Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوْا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوْهُ. قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: فَمَنْ؟
Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke lubang dhabb (binatang sejenis biawak), niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya.
Kami tanyakan, “Wahai Rasulullah, apakah mereka yang dimaksud itu adalah Yahudi dan Nasrani?”
Beliau berkata, “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
Hadits yang mulia di atas diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab Ahaditsul Anbiya, bab “Ma Dzukira ‘an Bani Israil” (no. 3456) dan Kitab al-I‘tisham bil Kitab was-Sunnah, bab “Qaulin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Latattabi‘unna sanana man kana qablakum’.” (no. 7320) dan al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab al-‘Ilmi (no. 2669) dan diberi judul bab oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitab syarahnya terhadap Shahih Muslim, bab “Ittiba‘u Sananil Yahudi
wan Nasrani”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang senada dengan hadits di atas dalam hadits yang dibawakan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُوْنِ قَبْلَهَا شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ كَفَارِسَ وَالرُّوْمِ؟ فَقَالَ: وَمَنِ النَّاسِ إِلاَّ أُولَئِكَ؟
“Tidak akan tegak hari kiamat sampai umatku mengambil jalan hidup umat sebelumnya sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.”
Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, seperti Persia dan Romawi?[1]”
Beliau menjawab, “Siapa lagi dari manusia kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari no. 7319)
Pengabaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dua hadits yang mulia di atas merupakan tanda dan bukti tentang kebenaran nubuwwah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta merupakan mukjizat beliau yang dzahir karena telah tampak dan telah terjadi apa yang beliau beritakan tersebut. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Kitabut Tauhid, hlm. 26, asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab)
Lebih khusus lagi bila kita menyaksikan keadaan kaum muslimin di zaman kita ini, kebiasaan menyerupai dan meniru orang Barat yang notabene mereka itu adalah orang-orang kafir dari kalangan Yahudi dan Nasrani, merupakan fenomena yang biasa namun menyakitkan dan menyedihkan. Dengan budaya penjajah ini, kalangan muda maupun orang-orang tua dari kaum muslimin seakan merasa minder dan rendah derajatnya bila tidak sama dengan gaya hidup, model, dan budaya orang-orang kafir (peradaban kuffar). Sebaliknya, mereka merasa bangga dan sangat percaya diri bila mana mereka dapat “tampil sama” atau paling tidak sekedar mirip dengan orang-orang kafir.
Budaya “yang penting dari Barat” dan “asal sama dengan Barat” ini telah mencengkeram kehidupan kaum muslimin dari kalangan orang-orang metropolitan, merambah sampai ke pedesaan dan pedusunan yang terpencil bagaikan sebuah revolusi peradaban yang telah disiapkan oleh orang-orang kafir sehingga semua yang datang dari Barat mereka anggap baik dan diterima dengan penuh ketundukan. Ibaratnya mereka berkata sami’na wa atha’na (kami mendengar dan kami taat), baik itu cara berpakaian, cara bergaul, cara makan, cara berbicara, gaya hidup, dan sebagainya.
Budaya-budaya impor yang diobral orang-orang Barat lewat media massa baik di televisi yang merupakan da’i yang paling berhasil di sisi mereka ataupun lewat ekspos kehidupan artis-artis mereka yang laku keras diterima oleh kaum muslimin yang maghru (tertipu) dan buta mata hatinya dari semua lapisan. Jangankan mereka yang dikatakan bodoh terhadap agamanya, orang yang dianggap tahu agama pun ikut jadi korban.
Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullah dan yang lainnya dari kalangan salaf berkata, “Sungguh orang yang rusak dari kalangan ulama kita, karena penyerupaannya dengan Yahudi. Orang yang rusak dari kalangan ahli ibadah kita, karena penyerupaannya dengan Nasrani.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim, hlm. 23—23)
Gelombang badai yang besar ini menghantam segala apa yang ada di hadapannya dan membawa korban yang besar. Wallahu al-Musta‘an wa ilallahi al-Musytaka (Hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita meminta tolong dan mengadu).
