Suapan yang Halal

Salah satu “bentuk” pendidikan orangtua kepada anak-anak adalah memberikan makanan atau suapan yang halal kepada mereka. Karena, disadari atau tidak, pemenuhan kebutuhan hidup yang bersumber dari yang haram, bisa membentuk kejelekan pada diri sang anak.

Mungkin tak akan asing lagi di telinga setiap orang bila kita katakan bahwa salah satu kewajiban orangtua adalah memberikan nafkah kepada anak-anaknya. Segala yang dibutuhkan si anak menjadi kewajiban orangtua untuk memenuhinya sesuai dengan kemampuannya. Makanan dan minuman sehari-hari, pakaian, biaya untuk keperluan sekolah, dan segala tetek-bengek yang diperlukan oleh anak menjadi tanggungan orangtua.

Untuk mencukupi semua itu, tidak segan orangtua peras keringat banting tulang. Bahkan terkadang permasalahan inilah yang memenuhi pikiran orangtua. Bagaimana segala kebutuhan, permintaan dan keinginan anak dapat dipenuhi. Tidak didapat hasil dari jalan yang ini, diusahakan dari jalan yang lain.

Memang, memberi nafkah kepada anak merupakan kewajiban orangtua. Demikian yang ada dalam kehidupan. Namun tak hanya berhenti sampai di situ. Syariat menjelaskan bahwa memberi nafkah bukan sekedar tuntutan, namun di sana ada janji pahala bagi yang menunaikannya. Tentunya yang disertai niat untuk mendapatkan pahala, karena setiap perbuatan akan diberi balasan sesuai dengan niatnya, sebagaimana disampaikan Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:

 

Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya setiap amalan harus disertai dengan niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai apa yang dia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Berkaitan dengan hal ini, Abu Mas’ud Al-Anshari radhiallahu ‘anhu menukilkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِذَا أَنْفَقَ الْمُسْلِمُ نَفَقَةً عَلَى أَهْلِهِ– وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا –كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ

“Apabila seorang muslim memberikan nafkah kepada keluarganya –yang dia inginkan nafkah itu untuk mengharap pahala dari Allah– maka itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Al-Bukhari no. 5351)

Menerangkan hadits ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar  rahimahullah menukilkan perkataan Al-Muhallab, bahwa memberi nafkah kepada keluarga merupakan kewajiban menurut kesepakatan kaum muslimin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakannya dengan sedekah karena dikhawatirkan ada orang-orang yang menyangka, pelaksanaan kewajiban (memberi nafkah, pen.) ini tidak ada pahalanya.

Sementara mereka telah mengetahui bahwa sedekah itu berpahala. Maka beliau memberitahukan bahwa nafkah ini adalah sedekah bagi mereka, agar mereka tidak mengeluarkan nafkah untuk selain keluarga kecuali setelah mencukupi keluarganya. Hal ini sebagai hasungan bagi mereka untuk mendahulukan sedekah yang wajib sebelum sedekah yang tathawwu’ (sunnah). (Fathul Bari, 9/618)

Datang pula riwayat dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan:

أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ مَا تَرَكَ غِنًى، وَالْيَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ

“Sedekah yang paling utama adalah yang masih menyisakan kecukupan, dan tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, dan mulailah dengan orang-orang yang ada dalam tanggunganmu.” (HR. Al-Bukhari no. 5355)

Ini permasalahan yang harus diketahui oleh setiap orangtua. Memberi nafkah kepada anak-anak bukan tuntutan kehidupan semata, namun akan membuahkan pahala jika diniatkan karena Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak hanya itu, dalam pemberian nafkah ini ada permasalahan lain yang harus pula diperhatikan; masalah kehalalan nafkah yang kita berikan, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima kecuali segala sesuatu yang baik dan halal. Jangan sampai kita suapkan ke mulut anak-anak makanan yang haram atau didapat dari hasil yang haram. Begitu pula minuman yang mereka teguk, pakaian yang mereka kenakan, dan segala kebutuhan yang mereka dapatkan dari orangtua.

