Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan
Salah satu prinsip yang menjadi konsekuensi kalimat tauhid adalah kewajiban hamba untuk menjadikan kecintaan terhadap Allah ‘azza wa jalla sebagai kecintaan tertinggi di dalam lubuk hatinya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah: 165)
Berbeda halnya dengan orang kafir dan musyrik. Kecintaan mereka terbagi sebanyak sembahan yang mereka sembah selain Allah ‘azza wa jalla, padahal Allah ‘azza wa jalla yang menciptakan kita. Firman-Nya,
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.” (al-Baqarah: 165)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Orang yang beriman sangat mencintai Allah ‘azza wa jalla dibandingkan dengan kecintaan orang musyrik terhadap sembahan mereka. Sebab, orang yang beriman memurnikan kecintaannya kepada Allah ‘azza wa jalla, sedangkan orang musyrik mempersekutukan-Nya dalam hal kecintaan. Selain itu, orang yang beriman mencintai Dzat yang berhak untuk dicintai secara hakiki (yaitu Allah ‘azza wa jalla), yang kecintaan terhadap-Nya ‘azza wa jalla adalah sumber kebaikan, kebahagiaan, dan keselamatannya. Adapun orang musyrik mencintai sesuatu yang tidak berhak dicintai, sehingga kecintaan itu menjadi sumber kesengsaraan, kerusakan, dan kekacauan urusannya.
Sebagaimana dimaklumi, kecintaan hamba terhadap sesuatu memiliki konsekuensi yang harus diwujudkan sebagai bukti kebenaran dan kejujuran cintanya itu. Maka dari itu, kecintaan tertinggi seorang mukmin terhadap Allah ‘azza wa jalla menuntutnya untuk mencintai segala sesuatu yang dicintai oleh Rabb-Nya, walaupun tidak sejalan dengan logika, perasaan, adat-istiadat, atau hawa nafsunya. Di samping itu, dia harus membenci segala yang dibenci oleh Penciptanya, walaupun seleranya sangat menyenanginya.
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab: 36)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan makna ayat di atas dalam tafsirnya, “Tidak pantas dan tidak selayaknya bagi orang beriman kecuali bersegera menerima perkara yang diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya, serta menjauhi (berbagai hal yang) dimurkai oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya; dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan berbagai larangan-Nya.
Tidak sepantasnya bagi orang beriman, baik laki-laki maupun perempuan, apabila Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara, yaitu mewajibkan atau mengharuskannya, mereka masih memiliki pilihan lain, apakah akan melakukannya atau tidak. Seorang mukmin justru harus yakin bahwa pilihan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih pantas daripada pilihannya. Tidak pantas hawa nafsunya menjadi penghalang antara dirinya dan keputusan Allah ‘azza wa jalla serta Rasul-Nya.”
Mencintai, Menaati, dan Mengikuti Sunnah Rasul, Bukti Benarnya Kecintaan terhadap Allah ‘azza wa jalla
Sebagaimana yang dipaparkan di atas, kecintaan seorang hamba kepada Allah ‘azza wa jalla memiliki beberapa konsekuensi. Di antaranya ialah mencintai, menaati, dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ‘azza wa jalla mengabarkan hal ini di dalam firman-Nya,
Katakanlah, “Jika kamu (benarbenar) mencintai Allah ‘azza wa jalla, ikutilah aku, niscaya Allah ‘azza wa jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran: 31)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata di dalam tafsirnya, “Ayat yang mulia ini menjadi hakim terhadap orang yang mengaku cinta kepada Allah ‘azza wa jalla dan berada di atas jalan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengakuannya adalah dusta, sampai dia mengikuti agama dan syariat yang dibawa oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam seluruh ucapan dan perbuatannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian sampai aku menjadi orang yang lebih dia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. al-Bukhari no. 14)
Al-Qur’an al-Karim mengiringkan perintah untuk menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perintah menaati Allah ‘azza wa jalla di banyak tempat. Bahkan, Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Barang siapa menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa berpaling (dari ketaatan itu), Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa: 80)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan rahasia ayat ini, “Setiap orang yang menaati perintah dan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti benar-benar menaati Allah ‘azza wa jalla. Sebab, beliau tidak memerintah dan tidak melarang kecuali dengan perintah, syariat, dan wahyu dari Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, firman Allah ‘azza wa jalla ini mengandung (dalil yang menunjukkan) kemaksuman Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah ‘azza wa jalla memerintahkan (kepada para hamba- Nya) untuk menaati beliau secara mutlak. Seandainya beliau tidak maksum (terjaga dari kesalahan dan kekeliruan) pada seluruh perkara yang beliau sampaikan dari Allah ‘azza wa jalla, niscaya Allah ‘azza wa jalla tidak akan memerintahkan untuk menaati beliau secara mutlak dan tidak memuji hal itu.”