Sungguh benar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyatakan umat beliau akan meniru dan menyerupai umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Karena saking ingin sama dan serupanya dengan peradaban kafirin, bila diibaratkan umat terdahulu masuk ke lubang dhabb yang sedemikian sempit, maka umat ini pun akan masuk pula ke dalamnya. Nas’alullah as-Salamah wal ‘Afiyah (hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita memohon keselamatan).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan, “Dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan lubang dhabb karena lubangnya sangat sempit. Namun bersamaan dengan itu umat beliau akan mengambil jejak umat terdahulu dan mengikuti jalan mereka, walaupun seandainya mereka masuk ke lubang yang sesempit itu niscaya umat ini akan tetap mengikutinya.” (Fathul Bari, 6/602)
Yang dimaksud dengan sejengkal, sehasta dan penyebutan lubang dhabb dalam hadits ini adalah untuk menggambarkan betapa semangatnya umat ini mencocoki umat terdahulu dalam penyelisihan dan maksiat, mencontoh mereka dalam segala sesuatu yang dilarang dan dicela oleh syariat. (Syarah Shahih Muslim, 16/219, Fathul Bari, 13/313)
Ibnu Baththal rahimahullah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa umat beliau akan mengikuti perkara-perkara baru (yang diada-adakan), bid’ah, dan hawa nafsu, sebagaimana terjadi pada umat-umat sebelum mereka. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal ini dalam hadits yang banyak bahwasanya di akhir zaman akan ada kejelekan. Hari kiamat tidak akan datang kecuali pada sejelek-sejelek manusia dan agama ini hanya tetap tegak di sisi orang-orang yang khusus.”[2] (Fathul Bari, 13/314)
Dalam hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Yahudi dan Nasrani, sedangkan dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut Persia dan Romawi. Karena memang Romawi identik dengan Nasrani, sementara di kalangan bangsa Persia ada orang Yahudi. Namun dimungkinkan pula Rasulullah memberikan jawaban sesuai dengan tempatnya, yakni dalam perkara yang berkaitan dengan hukum di antara manusia dan politik kemasyarakatan, umat ini akan mengikuti Persia dan Romawi. Dalam perkara yang berkaitan dengan agama yang pokok maupun yang cabangnya, umat ini akan mencontoh Yahudi dan Nasrani. (Fathul Bari, 13/314)
Keharusan Menyelisihi Kuffar dan Tercelanya Tasyabbuh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan dalam sabda beliau,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Kalian sungguh-sungguh akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.”
Tidaklah dimaksudkan beliau memberikan pengesahan dan penetapan tentang bolehnya hal tersebut, namun justru yang beliau inginkan adalah memberi tahdzir (peringatan) dari mengikuti orang kafir dalam perkara kesesatan dan penyimpangan. (al- Qaulul Mufid, 1/202, I’anatul Mustafid, 1/224)
Ketika para sahabat radhiallahu ‘anhum yang baru masuk Islam ketika Fathu Makkah ingin ber-tabarruk (mencari berkah) dengan pohon, beliau mengingkari dengan keras dan menyatakan bahwa ucapan mereka menyerupai dan persis dengan ucapan bani Israil yang minta sesembahan (ilaah) kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Setelah itu, beliau mengabarkan bahwa umat beliau akan mengikuti jalannya umat terdahulu.
Abu Waqid al-Laitsi radhiallahu ‘anhu berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain sementara kami ketika itu baru saja meninggalkan kekufuran—mereka baru berislam ketika Fathu Makkah.”
Abu Waqid berkata setelah itu, “Lalu kami melewati sebuah pohon, kami pun berkata, ‘Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath[3] sebagaimana mereka (orang-orang kafir musyrikin) memiliki Dzatu Anwath yang berupa sebuah pohon, tempat mereka beri’tikaf (berdiam) di sekitarnya dan menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut.’ Mendengar permintaan kami seperti itu, bersabdalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللهُ أَكْبَرُ وَقُلْتُمْ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ– كَمَا قَالَتْ بَنُو إِسْرَائِيْلَ لِمُوْسَى: اِجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُم آلِهَةٌ. قَالَ: إِنَّكُم قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ لَتَرْكَبُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
‘Allah Mahabesar![4] Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian telah berucap sebagaimana ucapan bani Israil kepada Musa: (‘Buatkanlah untuk kami ilaah sebagaimana mereka memiliki ilaah-ilaah.’ Musa pun berkata, ‘Sesungguhnya kalian ini adalah orang-orang yang bodoh.’)[5]. Sungguh-sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian.’ (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, 5/218, at-Tirmidzi, 6/343, Ibnu Abi ‘Ashim dalam as- Sunnah, no. 76, berkata asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah fi Takhrijis Sunnah, “Isnadnya hasan.”)
