Rambu-rambu Penting dalam Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan al-Qur’an

Di antara nikmat terbesar yang Allah ‘azza wa jalla karuniakan kepada umat Islam adalah Kitab Suci al-Qur’an. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah ‘azza wa jalla menjadikannya sebagai pedoman dan lentera bagi kehidupan umat manusia. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Rabb-mu (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Qur’an).” (an-Nisa’: 174)

Al-Qur’an adalah kitab suci yang paling mulia. Hikmah yang dikandungnya pun sangat luas dan berharga. Di dalamnya terdapat lautan ilmu, petunjuk kepada jalan yang lurus, rahmat, dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri kepada Allah ‘azza wa jalla. Firman-Nya ‘azza wa jalla,

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl: 89)

“Hai Ahli Kitab, telah datang kepada kalian Rasul kami, menjelaskan kepada kalian banyak dari Al-Kitab yang kalian sembunyikan dan banyak pula yang dibiarkannya.

Sesungguhnya telah datang kepada kalian cahaya dari Allah dan kitab yang menerangkan (al-Qur’an). Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya kepada jalan keselamatan. Dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-Maidah: 15—16)

Al_Quran

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Kitabullah (al-Qur’an) adalah yang paling berhak untuk dicurahkan kepadanya perhatian dan kesungguhan, yang paling agung untuk dikerahkan kepadanya pemikiran dan ditorehkan dengannya pena. Sebab, ia adalah sumber segala ilmu dan hikmah, tempat setiap petunjuk dan rahmat. Al-Qur’an adalah bekal termulia bagi ahli ibadah dan pegangan terkuat bagi orang-orang yang berpegang teguh (istiqamah). Barang siapa berpegang teguh dengannya, sungguh telah berpegang dengan tali yang kuat; barang siapa berjalan di atasnya, sungguh telah berjalan di atas jalan yang lurus dan terbimbing menuju ash-shirathal mustaqim.” (al-Fawaid al-Musyawwiq ila Ulumil Qur’an wa Ilmil Bayan, hlm. 6—7)

 

Hikmah Diturunkannya Al-Qur’an

Kitab Suci al-Qur’an tidaklah diturunkan oleh Allah ‘azza wa jalla untuk dibaca dan dihafalkan semata. Allah ‘azza wa jalla menurunkannya supaya direnungkan ayat-ayatnya dan dipetik pelajaran-pelajaran berharga darinya. Itulah hikmah diturunkannya al-Qur’an. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka merenungkan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran.” (Shad: 29)

Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla menerangkan (dalam ayat ini) bahwa hikmah dari penurunan al-Qur’an yang penuh berkah itu, supaya manusia mentadabburi (merenungkan) ayat-ayatnya dan mengambil pelajaran berharga darinya. Maksud dari mentadabburi adalah merenungkan lafadz-lafadznya hingga dapat memahami kandungan maknanya. Jika upaya perenungan tersebut tak dilakukan, hilanglah hikmah penurunan al-Qur’an. Jadilah ia lafadz-lafadz yang tak bermakna. Lebih dari itu, tidaklah mungkin pelajaran-pelajaran berharga dapat dipetik darinya tanpa memahami kandungan maknanya.” (Tafsir al-Qur’an karya asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/20)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Telah maklum bahwa target dari setiap perkataan yang diucapkan adalah agar dipahami maknanya dan tidak sekadar dikenali lafadz-lafadznya. Sudah barang tentu, yang lebih utama untuk dipahami makna-maknanya adalah kalamullah (firman Allah ‘azza wa jalla).

Demikian pula menurut kebiasaan, tidaklah dibenarkan sekelompok orang yang mempelajari suatu disiplin ilmu seperti ilmu kedokteran atau matematika, namun tidak berupaya memahaminya dengan baik. Bagaimanakah dengan kalamullah yang merupakan pedoman hidup mereka, dan dengannya akan diraih keselamatan, kebahagiaan, dan tegaknya urusan agama dan dunia mereka?! (Majmu’ Fatawa 13/332)

 

Kewajiban Mengkaji dan Memahami Kitab Suci Al-Qur’an dengan Baik dan Benar

Betapa besar hikmah dari penurunan Kitab Suci al-Qur’an. Hikmah itu pun tak mungkin terwujud tanpa adanya upaya mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an dengan baik dan benar.

