Peristiwa Mata Air Raji’

Sebuah tragedi terjadi atas kaum muslimin. Sejumlah utusan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam dibantai oleh musuh-musuh Islam akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh sekelompok orang yang mengaku-aku telah berislam.

 

Setelah perang Uhud usai, kaum musyrikin Quraisy tetap bertahan sehingga dikira akan bersiap menyerang Madinah. Hal ini dirasa cukup menyulitkan posisi kaum muslimin. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam pun mengutus pasukan untuk mengintai gerak-gerik musyrikin Quraisy.

Di kalangan musyrikin sendiri, mereka justru saling mencela. Mereka meminta Abu Sufyan kembali menyiapkan pasukan untuk menyerang Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Ketika berita ini sampai kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat, mereka mengucapkan kalimat yang menunjukkan besarnya keimanan dan keyakinan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,

 

ٱلَّذِينَ قَالَ لَهُمُ ٱلنَّاسُ إِنَّ ٱلنَّاسَ قَدۡ جَمَعُواْ لَكُمۡ فَٱخۡشَوۡهُمۡ فَزَادَهُمۡ إِيمَٰنًا وَقَالُواْ حَسۡبُنَا ٱللَّهُ وَنِعۡمَ ٱلۡوَكِيلُ

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” Perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Ali ‘Imran: 173)

Pada bulan Shafar, datanglah utusan dari masyarakat ‘Adhal dan al-Qarah yang mengaku telah masuk Islam. Mereka meminta agar diutus orang-orang yang bisa mengajarkan Islam dan membacakan al-Qur’an untuk mereka. Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam mengirim sepuluh orang sahabat, dipimpin oleh Martsad bin Abi Martsad al-Ghanawi[i], disertai pula Khubaib bin ‘Adi.

Setibanya di ar-Raji’, sebuah mata air milik kabilah Hudzail di pinggiran Hijaz, kaum ‘Adhal dan al-Qarah malah berkhianat. Mereka berteriak memanggil orang-orang Hudzail yang akhirnya datang mengepung mereka kemudian membantai sebagian besar utusan Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam. Tinggallah Khubaib dan Zaid bin Datsinah menjadi tawanan. Keduanya dibawa ke Makkah dan dijual kepada orang-orang Quraisy yang para pemimpin mereka banyak terbunuh oleh keduanya di Badr.

Al-Imam Al-Bukhari mengisahkan dalam Shahih-nya (dalam Fathul Bari 7/473) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam mengirim satu pasukan mata-mata dan mengangkat ‘Ashim bin Tsabit sebagai pimpinan. Dia adalah kakek ‘Ashim bin ‘Umar bin al-Khaththab. Mereka pun berangkat hingga tiba di antara ‘Usfan dan Makkah. Ternyata berita ini dibocorkan kepada Bani Lihyan, yang lantas membuntuti mereka dengan seratus pasukan panah. Ketika mereka tiba di satu tempat, mereka dapati pada bekas rombongan ‘Ashim biji-biji kurma yang dibawa dari Madinah. Kata mereka, “Ini adalah kurma Madinah.” Mereka pun mengejar hingga berhasil menemukan rombongan ‘Ashim.

Sementara itu, rombongan ‘Ashim berlindung di Fadfad. Akhirnya datanglah pasukan Bani Lihyan mengepung mereka dan berkata, “Kalian berhak membuat kesepakatan dan perjanjian. Jika kalian turuti kami, kami tidak akan membunuh seorang pun dari kalian.”

Kata ‘Ashim, “Adapun aku, tidak akan menerima perlindungan orang kafir. Ya Allah, sampaikan tentang kami kepada Nabi-Mu.”

Mereka lalu memerangi rombongan ‘Ashim hingga dia terbunuh di antara tujuh korban yang ada, akibat serangan panah. Tinggallah Khubaib dan Zaid serta seorang lagi. Lalu mereka menerima kesepakatan dan perjanjian. Setelah itu mereka ikut dengan pasukan Bani Lihyan.

Setelah pasukan itu menguasai Khubaib dan teman-temannya, mereka melepas tali busur mereka, mengikat Khubaib dan dua temannya. Sahabat yang ketiga tadi berkata, “Ini adalah pengkhianatan pertama.” Dia menolak ikut mereka. Akhirnya pasukan itu menyeretnya, tetapi dia tetap menolak. Akhirnya mereka membunuhnya.

Pasukan itu membawa Khubaib dan Zaid kemudian menjualnya di Makkah. Khubaib dibeli oleh Bani al-Harits bin ‘Amir bin Naufal; Khubaib membunuh al-Harits pada waktu Perang Badr. Akhirnya dia tinggal bersama mereka sebagai tawanan, sampai mereka sepakat untuk membunuhnya. (Ketika ditawan), Khubaib meminjam pisau cukur kepada salah satu anak perempuan al-Harits untuk membersihkan diri. Wanita itu pun meminjamkannya.