Dalam kisah di atas jelas sekali bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan demikian dalam rangka peringatan dan pengingkaran beliau bila umat beliau mengikuti umat terdahulu. Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdillah rahimahullah berkata, “Di sini ada larangan dari perbuatan tasyabbuh dengan orang-orang jahiliah dari kalangan ahlul kitab dan musyrikin.” (Taisir al-‘Azizil Hamid, hlm. 143)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “(Hadits) ini merupakan pengabaran tentang akan terjadinya perkara tersebut dan celaan bagi orang yang melakukannya. Hal ini seperti pengabaran beliau tentang apa yang akan dilakukan manusia menjelang datangnya hari kiamat sebagai tanda-tanda kiamat dan perbuatan-perbuatan mereka nantinya berupa perkara-perkara yang diharamkan.
Dengan demikian diketahui, penyerupaan (tasyabbuh) umat ini dengan Yahudi dan Nasrani serta Persia dan Romawi termasuk perkara yang dicela oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.” (Iqtidha’ Ash-Shirathil Mustaqim, hlm. 77)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda sebagai peringatan dari menyerupai suatu kaum,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Siapa yang tasyabbuh (menyerupai) suatu kaum maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 3012, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Hijabul Mar’ah hlm. 104 dan al-Irwa no. 1269)
Al-Qari rahimahullah berkata, “Siapa yang menyerupai orang-orang kafir, fasik, fajir (jahat), pengikut tashawwuf, atau menyerupai orang yang berbuat kebaikan semisal dalam berpakaian dan selainnya, (maka ia termasuk mereka) yakni dalam dosa ataupun dalam kebaikan.” (‘Aunul Ma’bud, 11/51)
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Apa yang menimpa sebagian kaum muslimin berupa perkara-perkara yang jelek lagi mengerikan, mayoritas terjadi dikarenakan tasyabbuh dengan kuffar. Semisal kesyirikan yang terjadi di Makkah, awalnya disebabkan karena tasyabbuh dengan kuffar.” (I’anatul Mustafid, 1/220)
Merupakan sifat beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengubah kemungkaran apabila beliau melihatnya dan menyerukan kepada yang ma‘ruf dan menganjurkannya apabila beliau mengetahuinya. Ketika ada perkara mungkar baik itu maksiat, kesyirikan, ataupun kekufuran, beliau pasti mengingkarinya. Di antara pengingkaran itu adalah, beliau paling tidak suka bila ada satu perkara yang dilakukan oleh kaum muslimin menyepakati atau menyerupai orang-orang kafir. Hal tersebut salah satunya bisa kita lihat dalam peristiwa disyariatkannya adzan.
Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, “Kaum muslimin ketika telah menetap di Madinah, mereka berkumpul dan memperkirakan datangnya waktu shalat dan ketika itu belum ada seruan untuk shalat (belum ada azan). Suatu hari mereka membicarakan hal tersebut. Sebagian mereka berkata, ‘Ambillah lonceng (dibunyikan sebagai tanda seruan untuk shalat) seperti loncengnya Nasrani.’ Yang lain berkata, ‘Gunakan terompet seperti terompetnya Yahudi.’