Atas dasar itu, mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an dengan baik dan benar merupakan kewajiban setiap muslim. Dengannya, pengamalan terhadap al-Qur’an menjadi benar dan sesuai dengan yang dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Demikianlah yang dilakukan oleh para pendahulu umat ini (salaful ummah).

Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Para pendahulu umat ini (salaful ummah) berjalan di atas kewajiban ini, mereka mempelajari al-Qur’an lafadz dan maknanya. Karena itu, mereka lebih mudah mengamalkan al-Qur’an sesuai dengan yang dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Sebab, tidak mungkin beramal dengan sesuatu yang tidak dipahami.

Abu Abdirrahman as-Sulami rahimahullah berkata, ‘Telah memberitakan kepada kami orang-orang yang mengajarkan al-Qur’an kepada kami, seperti Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dan selain keduanya bahwa mereka dahulu mempelajari sepuluh ayat al-Qur’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidaklah mereka melanjutkannya hingga memahami kandungan maknanya dari ilmu dan pengamalannya. Mereka pun mengatakan, kami mempelajari al-Qur’an, ilmu, dan pengamalannya secara sekaligus’.” (Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/21)

Mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an adalah amalan mulia. Dengannya, hati seseorang akan hidup. Sebaliknya, sikap enggan mengkaji dan memahami Kitab Suci al-Qur’an adalah perbuatan tercela. Karena itu, hati seseorang akan mati terkunci. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

“Maka apakah mereka tidak memerhatikan al-Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla berfirman memerintahkan agar al-Qur’an ditadabburi dan dipahami, serta melarang dari sikap berpaling darinya.” (Tafsir Ibnu Katsir 7/320)

Asy-Syaikh al-‘Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Tidakkah orang-orang yang berpaling dari kitabullah mau merenungi dan memerhatikannya dengan saksama? Sungguh, jika mereka mau merenunginya. niscaya ia akan mengarahkan mereka kepada seluruh kebaikan dan memperingatkan mereka dari seluruh kejelekan. Kalbu mereka akan dipenuhi iman. Hati mereka pun akan dipenuhi keyakinan.

Al-Qur’an mengantar mereka kepada cita-cita yang mulia dan karunia yang tak terhingga; menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kepada Allah ‘azza wa jalla dan Jannah-Nya, serta hal-hal yang dapat menyempurnakan jalan tersebut dan merusaknya. Demikian pula jalan yang mengantarkan kepada azab-Nya dan bagaimana cara menghindarinya; mengenalkan kepada mereka Rabb mereka; nama-nama dan sifat-sifat- Nya serta kebaikan-Nya; memotivasi mereka untuk selalu merindukan pahala yang besar dan mewanti-wanti mereka dari azab yang pedih.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 788)[1]

Asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Allah ‘azza wa jalla mencela orang-orang yang enggan mentadabburi al-Qur’an, dan mengisyaratkan bahwa itu termasuk penguncian terhadap hati mereka dan tidak sampainya kebaikan kepadanya.” (Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/21)

Tak mengherankan apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya supaya mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya. Dengan begitu, predikat terbaik akan diraih. Dengannya pula berbagai kebaikan akan selalu mengiringi perjalanan hidup seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” ( HR. al-Bukhari no. 5027, dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu)

 

Jangan Salah Mengkaji, Memahami, dan Menafsirkan Al-Qur’an!

Mengkaji dan memahami al-Qur’an tak boleh asal-asalan. Kecerdasan atau kebersihan jiwa semata tak cukup untuk mengkaji dan memahaminya. Sebab, al-Qur’an adalah wahyu ilahi yang datang dari Allah Rabb Semesta Alam. Kedudukannya pun sangat sakral dalam agama ini.

Tak mengherankan apabila para pendahulu terbaik umat ini (as-salafush shalih) selalu berpegang dengan atsar (riwayat-riwayat) dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkannya. Tidak bermudah-mudahan menggunakan logika atau ijtihad, padahal mereka adalah orang-orang yang jenius. Tidak gegabah mengeluarkan gagasan jiwa, meski mereka adalah orang-orang yang dikaruniai kebersihan jiwa. Mereka meyakini bahwa al-Qur’an haruslah dikaji, dipahami, dan ditafsirkan sesuai dengan yang dimaukan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Di antara metode yang tepat dan benar dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an adalah sebagai berikut:

  1. Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya.