Keselamatan & Kebahagiaan di Dunia & di Akhirat dengan Mengikuti Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang Rasul-Nya,
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
Barang siapa menaati beliau dan mengikuti sunnahnya, niscaya akan mendapatkan petunjuk di dunia dan di akhirat. Firman Allah ‘azza wa jalla,
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (an-Nur: 54)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “… Maknanya adalah engkau menerangkan, menjelaskan, menerangi, dan menolong mereka ke jalan yang lurus (ash-shirathal mustaqim) serta melarang dan menakut-nakuti mereka dari hal yang bertentangan dengan ash-shirathal mustaqim.”
Beliau rahimahullah juga menerangkan, “Apabila kalian menaati beliau, niscaya kalian akan mendapatkan petunjuk menuju ash-shirathal mustaqim, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Jadi, tidak ada jalan untuk mendapatkan hidayah kecuali dengan menaati beliau. Tanpa ketaatan terhadap beliau, tidak mungkin (hidayah itu didapatkan), bahkan mustahil.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk ke dalam jannah kecuali orang yang menolak (masuk surga).” Beliau ditanya, “Siapakah yang menolak, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Barang siapa menaatiku, niscaya dia akan masuk ke dalam jannah; dan barang siapa mendurhakaiku, sungguh dia telah menolak masuk jannah.” (HR. al-Bukhari no. 6851)
Di dalam banyak ayat, Allah ‘azza wa jalla menegaskan perintah untuk taat kepada Rasul-Nya dalam bentuk ancaman. Di antaranya,
“Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa’: 115)
Firman-Nya,
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Makna ayat ini, kata asy-Syaikh Sa’di rahimahullah, di dalam tafsirnya, “Barang siapa menyelisihi Rasul dan menentang syariat yang beliau bawa (dari sisi Allah ‘azza wa jalla) setelah mendapatkan kejelasan dengan dalil al-Qur’an atau sunnah, lantas dia mengikuti selain jalan orang yang beriman dalam hal akidah, keyakinan, maupun amalan; niscaya Kami akan membiarkannya dan apa yang menjadi pilihannya. Setelah itu, Kami akan menghinakannya sehingga Kami tidak akan memberinya hidayah taufik kepada kebaikan karena perbuatannya, yaitu mengetahui kebenaran lantas meninggalkannya. Jadi, balasan Allah ‘azza wa jalla terhadapnya adalah keadilan. Dia membiarkannya dalam kesesatan dan kebingungan, dan terus bertambah kesesatan itu pada dirinya. Na’udzubillah min dzalik.”
Ketaatan terhadap Pemerintah adalah Ibadah
Di antara sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wajib kita pegang teguh dan dakwahkan ialah perintah untuk taat kepada pemerintah walaupun bukan sosok yang suci dari kesalahan. Telah dibahas panjang lebar pada edisi 95 Mengapa Rakyat Harus Taat? tentang kewajiban rakyat untuk taat kepada pemerintah atau penguasa yang muslim dalam hal yang ma’ruf dan sesuai dengan kemampuan.
