Berbagi Kepada Ibu

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

 

Dalam sebuah hadits, Rasulullah n bersabda, menceritakan beberapa peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu. Salah satunya tentang seorang ahli ibadah bernama Juraij.
كَانَ رَجُلٌ فِي بَنِي إِسْرَائِيلَ يُقَالُ لَهُ جُرَيْجٌ يُصَلِّي فَجَاءَتْهُ أُمُّهُ فَدَعَتْهُ فَأَبَى أَنْ يُجِيبَهَا فَقَالَ: أُجِيبُهَا أَوْ أُصَلِّي؟ ثُمَّ أَتَتْهُ فَقَالَتْ: اللَّهُمَّ لاَ تُمِتْهُ حَتَّى تُرِيَهُ وُجُوهَ الْمُومِسَاتِ. وَكَانَ جُرَيْجٌ فِي صَوْمَعَتِهِ فَقَالَتِ امْرَأَةٌ: لَأَفْتِنَنَّ جُرَيْجًا. فَتَعَرَّضَتْ لَهُ فَكَلَّمَتْهُ فَأَبَى، فَأَتَتْ رَاعِيًا فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَلَدَتْ غُلاَمًا فَقَالَتْ: هُوَ مِنْ جُرَيْجٍ. فَأَتَوْهُ وَكَسَرُوا صَوْمَعَتَهُ فَأَنْزَلُوهُ وَسَبُّوهُ، فَتَوَضَّأَ وَصَلَّى ثُمَّ أَتَى الْغُلاَمَ فَقَالَ: مَنْ أَبُوكَ يَا غُلاَمُ؟ قَالَ: الرَّاعِي. قَالُوا: نَبْنِي صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ. قَالَ: لاَ، إِلاَّ مِنْ طِينٍ
Dahulu kala, di kalangan Bani Israil ada seorang yang dikenal bernama Juraij. Pada suatu hari, ketika dia sedang shalat, datanglah ibunya memanggil.
Juraij enggan memenuhi panggilannya. Katanya (dalam hati), “Saya menjawab panggilannya, ataukah saya tetap shalat?”
Kemudian ibunya datang lagi (memanggil, tapi Juraij tidak menyahut). Sang ibu pun berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan dia sampai Engkau memperlihatkan kepadanya wajah para wanita pelacur.”
Suatu ketika, Juraij sedang berada di tempat ibadahnya. Ada seorang wanita berkata, “Sungguh, saya pasti akan membuat Juraij terfitnah (tergoda untuk menzinainya, red.).” Dia pun menawarkan diri kepadanya dan mengajaknya bicara. Namun Juraij menolak.
Akhirnya wanita itu mendatangi seorang penggembala kambing dan menyerahkan diri kepadanya (berzina, red.).
(Beberapa waktu kemudian), wanita itu melahirkan seorang anak. Dia berkata, “(Anak) ini dari Juraij.”
Penduduk kampung itu pun mendatangi Juraij, menghancurkan tempat ibadahnya dan menyeretnya serta mencacinya.
Juraij pun berwudhu dan shalat. Kemudian dia mendatangi bayi itu dan bertanya, “Siapakah ayahmu, wahai anak?”
Bayi itu menjawab, “Si penggembala.”
Akhirnya penduduk kampung itu pun berkata, “Kami bangun kembali biaramu dari emas?”
Kata Juraij, “Tidak. Tapi (bangunlah kembali) dari tanah.”1
Kisah ini terjadi berabad-abad yang lalu, di zaman Bani Israil, sebelum Rasulullah n dilahirkan.
Mulanya, Juraij hanyalah seorang pedagang. Kadang berhasil, dia memperoleh laba. Tapi tidak jarang pula dia mengalami kerugian. Melihat kenyataan ini, Juraij merenung dan berkata dalam hatinya, “Sungguh, tidak ada kebaikan dalam perniagaan seperti ini. Aku ingin mencari perniagaan yang lebih baik daripada ini.”
Mulailah dia membangun sebuah tempat ibadah tempat ia beribadah di dalamnya. Akhirnya, dia pun tenggelam dalam kekhusyukan beribadah kepada Allah l.