Sebab, Allah ‘azza wa jalla yang menurunkannya dan Dia ‘azza wa jalla lebih mengetahui maksudnya. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,

“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Yunus: 62)

Siapakah wali-wali Allah ‘azza wa jalla itu? Mereka adalah orang yang beriman dan selalu bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam ayat yang sesudahnya,

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus: 63)

 

  1. Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-Sunnah).

Sebab, beliau adalah utusan Allah ‘azza wa jalla yang bertugas menyampaikan segala yang datang dari Allah ‘azza wa jalla. Tentunya, beliaulah orang yang paling mengetahui kandungan makna Al-Qur’an. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (Yunus: 26)

Yang dimaksud dengan “tambahan” di sini adalah kenikmatan melihat wajah Allah ‘azza wa jalla sebagaimana keterangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Shahih Muslim no. 297—298 dari Shuhaib bin Sinan radhiallahu ‘anhu dan hadits-hadits selainnya.

 

  1. Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para sahabat g terutama para ulama mereka yang mumpuni di bidang tafsir.

Sebab, al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan di masa mereka. Merekalah orang yang paling bersungguh-sungguh mencari kebenaran setelah para nabi, orang yang paling jauh dari kesesatan, dan paling bersih dari hal-hal yang menghalangi mereka dari kebenaran. Contohnya firman Allah ‘azza wa jalla,

“Dan jika kamu sakit atau sedang bepergian atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan.” (an-Nisa’: 43)

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan “menyentuh perempuan” dengan jima’.

 

  1. Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan perkataan para tabi’in yang bersungguh-sungguh dalam menimba ilmu tafsir dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebab, mereka adalah orang terbaik umat ini setelah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lebih terselamatkan dari kesesatan daripada generasi sesudah mereka, dan bahasa Arab pun belum banyak berubah di masa mereka. Pemahaman mereka tentang al-Qur’an jauh lebih benar daripada generasi sesudah mereka.

 

  1. Mengkaji, memahami, dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pengertiannya secara terminologi (istilah) atau etimologi (bahasa) yang sesuai dengan redaksinya.

(Diringkas dari Tafsir al-Qur’an, asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/23-24)

Demikianlah lima tahapan penting dalam mengkaji, memahami, dan menafsirkan al-Qur’an. Barang siapa berpegang teguh dengannya niscaya akan terbimbing kepada kebenaran. Barang siapa tak mengindahkannya, niscaya akan terjauhkan dari kebenaran.

 

Menelisik Syarat-Syarat Penafsir

Tafsir ( التَّفْسِير ), secara etimologi berasal dari kata al-fasr ( الفَسْر ) yang bermakna; menyingkap dari sesuatu yang tertutup. Secara terminologi bermakna; penjelasan tentang kandungan makna al-Qur’anul Karim.[2] Orang yang menjelaskan kandungan makna al-Qur’anul Karim disebut mufassir ( المفَسِّر ) atau penafsir.

Mengingat betapa rawan dan bahayanya menafsirkan Al-Qur’an dengan logika atau ijtihad, maka para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah memberikan syarat-syarat yang ketat sebagaimana berikut.

  1. Berilmu tentang akidah as-Salaf dan tauhid dengan tiga jenisnya, agar tidak terkontaminasi dengan akidah kelompokkelompok sesat ketika menafsirkan semisal; Jahmiyah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadariyah, Murji’ah, dan yang lainnya.
  2. Berilmu tentang al-Qur’an dan menghafalnya, agar memungkinkan baginya menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat yang lainnya atau mampu menempatkan al-mutasyabih pada tempatnya dan al-muhkam pada tempatnya. Lebih bagus lagi jika menguasai ilmu qiraat.
  3. Berilmu tentang as-Sunnah, sehingga ijtihadnya tentang tafsir ayat tertentu bersandarkan riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  4. Berilmu tentang perkataan-perkataan sahabat, sehingga tafsirnya tidak berseberangan dengan tafsir mereka.
  5. Berilmu tentang peradaban bangsa Arab, agar dapat menempatkan sebuah ayat pada tempatnya.
  6. Menguasai bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang terkait dengannya seperti; nahwu, sharaf, ilmu al-ma’ani, dan balaghah. (Diringkas dari kitab Manahij al-Mufassirin karya asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh 1/15-16)

Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah berkata, “Tujuan dari semua ini adalah agar orang-orang yang mengira dirinya layak menafsirkan al-Qur’an padahal tidak layak, tidak gegabah menafsirkan dengan ijtihad dan istinbath sementara perangkat-perangkatnya belum dimiliki. Sebab, permasalahan tafsir itu berat.

