Arti Salam bagi Seorang Muslim

arti assalamu alaikum bagi seorang muslim

Bagi seorang muslim, memberi salam bukan sekadar untuk tegur sapa, menunjukkan kesantunan, keramahan, dan memberi penghormatan. Bagi seorang muslim, memberi salam tak semata difungsikan sebagai simbol pemersatu sebuah komunitas, suku, atau bangsa. Lebih dari itu, salam bagi seorang muslim, merupakan wujud ketaatan, kesalehan, ketakwaan dan keteguhan menampilkan identitas dan syiar keislaman.

Salam, Refleksi Kepatuhan kepada Allah

Dalam syariat Islam, salam, yaitu mengucapkan, “Assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,” atau hanya mengucapkan, “Assalamualaikum,” memiliki dimensi teologis yang teramat kental. Karena itu, menyampaikan salam tak semata berkait dengan sisi kemanusiaan atau bersifat horisontal saja, tetapi kuat mengisyaratkan ke arah hubungan secara vertikal.

Mengapa? Karena, bagi seorang muslim, memberi salam atau menjawab salam merupakan refleksi dari kepatuhan dan ketundukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Taat, tunduk, dan patuh kepada-Nya melalui pelaksanaan syariat yang dibawa oleh Rasul-Nya, Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri (pemegang kekuasaan) dari kalangan kalian.” (an-Nisa: 59)

Firman-Nya pula,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (an-Nisa: 64)

Salam Mengandung Doa

Dimensi teologis lainnya yang terdapat dalam syariat menyampaikan dan menjawab salam adalah adanya unsur doa. Salam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam merupakan satu bentuk susunan lafaz yang mengandung permohonan dan harapan. Permohonan yang ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, permohonan untuk mendapatkan keselamatan, kesejahteraan, rahmat, dan keberkahan.

Tak mengherankan apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyatakan,

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَى اللهُأَوَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ

“Maukah aku tunjukkan tentang sesuatu, bilamana kalian melakukannya niscaya akan tumbuh saling mencintai di antara kalian? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)

Ya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan bimbingan kepada umatnya untuk menebarkan salam sebagaimana salam yang beliau contohkan. Salam yang ditebarkan di tengah umat kelak memberi pengaruh yang sangat besar bagi tumbuhnya persatuan dan kesatuan. Melalui salam akan terjalin kasih sayang dan saling mencintai. Cinta dan kasih sayang merupakan perekat yang paling kokoh untuk terciptanya persatuan dan kesatuan.

Maka dari itu, salam merupakan satu unsur yang bisa menyatukan umat, bukan justru sebaliknya, menjadi unsur yang memecah belah dan menjadi sumber baku tikai, sebagaimana disalahpahami oleh sebagian pihak yang dangkal cara berpikirnya.

Salam Mendatangkan Pahala

Dimensi teologis lainnya, seseorang mengucapkan salam bisa lantaran termotivasi ingin mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah subhanahu wa ta’ala. Ia terinspirasi setelah membaca hadits Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhuma yang bertutur, seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Laki-laki itu lantas mengucapkan, “Assalamualaikum.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun membalas salamnya. Lantas laki-laki itu duduk.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “(Dia meraup) sepuluh (kebaikan).”

Kemudian datang sahabat yang lain seraya mengucapkan, “Assalamualaikum wa rahmatullah.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun membalas salamnya. Laki-laki itu duduk.

Kata Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “(Dia memperoleh) dua puluh (kebaikan).”

Selanjutnya datang lagi sahabat yang lain sambil mengucapkan, “Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh.” Salam itu pun dijawab oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian laki-laki itu duduk.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam pun bersabda, “(Dia meraih) tiga puluh (kebaikan).” (HR. Abu Dawud no. 5159)

Itulah salam menurut ketentuan agama. Lalu, bisakah salam yang berdasar adat, kebiasaan satu masyarakat, atau rekaan manusia disepadankan dengan salam yang ditentukan agama?! Tentu, jauh panggang dari api.

Salam, Mengikuti Tuntunan Rasulullah

Bagi seorang muslim, mengucapkan salam sebagaimana dituntunkan agama, merupakan wujud mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Apa yang dituntunkan oleh beliau, bagi seorang muslim taat, akan dia ikuti. Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menuntunkan untuk tidak memulai memberi salam kepada Yahudi dan Nasrani, seorang muslim yang memiliki komitmen terhadap agamanya tentu akan tunduk patuh pada perintah Rasul-Nya.

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ

“Janganlah kalian mendahului mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nasrani.” (HR. Muslim no. 6165)

Begitu pula bila menjawab salam kalangan ahlulkitab, seorang muslim taat akan mengikuti arahan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ

“Bila ahlul kitab memberi salam kepada kalian, jawablah,’Wa ‘alaikum’ (dan atas diri kalian).” (HR. Muslim no. 6163)

Salam, bagi seorang muslim, merupakan bentuk pemenuhan hak saudaranya sesama muslim. Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ….

“Hak muslim atas muslim lainnya ada enam.” Ada seorang bertanya,”Apa saja enam hal itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Apabila engkau bertemu, ucapkanlah salam kepadanya… (hingga akhir hadits).” (HR. Muslim no. 2162)

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٖ فَحَيُّواْ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَآ أَوۡ رُدُّوهَآۗ

“Dan apabila kalian dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik atau balaslah (penghormatan itu yang sepadan) dengannya.” (an-Nisa: 86)

Maka dari itu, salam bagi seorang muslim memiliki nilai nan luhur. Ia diucapkan lantaran keimanan. Tidak diucapkan pun karena keimanan. Lafaz salam pun telah dicontohkan redaksinya. Jadi, tidak sepatutnya seorang muslim mengutak-atik masalah salam, berusaha mengubah dan menggantinya. Apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ambil dan tunaikanlah.

Wallahu a’lam.

 

Ditulis oleh Ustadz Ayip Syafrudin