Ujian pun Datang
Sunnatullah pasti berlaku pada setiap hamba Allah l. Mereka yang mengaku dirinya beriman, menyatakan cinta kepada Allah l, pasti akan menerima ujian sesuai tingkat iman yang ada dalam dadanya. Terlebih jika Allah l mencintai hamba tersebut.
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ
“Sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menimpakan petaka (ujian) pada mereka. Oleh karena itu, siapa yang menerimanya dengan ridha niscaya dia akan memperoleh keridhaan (dari Allah l), sedangkan mereka yang merasa marah (tidak rela menerimanya), tentu dia memperoleh murka (dari Allah l).”2
Beliau n pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling berat ujiannya?” Sabda beliau n:
الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ، فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِى دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ، فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِي عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
“Para nabi, kemudian yang (mulia) seperti mereka, dan yang seperti mereka. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan tingkat keimanannya. Kalau dia teguh dan kokoh dalam beragama, niscaya berat pula ujiannya. Kalau dia rapuh dalam beragama, tentu ringan pula ujian yang diterimanya. Senantiasa seseorang mendapat ujian, hingga dia dibiarkan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak mempunyai kesalahan.”
Suatu ketika, saat Juraij sedang shalat, ibunya datang memanggil, “Wahai Juraij. Wahai anakku, temuilah. Aku adalah ibumu, bicaralah denganku!”
Juraij yang sedang shalat ragu-ragu, apakah dia harus membatalkan shalatnya lalu menemui ibunya, ataukah dia tetap meneruskan shalatnya?
“Ya Allah, shalatku ataukah ibuku?”
Sang ibu pun pergi. Tak lama, beliau datang lagi memanggil, “Wahai Juraij. Wahai anakku, temuilah. Aku adalah ibumu, bicaralah denganku!”
Ternyata, tidak ada jawaban dari Juraij. Sang ibu merasa masygul. Ada apa dengan putranya, beberapa kali panggilannya tidak disahut oleh sang anak?
Akhirnya, tak sabar menahan kejengkelannya, sang ibu memanjatkan doa, “Ya Allah, janganlah Engkau mematikan Juraij sampai Engkau memperlihatkan kepadanya wajah wanita pelacur.”
Sebuah “kesalahan” yang kelihatannya cukup ringan. Hanya karena dia tidak menyahut panggilan sang ibu yang telah melahirkan dan mengasuhnya sejak dia kecil. Bahkan perbuatan itu bukan pula didasari karena dia durhaka kepada ibunya.
Tidak. Juraij bukan anak durhaka. Dia justru sedang berada di antara dua sikap ta’zhim (pengagungan): antara mengagungkan hak Allah l yang dia sedang berdiri shalat di hadapan-Nya ataukah hak sang ibu yang telah melahirkan dan mengasuhnya?
Juraij berkata, “Ya Allah, shalatku ataukah ibuku?”
Akhirnya, Juraij tetap meneruskan shalatnya.
Dalam shalatnya, Juraij masih sempat mendengar doa yang dipanjatkan sang ibu. Sebuah doa yang mustajab, bertepatan dengan waktu Allah l mengabulkan doa. Dari seorang ibu yang salehah, yang dikecewakan oleh putra yang telah dilahirkan dan dibesarkannya.
Duhai, kiranya manusia mengetahui hak Allah l dan menunaikannya secara sempurna, tentulah mereka pun tahu betapa mulia kedudukan orang tua dalam diri mereka, sesudah Allah l dan Rasul-Nya.
Dalam banyak ayat-Nya, Allah l selalu mengurutkan (mendudukkan) berbagai kebaikan dan ketaatan kepada orang tua sesudah perintah taat kepada Allah l dan Rasul-Nya.
Allah l berfirman:
“Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isra’: 23)
Selang beberapa waktu kemudian. Ketika nama Juraij dikenal sebagai seorang ahli ibadah, terdengarlah beritanya oleh seorang pelacur yang sangat cantik di daerah tersebut. Harga diri wanita itu seolah-olah tertantang. Dia merasa tinggi hati karena hampir setiap laki-laki di daerah tersebut, sama mengharapkan dirinya.
