(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdulmu’thi, Lc)
Kehidupan dunia bagai seorang pengendara yang berteduh di bawah pohon yang rindang untuk sesaat melepas penatnya lalu kembali melanjutkan perjalanannya.
Kehidupan dunia hanyalah salah satu dari sekian jenjang yang dilewati oleh manusia untuk menuju jenjang berikutnya yang berujung pada kehidupan yang kekal nan abadi. Keyakinan seperti inilah yang terpatri dalam sanubari mukmin sejati sehingga ia tidak terlena dengan kemegahan dunia yang memesonanya. Jasadnya memang bersama manusia di muka bumi ini, namun ruhnya melintasi angkasa dan menembus langit yang tujuh. Ruhnya ingin selalu dekat dengan Rabbnya karena di sanalah ia mendapatkan kedamaian dan sejuknya kehidupan. Allah l berfirman:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah lah hati menjadi tenteram.” (Ar-Ra’d: 28)
Tubuhnya dijadikan kendaraan untuk menyampaikan ruhnya kepada sang kekasih (Allah l) yang selalu dirindukan. Matanya sayu karena banyak shalat malam dan membaca Al-Qur’an. Tubuhnya pun tampak lemas karena banyak berpuasa di siang hari. Tetapi kerinduan yang membara dalam hatinya membuatnya mampu menundukkan medan yang sangat sulit dan mendekatkan jauhnya jarak perjalanan.
Sebagian salaf berkata: “Orang yang menghidupkan malam harinya dengan ibadah lebih merasakan kelezatan daripada orang yang berhura-hura. Kalau tidak ada malam, niscaya aku tidak ingin hidup di dunia.” (At-Tazkiyah baina Ahlis Sunnah wash-Shufiyah, Ahmad Farid hal. 13)
Inilah Rasul n kita bersabda:
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاَةِ
“Dan dijadikan penyejuk mataku pada shalat.” (HR. Ahmad dll, lihat Shahihul Jami’ no. 3124)
Saking nikmatnya mereka di saat bermunajat kepada Rabbnya, terkadang tak terasa air mata telah berderai membasahi pipi. Seolah tubuhnya berada pada taman yang indah dan kakinya menginjakkan pada istana yang megah. Inilah sesungguhnya surga dunia, yaitu tenteramnya jiwa di saat seseorang ingat akan Rabbnya dan berdiri melakukan berbagai ketaatan di hadapan-Nya. Syaikhul Islam t menerangkan: “Sesungguhnya di dunia ini ada surga, barangsiapa tidak memasukinya maka ia tidak akan memasuki surga akhirat.”
Ibnul Qayyim t, murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, menceritakan bagaimana tegarnya sang guru di saat para musuhnya memenjarakannya. Para musuhnya, meski mampu mengekang ruang gerak tubuhnya, namun mereka tidak bisa memenjarakan hatinya yang selalu dekat dengan Allah l. Penjara bukan sesuatu yang menakutkan manakala hati seseorang selalu berhubungan dengan Pencipta-Nya.
Ibnu Taimiyah t menyatakan dengan tegas bahwa orang yang terpenjara sesungguhnya adalah yang hatinya terhalangi dari mengenal Allah l, sedangkan orang yang tertawan adalah yang disandera oleh hawa nafsunya. (Lihat Al-Wabil Ash-Shayyib, bersama Majmu’atul Hadits An-Najdiah hal. 727)
Kerinduan terhadap perjumpaan dengan Allah l menjadikan mereka rela mengorbankan segala yang mahal dan berharga. Adalah ketika perang Badr, Rasulullah n memberi semangat pasukannya dengan ucapannya: “Berdirilah kalian menuju surga yang luasnya seperti langit dan bumi.” Maka seorang sahabat bernama ‘Umair bin Al-Humam Al-Anshari z mengatakan dengan terheran-heran: “Wahai Rasulullah, surga yang seluas langit dan bumi?” “Benar,” jawab Nabi n. Lalu ‘Umair berucap, “Bakhin-bakhin (kalimat untuk menunjukkan besarnya perkara, pen.).”
