannya sebagai sahabat serta kerabat Rasulullah n. Adapun terhadap ahlul bait yang bukan sahabat Rasulullah n, Ahlus Sunnah tetap mencintai mereka karena keimanan, ketakwaan, dan hubungan kerabatnya dengan Rasulullah n.
Ahlus Sunnah meyakini bahwa kemuliaan dengan sebab nasab itu mengiringi kemuliaan dengan sebab iman. Barang siapa yang Allah l mengumpulkan pada dirinya dua kemuliaan tersebut, berarti dia telah mengumpulkan dua kebaikan.
Adapun ahlul bait yang tidak mendapat taufik untuk beriman, maka kemuliaan nasab tidak berfaedah baginya sedikit pun. Allah l berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Rasulullah n bersabda,
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرِعْ بِهِ نَسَبُهُ
“Barang siapa yang amalannya lambat, nasabnya tak akan bisa mempercepatnya.” (HR. Muslim)

Perbandingan Akidah Ahlus Sunnah dengan Selain Mereka dalam Masalah Sahabat dan Ahlul Bait
Telah jelas dari pembahasan di atas bahwa akidah Ahlus Sunnah dalam masalah sahabat dan ahlul bait. Ahlus Sunnah mencintai seluruh ahlul bait yang beriman, berwala kepada mereka, tidak bersikap kaku kepada seorang pun dari mereka, dan tidak ghuluw (berlebihan) kepada seorang pun dari mereka. Ahlus Sunnah juga mencintai seluruh sahabat dan berwala kepada mereka. Ahlus Sunnah menggabungkan antara kecintaan kepada sahabat Rasulullah n dan kecintaan kepada kerabat Rasulullah n.
Hal ini berbeda dengan ahlul bid’ah dari kalangan Syiah dan semisalnya yang bersikap ghuluw kepada ahlul bait namun bersikap kaku terhadap banyak sahabat Rasulullah n. Akidah Ahlus Sunnah juga berbeda dengan akidah Nawashib yang membenci ahlul bait Rasulullah n dan para sahabat g.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Akidah Ahlus Sunnah tentang ahlul bait adalah:
• Ahlus Sunnah mencintai ahlul bait, berwala kepada mereka, dan menjaga wasiat Rasulullah n yang mengingatkan mereka (untuk memuliakan dan berbuat baik) terhadap ahlul bait. Ahlus Sunnah tidak memosisikan mereka lebih tinggi dari kedudukan yang semestinya.
• Ahlus Sunnah berlepas diri dari orang-orang yang ghuluw terhadap ahlul bait, bahkan sebagian mereka sampai bersikap ghuluw dalam hal uluhiyah, seperti yang dilakukan Abdullah bin Saba’ terhadap Ali bin Abi Thalib z dengan mengatakan kepada beliau z, “Engkau adalah Allah.” (Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah)
Dari pembahasan ini kita dapatkan beberapa kesimpulan.
1. Sahabat Rasulullah n adalah generasi terbaik umat ini yang memiliki banyak keutamaan sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
2. Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai dan menghormati para sahabat Rasulullah n.
3. Di antara sahabat Rasul n yang mendapatkan keutamaan para sahabat adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan c.
4. Ahlul bait Rasulullah n adalah orang-orang yang tidak boleh menerima sedekah/zakat.
5. Istri-istri Rasulullah n termasuk ahlul bait beliau n.
6. Ahlul bait yang memiliki keutamaan adalah yang beriman dan mengikuti Rasulullah n.
7. Ahlus Sunnah menggabungkan kecintaan mereka kepada sahabat dan kecintaan kepada ahlul bait. Inilah satu kekhususan Ahlus Sunnah yang membedakan mereka dengan kelompok-kelompok sempalan, seperti Syiah Rafidhah dan Khawarij.