Namun, ada hal penting yang harus kita sampaikan dan ingatkan kepada umat: Ketaatan kita terhadap pemerintah yang muslim adalah ibadah yang agung. Oleh karena itu, ketaatan tersebut dibangun di atas dua syarat yang menjadi penentu diterima atau tidaknya ibadah, yaitu ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla dan mutaba’ah (mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Allah ‘azza wa jalla memerintah hamba-Nya untuk menaati para penguasa,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah ‘azza wa jalla, taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisa’: 59)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ وَمَنْ أَطَاعَ أَمِيرِي فَقَدْ أَطَاعَنِي وَمَنْ عَصَى أَمِيرِي فَقَدْ عَصَانِي
“Barang siapa menaatiku, sungguh dia telah menaati Allah ‘azza wa jalla. Barang siapa mendurhakaiku, sungguh dia telah mendurhakai Allah ‘azza wa jalla. Barang siapa menaati pemimpinku (penguasa muslim), sungguh dia telah menaatiku. Barang siapa mendurhakai pemimpinku (penguasa muslim), sungguh dia telah mendurhakaiku.” (Muttafaqun alaih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Makna ketaatan terhadap pemerintah ini tidak mutlak. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas setiap muslim untuk mendengar dan taat (terhadap pemerintah), baik pada urusan yang disukai maupun dibenci, kecuali apabila diperintah untuk bermaksiat. Apabila dia diperintah berbuat maksiat, tidak boleh mendengar dan taat (dalam hal itu).” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Demokrasi Merusak Moral Generasi
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Setiap muslim wajib dengan sebab konsekuensi agamanya untuk mendengar dan taat terhadap pemerintahnya, baik pada urusan yang dia sukai maupun yang dia benci. Sampai-sampai, kalau diperintah untuk melakukan sesuatu yang dia benci, dia wajib melakukannya, walaupun dia memiliki pendapat yang lain. Walaupun tidak suka melakukannya, dia wajib melakukannya, kecuali apabila diperintah untuk berbuat maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla. Apabila diperintah untuk berbuat maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla, ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla harus didahulukan di atas segala bentuk ketaatan; tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada al-Khaliq.
Hadits di atas memuat dalil yang menunjukkan kesalahan pendapat, “Kita tidak menaati pemerintah kecuali dalam hal yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla.” Makna ucapan tersebut, apabila mereka memerintah kita untuk shalat, kita shalat. Apabila mereka memerintahkan untuk membayar zakat, kita membayar zakat. Adapun apabila mereka memerintahkan urusan yang tidak adaperintahnya secara syar’i, kita tidak wajib menaati mereka. Sebab, mereka (dalam hal ini) berarti pembuat syariat. Sungguh, ini adalah pendapat batil yang menyelisihi al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab, kalau kita berpendapat tidak akan menaati penguasa kecuali pada urusan yang Allah ‘azza wa jalla perintahkan kepada kita, berarti tidak ada perbedaan antara penguasa dan pihak lain yang memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, maka wajib ditaati.
Kita mengatakan, “Bahkan, kita diperintahkan menaati mereka pada urusan yang tidak Allah ‘azza wa jalla perintahkan kepada kita. Jika hal tersebut tidak dilarang atau diharamkan, kita wajib menaati mereka, sampai pun dalam hal tata tertib (misal: peraturan lalu lintas). Apabila mereka (pemerintah) telah membuat tata tertib (yang terkait dengan) pekerjaan, kita wajib menaatinya. Sebab, menaati mereka berarti melaksanakan perintah Allah ‘azza wa jalla dan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta merupakan upaya menjaga stabilitas keamanan, menjauhkan diri dari sikap mendurhakai pemerintah, dan menjauhkan diri dari sikap berpecah belah. Kalau kita berpendapat tidak menaati mereka kecuali pada urusan yang telah Allah ‘azza wa jalla perintahkan kepada kita, berarti tidak ada ketaatan kepada para penguasa.
