Tak sedikit wanita di masa ini yang telah menanggalkan rasa malunya. Dari caranya berbusana, bergaul, dan gaya hidup ‘modern’ lainnya, setidaknya memberikan gambaran fenomena dimaksud. Padahal, Islam telah menjadikan sifat malu ini sebagai sifat mulia, bahkan sebagai salah satu cabang keimanan.
Sifat malu memang identik dengan wanita karena merekalah yang dominan memilikinya. Namun, sebenarnya sifat ini bukan hanya milik kaum hawa. Laki-laki pun disukai apabila memiliki sifat malu.
Bahkan, sifat mulia ini termasuk salah satu cabang keimanan dan menjadi salah satu faktor kebahagiaan seorang insan. Dengan sifat ini, hanya kebaikanlah yang bakal diraupnya, sebagaimana beritanya tercatat dalam lembaran Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِي إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Malu itu tidaklah datang kecuali dengan kebaikan.”
Dalam satu riwayat,
الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu baik seluruhnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Saudariku muslimah…
Sifat malu pada diri seseorang akan mendorongnya kepada kebaikan dan mencegahnya dari kejelekan. Apabila malu ini hilang, ia akan jatuh dalam perbuatan maksiat dan dosa, baik ketika sendirian maupun di hadapan kerabat dan tetangga. Karena itu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأْوْلَى: إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَافْعَلْ مَا شِئْتَ
“Termasuk yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah: jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat pemalu sehingga sahabat yang mulia Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ أَشَدُّ حَيَاءً مِنَ الْعُذَرَاءِ فِي خِدْرِهَا
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat pemalu dibandingkan dengan gadis perawan yang berada dalam pingitannya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmati Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu, yang membuat permisalan untuk kita dengan gadis perawan. Lantas, apa gerangan yang akan beliau katakan apabila melihat pada hari ini gadis perawan itu telah menanggalkan rasa malunya dan meninggalkan tempat pingitannya? Ia pergi keluar rumahnya dengan hanya ditemani sopir pribadi. Ia pergi ke pasar, berbincang-bincang akrab dengan para pedagang dan penjahit, dan sebagainya. Demikian kenyataan pahit yang ada.
Di samping itu, sebagian kaum muslimin membiarkan putri mereka bercampur baur dengan laki-laki di sekolah dan di tempat kerja. Karena rasa malu telah tercabut dan hanya sedikit ghirah (kecemburuan) yang tertinggal, ia akan melangkah dari satu kejelekan ke hal yang lebih jelek lagi. Dari satu kerendahan ke yang lebih rendah lagi.
Hakikatnya, malu ialah menjauhkan diri dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan menjaga anggota tubuh agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada-Nya.
Apakah pantas seseorang disifati malu padahal matanya digunakan untuk melihat hal yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan?
Apakah pantas dikatakan malu, apabila lidah masih digunakan untuk ghibah, mengadu domba, dusta, mencerca, dan mengumpat?
Apakah pantas digelari malu, apabila nikmat pendengaran digunakan untuk menikmati musik dan nyanyian?
Saudariku muslimah…
Wajib bagi kita untuk terus merasakan pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala dan malu kepada-Nya di setiap waktu dan tempat.
Kala engkau sendiri dalam kegelapan
Sedangkan jiwa mengajakmu tuk berbuat nista
Malulah dikau dari pandangan Ilahi
Dan katakan pada jiwamu,
Dzat yang menciptakan kegelapan ini
senantiasa melihatku
Seorang muslim yang jujur keimanannya akan merasa malu kepada Allah subhanahu wa ta’ala jika melanggar kehormatan orang lain dan mengambil harta yang tidak halal baginya. Sementara itu, orang yang telah dicabik tirai malu dari wajahnya, ia akan berani kepada Allah dan berani melanggar larangan-Nya.
Saudariku muslimah…
Apabila engkau telah mengetahui pentingnya sifat malu, berupayalah untuk menumbuhkannya di hati keluarga dan anak-anak. Sebab, selama malu ini masih ada, akan terasa betapa besar dan betapa jelek perbuatan yang mungkar. Sebaliknya, kebaikan akan senantiasa mereka agungkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang tengah mencela saudaranya karena sifat malunya. Beliau pun bersabda,
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الإِ يْمَانِ
“Biarkan dia, karena malu itu termasuk keimanan.” (HR. al-Jamaah)
Saudariku muslimah…
Perlu engkau ketahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah malu dari kebenaran. Jadi, tidak termasuk sifat malu apabila engkau diam ketika melihat kebatilan, enggan menolong orang yang terzalimi, dan berat mengingkari kemungkaran. Tidak pula termasuk sifat malu apabila engkau tidak mau bertanya tentang perkara agama yang samar bagimu, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Tanyakanlah kepada ahlu zikr (orang yang memiliki ilmu), jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata ketika itu, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak malu dari kebenaran. Apakah wajib bagi wanita untuk mandi bila ia ihtilam (mimpi bersetubuh)?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ
“Ya, jika ia melihat air mani yang keluar.” (Sahih, HR. al-Bukhari)
Apakah tidak sepantasnya Ummu Sulaim menjadi contoh bagi para wanita dalam bertanya tentang perkara agamanya? Terkadang pemahaman ini menjadi terbalik. Wanita malu untuk bertanya hal-hal yang berkaitan dengan agamanya, tetapi ia tidak malu untuk berdua-duaan dengan sopir dan berbincang-bincang dengan pedagang, atau memperlihatkan auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram.
Ketahuilah, wahai saudariku…
Tidak sepantasnya kita malu dari sesuatu yang bisa membawa kepada kebaikan. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan, “Seorang wanita menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam guna menawarkan dirinya kepada beliau agar diperistri oleh beliau. Wanita itu berkata, ‘Apakah engkau, wahai Rasulullah, punya keinginan terhadap diriku?’
Salah seorang putri Anas, ketika mendengar kisah ini, berkomentar tentang wanita itu, ‘Alangkah sedikit rasa malunya!’
Anas berkata, ‘Wanita itu lebih baik darimu, dia menawarkan diri kepada orang yang paling mulia dan paling baik (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam)’.” (Sahih, HR. al-Bukhari secara makna)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa menganugerahkan kepada kita sifat malu yang membawa kita untuk selalu berbuat baik dan mencegah dari kejahatan dan kerendahan akhlak.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
(Diterjemahkan secara ringkas oleh Ummu Ishaq al-Atsariyyah dari kitab al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan, hlm. 453—457, yang ditulis oleh beberapa penuntut ilmu di Qasim, Saudi Arabia)
Comments are closed.