‘Umar berkata, ‘Apakah tidak sebaiknya kalian mengutus seseorang untuk memanggil manusia agar berkumpul untuk shalat?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Wahai Bilal, bangkitlah, serukan azan untuk shalat’.” (HR. al-Bukhari no. 604 dan Muslim no. 277)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyukai terompet Yahudi yang ditiup dengan mulut dan lonceng Nasrani yang dipukul dengan tangan, karena meniup terompet dan membunyikan lonceng itu merupakan perbuatan orang Yahudi dan Nasrani. Hal ini menunjukkan larangan beliau dari seluruh perkara yang merupakan kebiasaan Yahudi dan Nasrani. (Iqtidha ash-Shirathil Mustaqim, hlm. 189)
Faedah
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun dalam perkara-perkara yang mubah maka tidak masalah mengambilnya (dari selain muslimin). Kita boleh mengambil pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dari musyrikin. Demikian juga barang-barang dagangan dan persenjataan. Perkara-perkara ini sebetulnya asalnya untuk kita. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلۡ مَنۡ حَرَّمَ زِينَةَ ٱللَّهِ ٱلَّتِيٓ أَخۡرَجَ لِعِبَادِهِۦ وَٱلطَّيِّبَٰتِ مِنَ ٱلرِّزۡقِۚ قُلۡ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا خَالِصَةٗ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِۗ
Katakanlah, ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapakah yang mengharamkan) yang baik-baik dari rezeki?’ Katakanlah, ‘Perhiasan dan yang baik-baik dari rezeki ini diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan khusus bagi mereka nantinya pada hari kiamat.’ (al-A’raf: 32)
Perkara-perkara yang bermanfaat asalnya diperuntukkan bagi kaum muslimin. Namun ketika kaum muslimin bermalas-malasan dan bermusuh-musuhan, mereka pun mengambil bagiannya. Dengan begitu tidak ada penghalang bagi kaum muslimin untuk mengambil perkara-perkara yang bermanfaat tersebut, dan ini bukanlah termasuk tasyabbuh. Karena yang dinamakan tasyabbuh hanyalah mengikuti mereka dalam perkara-perkara yang tidak ada faedahnya dan tidak ada nilainya, atau mengikuti mereka dalam perkara-perkara yang termasuk dalam ibadah, akidah, dan agama.” (I‘anatul Mustafid, 1/224)
Kekokohan Islam
Islam bagaikan mercusuar yang menerangi dan memberi petunjuk kepada kapal-kapal di tengah samudra di malam yang kelam dan pekat sehingga kapal-kapal tersebut bisa terarahkan dan terbimbing di dalam pelayarannya. Kapal yang mau mengambil penerangan dan petunjuknya, akan selamat berlayar di tengah lautan. Namun bagi yang enggan akan memperoleh hasil kebinasaannya.
Walaupun dengan keberadaannya di tengah samudra, mercusuar tidak luput dari hantaman badai dan gelombang samudra yang begitu keras dan dasyhat, namun ia tetap kokoh berdiri, memberikan cahayanya untuk kemanfaatan. Demikian juga gambaran Islam, walaupun ia terus dihantam badai dan gelombang yang dahsyat dari musuh-musuhnya dengan segala makar yang ditujukan untuk meruntuhkannya, namun ia tetap kokoh berdiri dengan sinarnya yang tetap menerangi. Hal ini tentunya karena Allah subhanahu wa ta’ala lah yang menyempurnakan cahaya Islam tersebut.
يُرِيدُونَ لِيُطۡفُِٔواْ نُورَ ٱللَّهِ بِأَفۡوَٰهِهِمۡ وَٱللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٨
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka namun Allah terus menyempurnakan cahaya-Nya walaupun orang-orang kafir itu benci (tidak menyukainya).” (ash-Shaff: 8)
Sungguh, siapa yang mengambil petunjuk Islam, ia akan selamat. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan dan tidak memerhatikan Islam, ia akan celaka dan binasa. Namun, mengambil petunjuk Islam itu haruslah secara keseluruhan, tidak hanya mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Hal ini tidak akan menyelamatkan. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ
“Masukkanlah kalian ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan).” (al-Baqarah: 208)
Islam pun tetap akan berdiri kokoh selamanya hingga akhir zaman, tidak akan runtuh dengan perjalanan waktu, yang demikian ini karena Allah subhanahu wa ta’ala yang memberikan jaminan terhadap penjagaannya yang sejalan dengan penjagaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kitab suci agama ini (al-Qur’an) sebagaimana firman-Nya:
إِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا ٱلذِّكۡرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ ٩
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikra dan Kami pula yang akan menjaganya.” (al-Hijr: 9)
Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala memberikan jaminan terhadapnya dengan mendatangkan dan memilih para penjaga agama-Nya dari kalangan hamba-hamba- Nya yang saleh yang selalu membela agama-Nya, sebagaimana Dia Yang Mahasuci berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَٰفِرِينَ يُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآئِمٖۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, siapa yang murtad dari agamanya di antara kalian, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan mereka pun mencintai-Nya. Mereka itu merendahkan diri dan lemah lembut terhadap kaum mukminin dan bersikap keras terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan tidak takut celaan si pencela.” (al-Maidah: 54)
Demikian pula Rasul-Nya yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan dalam sabdanya.