Ada sebagian peraturan—sebagai contoh—yang ditetapkan oleh pemerintah dan tidak menyelisihi syariat. Akan tetapi, syariat tidak menentukan hal itu secara pasti. Jika ada orang yang mengatakan, “Kami tidak akan menaatinya,” kita jawab, ‘Anda tetap wajib menaatinya. Apabila melanggarnya, berarti Anda berdosa dan berhak mendapatkan hukuman dari Allah ‘azza wa jalla dan hukuman dari pemerintah’.” (Syarh Riyadhus Shalihin, 2/321)
Hikmah Perintah Taat kepada pemerintah
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata, “Tidak ada yang mampu mengatur umat manusia kecuali pemimpin/penguasa, baik penguasa yang baik maupun yang jahat.”
Mereka bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, tentang pemimpin yang baik (tentu kita maklumi). Bagaimana halnya dengan pemimpin yang jahat?”
Beliau menjawab, “Sesungguhnya, dengan perantaraan adanya pemimpin meski jahat, Allah ‘azza wa jalla akan menjadikan jalan itu aman, kaum muslimin bisa berjihad melawan musuh, mendapatkan fai’ (harta rampasan), hukum ditegakkan, dan ibadah haji ke baitullah ditunaikan. Seorang muslim bisa beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dengan aman sampai datang ajalnya.” (Diriwayatkan oleh Waki’ di dalam kitab Akhbar al-Qudhat, 1/21)
Al-‘Allamah Shadrudin as-Sulami rahimahullah menjelaskan tentang hikmah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya yang memerintah hamba-Nya menaati pemerintahnya dan melarang keras sikap menyelisihi perintah-Nya. Berikut ini ucapan beliau. “Sungguh, telah diriwayatkan kepada kita hadits sahih yang sampai pada derajat mutawatir atau mendekatinya, tentang perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat kepada waliyul ‘amr (penguasa), menasihati dan mencintai mereka, serta mendoakan kebaikan bagi mereka. Kalau kita mau menyebutkannya, pembicaraannya akan menjadi panjang. Akan tetapi, ketahuilah–semoga Allah ‘azza wa jalla membimbing kita untuk mengikuti sunnah serta menjauhkan kita dari penyimpangan dan kebid’ahan—termasuk kaidah syariat agama yang hanif ini ialah ketaatan terhadap penguasa hukumnya wajib atas setiap rakyat. Apalagi ketaatan terhadap penguasa itu akan menyatukan urusan agama yang terpisah-pisah dan menyebabkan teraturnya seluruh urusan kaum muslimin.
Mendurhakai penguasa akan meruntuhkan pilar agama, padahal kebahagiaan tertinggi akan didapatkan dengan menaati penguasa ialah terjaga seluruh keburukan dan terselamatkan dari seluruh syubhat. (Maknanya), ketaatan kepada penguasa menjadi penjagaan dan perlindungan (dari berbagai keburukan) bagi siapa saja. Dengan ketaatan itu, akan tegak berbagai hukum, tertunaikan kewajiban, terlindungi darah (kaum muslimin), dan terjamin keamanan di jalan-jalan. Oleh karena itu, alangkah bagusnya ucapan para ulama, “Sesungguhnya ketaatan kepada penguasa adalah penerang bagi siapa saja yang menggunakan cahayanya dan perlindungan bagi siapa saja yang senantiasa menjaganya.” (Tha’atu as-Sulthan, hlm. 45)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Hadits ini dan hadits sebelumnya yang tidak disebutkan secara keseluruhan oleh pengarang (an-Nawawi rahimahullah dalam Riyadh ash-Shalihin), menunjukkan wajibnya menaati para penguasa kecuali pada urusan maksiat kepada Allah ‘azza wa jalla. Sebab, hikmah dari menaati mereka adalah kebaikan, keamanan, dan ketertiban; demikian juga tidak akan timbul kekacauan dan perbuatan mengikuti hawa nafsu.
