Sejarah belum lelah untuk mengingatkan manusia bagaimana banjir besar yang menenggelamkan kaum Nuh q, angin kencang yang membinasakan kaum ‘Ad, dan beragam musibah lainnya. Semua musibah itu semestinya menyentak kesadaran kita bahwa setiap musibah niscaya berhubungan dengan ulah atau dosa manusia.
Kalau kita mau becermin, di muka bumi ini, niscaya lebih banyak penentang Allah l daripada pembela-Nya. Betapa Allah l lebih banyak dimaksiati daripada ditaati. Betapa kemaksiatan telah dianggap biasa bahkan ada yang menjadi adat/tradisi. Sementara itu, bendera tauhid tidak bisa tegak berkibar. Semua telah terbalik, yang tauhid dianggap syirik, sementara yang syirik dianggap tauhid. Tuntunan (sunnah) Rasulullah n dianggap bid’ah, aneh, atau sesat, sedangkan kebid’ahan justru dianggap sunnah dan syariat Islam.
Sementara itu, amat minim dari kalangan dai yang melakukan pengingkaran terhadap itu semua. Dai sekarang bak selebritas, lebih mementingkan “dakwah”-nya bisa diterima semua kalangan; sehingga masalah isi jadi nomor kesebelas. Tak heran jika ada “ustadz” cinta, “ustadz” zikir berjamaah, dsb. Dakwah para rasul yang mengajak kepada tauhid dan meninggalkan kesyirikan justru dihindari dan dijauhi, bahkan dianggap memecah-belah umat dan mau benar sendiri. Na’udzubillah!
Dengan semua itu, semestinya kita sadar, manusia memang sangat pantas mendapat kemurkaan-Nya. Ketika tidak ada amar ma’ruf nahi mungkar, Allah l pun meratakan azab-Nya, menimpakannya kepada siapa saja, orang yang baik dan yang jelek. Yang disayangkan, dengan semua rentetan musibah tersebut, manusia tak kunjung jera, justru ada yang kian menjauh dari agamanya. Masih banyak yang bergelimang kemaksiatan. Masih banyak seruan-seruan yang menentang Allah l dan syariat-Nya. Masih banyak yang lebih mengutamakan kepentingan duniawi atau politiknya. Masih terlampau banyak syiar-syiar kesyirikan menggema di negeri ini. Na’udzubillah!
Lebih memilukan lagi, musibah kemudian menjadi komoditas politik. Barak-barak pengungsian dikepung oleh posko parpol berikut atribut partainya. Mereka bangga-banggakan kepada publik bahwa partainyalah yang paling tanggap bencana. Para pengungsi pun menjadi tambang suara, sebagai alat untuk meraup simpati berbuah kursi. Ketulusan mereka pun dipertanyakan ketika mereka enggan menanggalkan atribut partai atau menyerahkan bantuan dengan mengundang (ekspos) media.
Di sisi lain, LSM-LSM dadakan berlomba membuat posko, yang difoto untuk lampiran proposal demi kucuran dana dari lembaga-lembaga donor. Yang lebih miris, ada pihak-pihak yang membuka pintu masuknya orang-orang asing (baca: LSM nonmuslim) ke tempat pengungsian yang berujung pada praktik kristenisasi.
Di lain pihak, dalam setiap peristiwa bencana, pemerintah hampir pasti selalu disudutkan. Selain dituding lamban, kurang tanggap, pendistribusian yang tidak merata, hingga soal penggelapan bantuan, bencana dianggap azab yang timbul karena semata-mata ulah elite birokrasi dan politik. Padahal faktor munculnya azab, kalau kita sadari, adalah karena kerusakan kita semua. Oleh karena itu, semua harus berkaca diri dan mencari solusi bersama, tidak menimpakan kesalahan kepada satu pihak (pemerintah) dan mengecilkan perannya dalam penanggulangan bencana.
Pada beberapa peristiwa, pemerintah sudah jauh-jauh hari memberikan peringatan. Akan tetapi, senyatanya banyak masyarakat yang lebih percaya kepada tokoh klenik tertentu, lebih percaya ramalan dukun, dan sebagainya. Namun ketika terjadi musibah, lagi-lagi pemerintah yang disalahkan.
Yang patut kita garis bawahi dalam hal ini, dengan itu semua, bisa dibayangkan, tanpa musibah, betapa manusia akan demikian sombong, tidak menyadari ada Dzat Yang Mahakuasa, lantas merasa aman dari azab-Nya. Oleh karena itu, apa yang Allah l berikan, harus diterima dengan lapang dada dan penuh kesabaran. Kita harus yakin bahwa di balik itu semua ada hikmah yang besar.
Wallahul musta’an.
Memetik Hikmah dari Musibah
- by Redaksi
- 25/04/2012
- 0 Comments
- 2 minutes read
- 439 Views