Sehebat apakah laki-laki bernama Juraij itu? Siapakah dia? Apakah dia seorang nabi? Ataukah malaikat? Tidak adakah yang dapat meruntuhkan imannya? Padahal setiap laki-laki di sekitarnya memuja dirinya?
Akhirnya dia bertekad untuk menjatuhkan pamor dan merusak ibadah Juraij.
Datanglah dia berkunjung hendak merayu Juraij agar mau berzina dengannya. Wanita itu benar-benar mengerahkan segenap upayanya untuk menggoda dan membujuk Juraij agar mau menyentuhnya. Juraij tetap menolak.
Berbagai cara telah dilakukan oleh wanita itu, tapi Juraij tetap tak bergeming. Karena syahwatnya sudah terlanjur memuncak sementara Juraij tidak menggubrisnya, wanita itu jengkel dan pergi.
Kebetulan, di sekitar tempat ibadah Juraij ada seorang penggembala yang biasa membawa kambingnya merumput di sana.
Sambil beristirahat, penggembala itu melepas kambing-kambingnya berlarian di padang rumput sepi itu.
Saat dia sedang memerhatikan kambingnya, datanglah wanita yang tadi merayu Juraij. Dengan keahliannya, dia berhasil merayu si penggembala dan terjadilah perbuatan keji itu.
Setelah itu, si wanita pun pergi meninggalkan penggembala dan kampung Juraij dengan satu rencana jahat yang sudah dipersiapkannya.
Dia harus menghancurkan nama baik Juraij.
Keadaan tetap sebagaimana semula. Juraij tetap sibuk dengan ibadahnya. Sang ibu tidak lagi datang ke tempat Juraij. Entah karena marah, sedih, atau yang lainnya.
Beberapa waktu kemudian, di kampung seberang, si wanita yang dahulu merayu Juraij hamil dan sudah saatnya melahirkan.
Tak berapa lama, sang bayi pun lahir.
Wanita itu, didorong keinginannya untuk menghancurkan nama baik Juraij, walaupun masih dalam masa nifas, tetap keluar membawa bayi itu ke tengah-tengah kumpulan orang banyak. Dengan terheran-heran, orang-orang kampung itu bertanya, kapan wanita ini menikah? Laki-laki mana yang mau menikahi wanita seperti ini? Siapa pula suaminya? Di mana mereka menikah?
Sejumlah pertanyaan muncul dalam benak mereka. Tapi agaknya, semua sudah diperhitungkan wanita tersebut. Semua pertanyaan yang mungkin mereka ajukan sudah ada jawabannya.
Dengan tenang, dia berkata kepada penduduk kampung itu, “Ini (hasil hubunganku) dengan Juraij.”
Bagai disengat kalajengking, mereka tersentak kaget. Juraij, ahli ibadah yang terkenal itu?
Jadi, selama ini dia berpura-pura alim, tetapi melakukan perbuatan tak senonoh dengan perempuan seperti ini?
Akhirnya, sumpah serapah dan caci-maki berhamburan dari mulut mereka.
Penipu, mura’i (orang yang berbuat riya’), ingin dipuji, dan umpatan lainnya mereka tujukan kepada Juraij.
Tak puas sampai di situ. Berduyun-duyun mereka datang menyerbu tempat ibadah Juraij.
Dari bawah tempat ibadah tersebut, mereka berteriak mencaci-maki Juraij dan menyuruhnya turun.
Juraij tak memedulikan mereka, dia tetap tenggelam dalam ibadahnya.
Warga semakin tak sabar. Beberapa orang di antara mereka memukulkan palu, pacul, dan benda-benda keras lainnya untuk meruntuhkan tempat ibadah itu.
Mau tak mau, Juraij pun keluar.
Dia tersenyum….
Warga merasa heran, mengapa dia tersenyum? Tentu saja hal itu membuat mereka semakin jengkel. Sambil memaki, mereka membelitkan tali di leher kedua orang yang mereka ‘yakini’ telah berzina ini. Juraij dan si pelacur.