Apabila penguasa didurhakai dalam urusan yang semestinya ditaati, akan timbul kekacauan. Setiap orang merasa bahwa pendapatnyalah yang benar, sehingga akan menghilangkan keamanan, mengacaukan berbagai urusan, dan akan menimbulkan berbagai keburukan.” (Syarh Riyadh ash-Shalihin, 2/329)
Wajib Ditaati Walaupun Mendapat Kekuasaan dengan Cara yang Batil
Karena hikmah atau tujuan yang mulia inilah, Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya memerintah kaum muslimin untuk menaati penguasanya dalam hal yang ma’ruf; walaupun penguasa tersebut mendapatkan kekuasaan dengan cara yang batil, seperti kudeta/penggulingan kekuasaan, pemilu (demokrasi), dan sebagainya; atau tidak memenuhi syarat yang syar’i sebagai penguasa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Dengar dan taatlah, walaupun yang menjadi penguasa atas kalian adalah seorang budak Habasyah yang rambut kepalanya seperti kismis.” (HR. al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dalam Manaqib asy-Syafi’i (91/448) dari Harmalah, dia berkata, “Aku mendengar al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata (1/448), ‘Setiap orang yang berhasil menggulingkan penguasa dengan pedang/senjata hingga disebut khalifah (penguasa) dan manusia (rakyat) bersatu atasnya, dia adalah khalifah (penguasa)’.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sungguh, para ahli fikih telah sepakat tentang wajibnya taat kepada orang yang berhasil menjadi penguasa dengan jalan kudeta. Selain itu, wajib pula berjihad bersamanya. Sebab, ketaatan kepadanya lebih baik daripada memberontak/mendurhakai perintahnya. Sikap tersebut akan menghalangi tertumpahnya darah (kaum muslimin) dan meredam berbagai kekacauan.” (Fathul Bari, 7/13)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Kalau ada seseorang menjadi penguasa dengan cara memberontak, lalu berhasil mengalahkan, dan berkuasa, padahal dia bukan dari bangsa Arab, dia adalah budak Habsyi, tetap wajib atas kita untuk mendengar dan taat. Sebab, alasan (perintah mendengar dan taat kepada penguasa) hanya satu; yaitu kalau kita tidak mau mendengar dan taat, akan terjadi kekacauan aturan, hilangnya rasa aman, dan timbul suasana mencekam. Yang jelas, kita wajib mendengar dantaat kepada para pemimpin kita, kecuali apabila mereka memerintahkan untuk berbuat maksiat.” (Syarh Riyadh ash-Shalihin, 2/223)
Adapun sikap Ahlus Sunnah yang tidak ikut demokrasi dan pemilu, tidak berarti Ahlus Sunnah merencanakan dan mempersiapkan penggulingan kekuasaan (kudeta). Sikap tersebut dibangun berdasarkan keyakinan bahwa demokrasi dan pemilu adalah mungkar dan batil, bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah, sehingga kita tidak boleh taat dalam urusan yang seperti ini.
Lebih-lebih lagi pemilu adalah hak dan bukan kewajiban warga negara, sebagaimana termaktub di dalam UU No. 3 Tahun 1999 Bab V Pasal 28, “Warga negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut warga negara yang pada waktu pemungutan suara untuk Pemilihan Umum sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak pilih.”
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al- Wadi’i rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah, alhamdulillah, senantiasa menuntut adanya pemimpin/presiden muslim yang tidak percaya dengan demokrasi dan yang menjaga shalat. Kita tidak menginginkan pemimpin yang lain (kafir). Kita menginginkan pemimpin yang muslim. Kita katakan kepada para pemimpin, ‘Perbaikilah urusan kalian dan istiqamahlah. Kami tidak menginginkan kedudukan kalian, tetapi istiqamahlah kalian di atas al-Kitab dan as-Sunnah’.” (Tuhfatul Mujib, hlm. 246)
Beliau rahimahullah juga mengatakan bahwa Ahlus Sunnah beramal ikhlas karena Allah ‘azza wa jalla, bukan karena kursi. Lantas beliau membaca firman Allah ‘azza wa jalla,
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl: 125)
Mudah-mudahan Allah ‘azza wa jalla senantiasa melimpahkan hidayah dan taufik-Nya kepada kita dan para pemimpin kita untuk istiqamah di jalan-Nya yang mulia. Amin.