Rasulullah n mengatakan, “Apa yang mendorongmu mengatakan bakhin-bakhin?” ‘Umair berkata, “Demi Allah ya Rasulullah, tidak ada yang mendorongku kecuali karena berharap aku termasuk penghuninya.” Nabi n mengatakan, “Sesungguhnya kamu termasuk dari penghuni surga.” Maka Umair mengeluarkan kurma dari kantong anak panahnya lantas memakannya. Kemudian dia mengatakan, “Bila aku hidup hingga aku makan kurmaku ini (sampai habis) sungguh itu suatu kehidupan yang lama.” Umair lalu membuang kurma yang dibawanya kemudian maju bertempur hingga terbunuh. (HR. Muslim)
Perampok-perampok Jalanan
Sebuah cita-cita besar niscaya membutuhkan pengorbanan. Seorang mukmin tatkala bertekad melangkahkan kakinya untuk kembali menuju kampung halamannya yang sesungguhnya (surga) yang padanya terdapat berbagai kenikmatan, bukan berarti akan sampai tujuan tanpa ada rintangan. Karang yang menggunung bisa saja tiba-tiba muncul menghadang lajunya perahu. Adapun para penghalang jalan itu di antaranya:
1. Iblis
Dia adalah biang segala kejahatan semenjak ia diusir dari jannah (surga) karena membangkang terhadap perintah Allah l. Dia berjanji di hadapan-Nya hendak menyesatkan bani Adam. Semenjak itu, api permusuhan dikobarkan. Kedengkian dijadikan sebagai motor penggerak untuk menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus. Allah l berfirman menjelaskan ucapan iblis:
“Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian akan aku datangi mereka dari muka, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)’.” (Al-A’raf: 16-17)
Perhatikan ayat di atas, bagaimana Iblis menyerang manusia dari berbagai arah. Sebagian ahli tafsir menjelaskan maksud “aku akan mendatangi mereka dari arah muka dan belakang” yakni bahwa Iblis melontarkan keraguan pada hati manusia tentang hari akhirat. Dia bisiki manusia agar mengingkari adanya surga dan neraka serta hari kebangkitan. Adapun maksud mendatangi dari belakang bahwa Iblis menggoda mereka untuk berambisi terhadap dunia (harta, kedudukan, dst.). Iblis datang dari arah kanan maksudnya bahwa ia menjadikan manusia ragu terhadap kebenaran dan dibuatnya mereka berat melakukan kebaikan. Sedangkan ia datang dari sebelah kiri maksudnya bahwa ia menghasung dan mendorong orang untuk berbuat maksiat. (Lihat Ighatsatul Lahafan, 1/102-103)
Setan adalah faktor utama tersendatnya perjalanan menuju Allah l. Oleh karena itu, kita harus waspada terhadap bisikannya karena dia adalah musuh bagi kita, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168. Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Ighatsatul Lahafan min Mashayidi Asy-Syaithan telah membeberkan secara gamblang tentang trik-trik setan dalam menggoda manusia.
2. Hawa Nafsu
Hawa nafsu cenderung mengajak kepada kejelekan. Oleh karena itu, bila orang tidak mampu menundukkannya maka dia akan menjadi budaknya. Hawa nafsu bagai kabut pada hati seseorang, yang menjadikan gelap jalan kebaikan di depannya daripada jalan kejelekan. Bila kita ingin sampai tujuan, sudah pasti kita harus bersungguh-sungguh untuk mengekangnya. Masing-masing sedang berpacu dengan ajal, sementara orang-orang yang sebelum kita sudah sampai tujuan. Akankah kita masih tertahan oleh nafsu angkara?!
3. Orang-orang Kafir dan Zalim
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalang-halangi (orang) dari jalan Allah.” (Al-Anfal: 36)
Betapa banyak dana yang mereka keluarkan untuk memurtadkan kaum muslimin serta menebarkan opini miring seputar Islam dan kaum muslimin. Mereka juga tidak tanggung-tanggung menyediakan dana yang besar untuk membangun sarana maksiat dan tempat-tempat hiburan yang melalaikan. Mereka ingin menjauhkan syariat Islam dari kaum muslimin karena mereka tahu bahwa sumber kejayaan umat ada padanya. Dibuatnya manusia berkelompok-kelompok dan berpartai-partai sehingga loyalitas tidak lagi di atas agama, namun di atas kepentingan golongan.
Demikianlah sebagian perampok jalan yang menjadikan kita tertuntut untuk mempersenjatai diri dengan bekal ilmu dan iman yang cukup.
Bekal dalam Perjalanan
Orang yang berjalan menuju Allah l dan negeri akhirat, bahkan berjalan ke manapun, tidak akan sempurna dan tidak akan sampai tujuan kecuali dengan dua bekal kekuatan, yakni:
1. Kekuatan Ilmiah
Yaitu berupa ilmu syariat yang cukup. Dengannya seseorang bisa melihat jalan dan lajur mana yang akan ditempuh. Juga akan bisa menghindarkan dari tempat yang membinasakan dan tikungan maut. Kekuatan ilmiah ini bagai obor yang sangat terang cahayanya yang berada di tangannya. Dengan kekuatan ilmiah seseorang bisa berjalan di tempat yang dipenuhi dengan gelapnya kebodohan dan kemaksiatan. Ia akan berhati-hati agar tidak terperosok ke dalam jurang penyimpangan serta terhindar dari duri kemaksiatan.