Jangan sampai karena belum mendapatkan jalan yang lapang untuk memenuhi kebutuhan anak-anak, kita melirik berbagai praktik haram yang menjanjikan hasil berlipat. Dari korupsi, riba, penggelapan, penipuan, hingga praktik bisnis dengan sistem yang tidak dibenarkan oleh syariat. Perlu kita sadari, segala sesuatu yang haram itu akan berpengaruh pada diri anak-anak. Lebih-lebih lagi, orangtua yang memberi nafkah yang tidak halal bagi anak-anaknya berarti menghalangi doa mereka untuk dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Hal ini telah diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

أَيُّهَا النَّاسُ! إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ، فَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُوْنَ عَلِيْمٌ} وَقَالَ: {يَا أَيُّهَا الذَّيِنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ} ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ، أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: {يَا رَبِّ، يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟

“Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu suci dari segala kekurangan dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman dengan apa yang Dia perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman, ‘Wahai para rasul, makanlah segala sesuatu yang baik, dan berbuatlah amalan-amalan shalih, sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian perbuat’, dan Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, makanlah segala sesuatu yang baik yang telah Kami rizkikan kepada kalian’. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut masai rambutnya dan berdebu. Dia tengadahkan kedua tangannya ke langit, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku!’ Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan disuapi dengan sesuatu yang haram. Maka bagaimana akan dikabulkan doa orang yang seperti ini?” (HR. Muslim no. 1015)

Allah subhanahu wa ta’ala telah memerintahkan para rasul untuk makan segala sesuatu yang baik, yaitu segala sesuatu yang dihalalkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan didapatkan dari jalan yang dibenarkan oleh syariat. Apabila tidak dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, seperti khamr misalnya, maka tidak boleh dimakan. Juga bila makanan itu dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi didapat dari jalan yang haram, maka ini pun tidak boleh dimakan. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 164)

Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam perintah-Nya kepada orang-orang yang beriman:

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (al-Baqarah: 172)

sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala katakan kepada para rasul:

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik.” (al-Mu`minun: 51)

Sehingga di sini Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman dengan apa yang Dia perintahkan kepada para rasul. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 165)

Al-Imam An-Nawawi  rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini merupakan hasungan untuk memberikan nafkah dari sesuatu yang halal dan larangan memberikan nafkah dengan sesuatu yang tidak halal. Selain itu juga menunjukkan bahwa minuman, makanan, pakaian dan yang semacamnya seharusnya berupa sesuatu yang halal, bersih, dan tidak mengandung syubhat. Hadits ini pun menunjukkan bahwa seseorang yang ingin berdoa hendaknya lebih memerhatikan hal ini dibandingkan yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 7/99)

Ini pun merupakan peringatan keras dari memakan segala sesuatu yang haram, karena hal itu termasuk sebab tertolaknya doa, walaupun dia juga melakukan hal-hal yang merupakan sebab terkabulnya doa. Di sini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maka bagaimana akan dikabulkan doa orang yang seperti ini?”

Di samping itu, makan makanan yang haram –wal ‘iyadzu billah– merupakan sebab seseorang meninggalkan kewajiban-kewajiban agamanya, karena jasmaninya telah disuapi dengan sesuatu yang jelek. Segala suapan yang jelek ini pun akan berpengaruh pada dirinya. Wallahul musta’an. (Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah, hal. 175)

Contoh yang begitu jelas bisa kita lihat, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu berhati-hati dan menjauhkan dirinya dari sesuatu yang dikhawatirkan berasal dari perkara yang haram. Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menukilkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

 

“Aku pernah datang menemui keluargaku. Kemudian aku dapatkan sebutir kurma jatuh di atas tempat tidurku. Aku pun mengambilnya untuk kumakan. Lalu aku merasa khawatir jika kurma itu adalah kurma sedekah, maka kuletakkan lagi kurma itu.”

Selain dirinya, beliau juga berusaha menjauhkan cucunya dari makan sesuatu yang haram. Beliau melarang cucunya makan sekedar sebutir kurma yang berasal dari kurma sedekah –sementara sedekah diharamkan bagi keluarga beliau– dan memperingatkan sang cucu. Diceritakan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:

 

Al-Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma memungut sebutir kurma dari kurma sedekah, lalu dia masukkan kurma itu ke mulutnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Kikh, kikh[1]! Buang kurma itu! Apa kau tidak tahu, kita ini tidak boleh makan sedekah?” (HR. Muslim no. 1069)

Yang demikian semestinya menjadi contoh bagi setiap muslim yang menginginkan keselamatan dan kebaikan bagi anak-anaknya. Kasih sayang bukanlah berarti menuruti setiap tuntutan, memberikan setiap keinginan hingga melampaui batasan-batasan Rabb seluruh alam.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran

[1] Ini adalah perkataan untuk memperingatkan anak-anak dari sesuatu yang kotor. Maknanya, “Tinggalkan dan buang barang itu!”

While viewing the website, tap in the menu bar. Scroll down the list of options, then tap Add to Home Screen.
Use Safari for a better experience.