Oleh karena itu, sekelompok as-Salaf mengharamkan tafsir dengan ijtihad. Mereka pun mengatakan, ‘Kami tidak menafsirkan al-Qur’an kecuali dengan apa yang dinukil dari para sahabat. Adapun setelah sahabat, maka tak seorang pun berhak menafsirkan al-Qur’an.’ Namun, ini pendapat sekelompok kecil dari tabi’in. (Manahij al-Mufassirin karya asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh 1/17)

 

Sekelumit Tentang Sejarah Penyelewengan Tafsir

Sejarah telah mencatat bahwa Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam tidaklah tersesat melainkan karena memahami dan menafsirkan al-Qur’an dengan logika mereka tanpa metode yang tepat dan benar. Mereka mengambil ayat-ayat yang berisi ancaman azab (wa’id) dan mengesampingkan ayat-ayat lainnya yang berisi rahmat dan ampunan Allah ‘azza wa jalla. Kemudian mereka mengembangkannya dengan logika hingga terjatuh ke dalam praktik takfir (pengkafiran) terhadap pelaku dosa besar di bawah dosa syirik. Kafir di dunia dan kekal abadi di neraka.

Sejarah pun mencatat, tatkala terjadi rekonsiliasi antara pihak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Gubernur Syam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, pasca-Perang Shiffin, dengan kesepakatan mengembalikan amar putusan (bertahkim) kepada para juru pendamai (hakam), yaitu Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu dari pihak Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Amr bin al-Ash radhiallahu ‘anhu dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhuma, maka kaum Khawarij tanpa keraguan sedikit pun mengkafirkan kedua belah pihak dengan alasan “telah berhukum kepada manusia dan tidak berhukum kepada Allah ‘azza wa jalla”. Mereka berdalil dengan firman Allah ‘azza wa jalla,

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (al-Maidah: 44)

Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengingatkan mereka bahwa Allah ‘azza wa jalla memerintahkan agar mengutus juru pendamai dari pihak suami dan pihak istri manakala terjadi pertikaian antara keduanya, guna mendapatkan solusi yang terbaik. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,

“Dan jika kamu khawatirkan ada pertikaian antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru pendamai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (an-Nisa’: 35)

Kalaulah mengutus dua juru pendamai untuk urusan rumah tangga diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla, lebih berhak lagi mengutus dua juru pendamai untuk urusan yang lebih besar, dalam hal ini berkaitan dengan darah dan kehormatan kaum muslimin. Beliau radhiallahu ‘anhuma juga membawakan firman Allah ‘azza wa jalla,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu.” (al-Maidah: 95)

Kalaulah putusan harga (denda) hewan buruan tersebut diserahkan oleh Allah ‘azza wa jalla kepada dua orang yang adil, tentunya boleh juga menyerahkan amar putusan kepada para juru pendamai terkait dengan kemaslahatan kaum muslimin yang jauh lebih besar. Kalaulah permasalahan hewan buruan tergolong penting untuk segera diselesaikan dengan dipercayakan kepada ahlinya, lebih-lebih lagi permasalahan yang berkaiatan dengan darah dan kehormatan kaum muslimin.[3]

Demikianlah di antara contoh kasus memahami dan menafsirkan al-Qur’an tanpa menggunakan metodologi yang tepat dan benar. Akibatnya, mereka terjatuh dalam takfir (pengkafiran) yang sesat dan menyesatkan. Bahkan, kesudahannya adalah mengkafirkan siapa saja yang bukan kelompoknya, serta menghalalkan darah dan hartanya.[4] Wallahul Musta’an.

 

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi


[1] Beliau juga berkata, “Membaca al-Qur’an dengan penuh tadabbur lebih utama daripada membacanya dengan cepat (banyak) tanpa mentadabburinya.” (Tafsir as-Sa’di hlm. 712)

[2]Tafsir Al-Qur’an karya asy-Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 1/20.

[3] Lihat Kitab al-Khashaish karya al-Imam an-Nasa’i hlm. 195, Talbis Iblis karya al-Imam Ibnul Jauzi hlm. 82, dan al-Ajwibah al-Atsariyyah ‘anil Masail al-Manhajiyyah karya asy-Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkhali hlm. 91-93.

[4] Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)