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ وَهُمْ كذَلِكَ
“Akan terus-menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan (menampakkan) alhaq, tidak bermudarat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka hingga datang perkara Allah tabaraka wa ta’ala sementara mereka dalam keadaan demikian.” (HR. al-Bukhari no. 7459 dan Muslim no. 1920)
Syaikhuna Muqbil bin Hadi al-Wadi‘i rahimahullah berkata, “Thaifah (kelompok) yang ditolong ini dikatakan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah bahwasanya mereka adalah ahlul ilmi. Sementara itu, al-Imam Ahmad rahimahullah menyatakan, ‘Bila mereka itu bukan ahlul hadits maka aku tidak tahu lagi siapa yang dimaksud dengan mereka.’ Hadits ini walaupun tidak secara lafadz menunjukkan terhadap perkataan al-Imam al-Bukhari dan al-Imam Ahmad rahimahumallah, namun sesungguhnya Ahlul Hadits-lah yang seharusnya dimasukkan paling awal dalam thaifah ini karena kekokohan mereka di atas al-haq, pengabdian mereka dan pembelaan mereka terhadap Islam. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala membalas mereka dengan kebaikan yang banyak atas apa yang mereka sumbangkan terhadap Islam dan muslimin.” (al- Jami‘us Shahih, 1/11)
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang diinginkan al-Imam Ahmad rahimahullah (dengan thaifah ini) adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah dan orang yang meyakini mazhab ahlul hadits.” Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dimungkinkan kelompok ini tersebar di berbagai kalangan kaum muslimin. Sehingga ada di antara mereka orang-orang pemberani yang berperang (di jalan Allah subhanahu wa ta’ala), ada fuqaha (ahli fiqih/orang yang faqih), ada muhadditsun (ahlul hadits), ada orang-orang yang zuhud, ada orang-orang yang memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar dan dari kalangan orang-orang yang berbuat kebaikan yang lainnya. Tidak mesti terkumpul/ terkonsentrasi (di suatu tempat/negara), bahkan yang terjadi, mereka terkadang terpencar dan tersebar di berbagai penjuru bumi.
Hadits ini merupakan mukjizat yang jelas (dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena thaifah yang bersifat seperti ini terus-menerus ada, alhamdulillah, sejak zaman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang. Terus-menerus mereka ada sampai datang perkara Allah subhanahu wa ta’ala yang disebutkan dalam hadits.” (Syarah Shahih Muslim, 13/67)
Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kita dari kalangan mereka. Taqabbal da’wana ya Mujibas sailin.
Wallahu ta‘ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
[1] Persia dengan raja mereka Kisra, dan Romawi dengan raja mereka Qaishar, merupakan dua bangsa yang terkenal (adi daya) di waktu itu. Dua negeri ini merupakan kerajaan terbesar di muka bumi, paling banyak penduduknya dan paling luas wilayahnya. (Fathul Bari, 13/313)
[2] Mereka inilah yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ لا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالىَ وَهُمْ كذَلِكَ
“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku yang mendzahirkan al-haq, tidak bermudharat bagi mereka orang yang menyelisihi mereka hingga datang perkara Allah tabaraka wa ta’ala, sementara mereka dalam keadaan demikian.” (HR. al-Bukhari no.7459 dan Muslim no.1920)-pen.
[3] Mereka ingin menggantungkan senjata-senjata mereka pada pohon tersebut karena mengharapkan barakah dari pohon tersebut. (al-Qaulul Mufid, 1/201)
[4] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir karena menganggap besar permintaan tersebut dan merasa heran, bukan bertakbir karena senang. Beliau heran, bagaimana bisa mereka mengatakan ucapan seperti itu dalam keadaan mereka beriman bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja. (al-Qaulul Mufid, 1/201)
[5] Surat al-A‘raf ayat 138.
Comments are closed.