Wanita itu mengatakan, “Aku sempat lupa dengan anakku yang masih kecil. Dia (anak si wanita itu, -red.) masuk mendekati Khubaib. Khubaib meletakkan pisau itu di atas pahanya. Ketika melihatnya, aku sangat ketakutan. Khubaib pun tahu, sedangkan di tangannya tergenggam pisau cukur itu. Dia berkata, ‘Apakah engkau takut kalau aku membunuh anak ini? Tidak mungkin aku melakukannya, insya Allah.’

Setelah itu wanita tersebut selalu berkata, “Aku belum pernah melihat tawanan yang lebih baik daripada Khubaib. Aku pernah melihatnya memakan segenggam anggur, padahal ketika itu di Makkah tidak ada buah-buahan, sedangkan dia terbelenggu dengan rantai besi. Ternyata itu tidak lain adalah rezeki yang Allah berikan kepadanya.”

Kemudian mereka keluar menjauhi daerah al-Haram (Makkah) untuk membunuh Khubaib.

Khubaib berkata, “Biarkan aku mengerjakan shalat dua rakaat.”

Setelah itu dia menoleh kepada mereka dan berkata, “Kalau bukan karena khawatir kalian menganggap aku takut mati, tentu aku tambah lagi.”

Dialah yang pertama memberikan contoh (sunnah) shalat dua rakaat sebelum dibunuh. Kemudian dia berkata, “Ya Allah, hitunglah jumlah mereka.”

Dia berkata lagi,

Aku tidak pernah peduli ketika aku terbunuh sebagai muslim

Di bagian mana pun tubuhku jatuh terbunuh karena Allah

Itu untuk membela Dzat Allah[ii], dan kalau Dia kehendaki

Tentu Dia berkahi salah satu anggota tubuhku yang terputus

Bangkitlah ‘Uqbah bin al-Harits lalu membunuhnya. Kemudian orang-orang Quraisy mengirim utusan untuk mencari satu bagian tubuh ‘Ashim yang mereka ketahui bahwa ia yang membunuh pembesar mereka di Badr. Kemudian Allah mengirimkan serombongan lalat atau lebah seperti naungan yang melindungi ‘Ashim dari utusan-utusan tersebut sehingga mereka tidak dapat mendekatinya.”

Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan, ketika Khubaib berdoa dengan kalimat tersebut, tidak ada yang selamat dari mereka kecuali orang yang menjatuhkan dirinya tiarap di atas tanah. Beliau menukil dari Ibnu Ishaq dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang ketika itu menyertai ayahnya, Abu Sufyan, bahwa beliau mengatakan, “Ayahku melemparkanku ke atas tanah, khawatir terkena doa itu.”

Beliau menukilkan pula dari riwayat Abil Aswad bahwa Jibril datang kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam menceritakan keadaan mereka. Beliau pun menyampaikannya kepada para sahabat.

Ibnul Qayyim menceritakan bahwa ketika itu Abu Sufyan menawarkan kepada Khubaib, katanya, “Bagaimana, apakah engkau senang kalau Muhammad yang kami tawan dan lehernya ditebas sedangkan engkau tinggal di tengah-tengah keluargamu?”

Kata Khubaib, “Tidak, demi Allah. Tidaklah aku senang aku bersama keluargaku, namun Muhammad (shallalahu ‘alaihi wasallam) ada di tempat lain dan dia tertusuk duri.”

Beberapa Faedah Kisah Ini

Ibnu Hajar menerangkan beberapa faedah dari kisah yang ada dalam hadits ini, di antaranya:

  • Bolehnya menepati perjanjian kesepakatan dengan kaum musyrikin
  • Menahan diri tidak membunuh anak-anak mereka
  • Adanya karamah para wali
  • Bolehnya mendoakan kejelekan untuk kaum musyrikin secara umum
  • Bolehnya shalat ketika akan dibunuh
  • Bolehnya mendendangkan syair ketika akan dibunuh.
  • Kisah ini menunjukkan kekuatan keyakinan Khubaib dan keteguhannya terhadap Islam.
  • Kaum musyrikin sangat menghormati dan mengagungkan Tanah Suci (Makkah), semoga Allah tetap menjaga dan memuliakannya.

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

 

 

[i] Demikian Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa yang diangkat menjadi pimpinan adalah Martsad bin Abi Martsad al-Ghanawi radhiyallahu ‘anhu. Namun, wallahu a’lam, yang lebih tepat adalah seperti yang tersebut dalam hadits berikutnya.

[ii] Ibnu Qayyim al-Jauziyah menerangkan dalam Badai’ul Fawaid (2/7—8) bahwa konteks seperti ذلك في ذات الله maknanya adalah في سبيل الله أو مرضاته أو طاعته  , yaitu hal itu kutempuh di jalan Allah (dalam ketaatan dan keridhaan-Nya). Demikian pula kata al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin dalam Syarah Bulughul Maram ketika menjelaskan hadits ‘Aisyah (no. 6770) dari “Kitabush Shiyam”, lafadz ذات يوم. (ed)