2. Kekuatan Amaliah
Yaitu adanya tekad untuk melakukan perjalanan. Tekad yang kuat akan mendekatkan sesuatu yang jauh dan memudahkan perkara yang rumit. Bila seseorang telah bersungguh-sungguh untuk melangkahkan kakinya atau menaiki kendaraannya sehingga pos demi pos dilewati, maka setengah perjalanan telah dilalui dan perjumpaan dengan kekasih sudah di depan mata. Letihnya perjalanan pun mulai terobati dan kaki ini terasa sudah tidak sabar lagi sehingga langkah pun dipercepat. Dirinya bergumam: “Wahai diri, bersenanglah karena rumahmu sudah dekat dan perjumpaan pun tinggal sesaat. Jangan kau putus di tengah jalan, nantinya akan terhalang dari kekasih. Sungguh kehidupan dunia seluruhnya ibarat anak tangga menuju tempat berikutnya. Oleh karena itu, jangan kau terputus di padang sahara (yakni dunia). Demi Allah, itu adalah tempat yang membinasakan. Wahai diri, jika engkau merasa capek untuk melakukan perjalanan maka ingatlah bahwa di depanmu kekasihmu telah menunggu dengan berbagai jamuan yang menyenangkan. Jangan kau berhenti, karena di belakangmu ada musuh yang selalu siap mencelakakan dan menyiksamu.” (Lihat Thariqul Hijratain, karya Ibnul Qayyim t hal. 174)
Nabi n dahulu pernah berdoa:
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ
“Dan aku memohon kepadamu (wahai Allah) kelezatan memandang kepada wajah-Mu dan rindu berjumpa dengan-Mu.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 1301)
Jalan yang Pintas dan Cepat
Tidak mengetahui jalan dan rintangan-rintangannya serta arah yang dituju oleh seseorang dalam melakukan perjalanan, hanya akan menimbulkan keletihan. Di samping itu, faedah yang bisa diambil juga sangat minim. Nabi n bersabda:
وَاسْتَعِينُوا بِالْغُدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Dan pergunakanlah (kesempatan) di waktu pagi dan sore serta sesuatu pada waktu malam.” (HR. Al-Bukhari)
Tiga waktu tersebut adalah cara yang mudah untuk menempuh perjalanan di atas bumi ini. Waktu pagi dan sore adalah saat-saat yang teduh dan orang masih bersemangat. Sedangkan waktu malam bumi itu dilipat. Jika ini adalah perjalanan di bumi, maka demikian pula dengan perjalanan menuju akhirat. Bila seseorang memanfaatkan tiga waktu tadi dengan baik untuk beramal shalih terutama di pertengahan malam atau sepertiga malam terakhir, niscaya dia akan meraup kebaikan yang besar dan mencapai tujuan dengan sukses. Perjalanan dengan cepatnya ditempuh tanpa tertimpa keletihan yang berarti. Apa yang dicita-citakan dari perkara dunia telah didapat dan hasrat dirinya telah terpenuhi. (lihat Bahjatu Qulubil Abrar, As-Sa’di hal. 64)
Dikenal Allah l Walau Tidak Dikenal Manusia
Rasulullah n pernah berpesan kepada sahabat Ibnu Umar c (yang artinya): “Jadilah kamu di dunia ini seperti orang yang asing atau penyeberang jalan.” (HR. Al-Bukhari)
Seorang mukmin di dunia ini ibarat orang yang bepergian. Dia singgah di negeri orang karena suatu keperluan. Hatinya selalu diliputi kerinduan kepada negerinya dan orang yang dicintainya. Ia tidak menyaingi orang lain dalam kemewahan dan tidak bersedih atas derita yang dialaminya.
Pada suatu ketika ada seorang lelaki melewati Rasulullah n. Maka beliau bertanya kepada seseorang yang duduk di sisinya, “Apa pendapatmu tentang orang ini?” Sahabat itu menjawab, “Ia seorang lelaki bangsawan. Demi Allah, orang ini jika melamar pasti akan dinikahkan, dan jika memberikan pembelaan niscaya akan diterima.” Rasulullah n waktu itu diam. Kemudian tidak berapa lama lewat seorang laki-laki lain, maka Nabi n bertanya kepada sahabat tadi, “Apa pendapatmu tentang orang ini?” Sahabat itu menjawab, “Wahai Rasulullah, orang ini seorang yang fakir dari kaum muslimin. Orang ini bila melamar niscaya ditolak, jika memberi pembelaan tidak diterima, dan jika berkata tidak didengar ucapannya.” Maka Nabi n bersabda, “Orang ini (yang fakir) lebih baik daripada orang (bangsawan) itu sepenuh bumi.” (Muttafaqun ‘alaihi. Lihat Riyadhush Shalihin no. 258)
Pada tahun 21 H terjadi perang Nahawand antara muslimin dengan Majusi. Komando pasukan muslimin di tangan sahabat An-Nu’man bin Muqarrin z. Peperangan berlangsung dengan sengitnya sampai sang komandan terbunuh. Namun akhirnya kemenangan ada di pihak muslimin. Diutuslah seseorang untuk membawa berita kemenangan sekaligus berita duka atas terbunuhnya sang komandan. Umar menerima berita tersebut dan menangis. Kemudian dia bertanya kepada orang yang membawa berita, “Lalu siapa lagi yang gugur?” Utusan tadi menjawab, “Fulan, fulan….. dan berapa orang yang tidak engkau kenal, wahai Amirul Mukminin.” Umar menangis seraya berucap, “Tidak jadi soal bagi mereka bila Umar tidak mengenalnya, tetapi Allah l mengenal mereka. Semoga Allah l menganugerahkan mati syahid kepada mereka.” (lihat Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin wad Daulah Al-Umawiyah hal. 53)
Wallahu a’lam.