Dalam ajaran mereka ketika itu, orang yang berbuat demikian harus dibunuh.
Tapi, mengapa Juraij tersenyum?
Ya, ada apa? Juraij ingat, dalam shalatnya sayup-sayup dia sempat mendengar doa yang dipanjatkan sang ibu yang kecewa.
Inilah kenyataan dari doa tersebut.
Akhirnya, Juraij minta izin untuk berwudhu lalu shalat.
Selesai shalat, Juraij mendekati wanita dan bayinya tersebut. Kemudian, dia menekan jarinya ke tubuh si bayi sambil bertanya, “Wahai bayi, siapakah ayahmu?”
Mahasuci Allah yang membuat bicara segala sesuatu yang Dia kehendaki untuk berbicara. Itulah sebagian kecil bukti kekuasaan Allah Yang Mahaperkasa.
Bukan hanya bayi manusia, bahkan benda-benda mati pun berbicara. Kulit, pendengaran, dan penglihatan manusia nanti juga akan berbicara menjadi saksi terhadap pemiliknya.
Kapankah itu terjadi? Jangan tanya, kapan itu terjadi.
Tapi, seharusnya kita bertanya, sudahkah kita mempersiapkan jawaban atas setiap pertanyaan yang akan diajukan kepada kita di padang mahsyar nanti? Sebelum pendengaran, penglihatan, dan kulit-kulit kita menjadi saksi terhadap diri kita? Sebelum mulut kita dikunci, tidak lagi mampu berkata-kata sepatah pun?
Itulah hari, ketika manusia berdiri di hadapan Allah Yang Mahaadil dan Bijaksana. Dzat yang menguasai Hari Pembalasan. Hari yang pasti terjadi.
Setiap orang sendiri-sendiri berbicara dengan Rabbnya, tanpa seorang penerjemah pun. Dia harus siap memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang diajukan kepadanya, tentang waktunya, untuk apa dia habiskan? Tentang kekuatannya, apa yang dia lakukan dengan kekuatan tersebut? Tentang hartanya, dari mana dia memperoleh dan ke mana dia belanjakan? Serta tentang ilmunya, apa yang dikerjakannya dengan ilmu itu?
Itulah sabda Nabi n:
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ
“Tidak akan bergeser telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat, hingga dia ditanya tentang: Umurnya (waktu), dalam urusan apa dia gunakan. Tentang ilmu, bagaimana dia mengamalkannya? Tentang hartanya, dari mana dia memperolehnya dan ke mana dia belanjakan? Juga tentang jasmani (kekuatan)nya dalam urusan apa dia habiskan?”3
Ingatlah, kita semua pasti akan dihadapkan kepada Allah l dan ditanya tentang semua aktivitas kita selama hidup di alam dunia. Mungkin kita membayangkan bisa berdusta di dalam ‘persidangan’ itu. Bahkan, setiap kita berusaha membela diri dengan menyebut kebaikan-kebaikannya atau mengelakkan tuduhan yang ditujukan kepadanya.
Tetapi, jelas sekali, semua itu tidak berguna. Karena Allah l berfirman:
Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka, “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab, “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (Fushshilat: 20-21)
Maka, ingatlah. Itulah kekuasaan Allah. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Kekuasaan-Nya membuat bicara segala sesuatu, tidak hanya di akhirat nanti….
Sang bayi yang baru saja lahir, Allah l takdirkan mampu berbicara.
Dengan jelas didengar oleh semua yang hadir dalam ‘persidangan’ itu, bayi itu menjawab pertanyaan Juraij tadi, “Bapakku adalah si penggembala.”
Kalimat ini meruntuhkan kemarahan yang bercokol di hati warga saat itu. Jelas sudah, ternyata Juraij tak bersalah. Dia betul-betul suci dari berbuat keji seperti yang mereka tuduhkan.
Dengan penuh rasa sesal, sambil menciumi Juraij, warga meminta maaf kepada Juraij dan menawarkan, “Bagaimana kalau kami bangun kembali tempat ibadahmu dari emas atau perak?”
Dengan halus Juraij menolak dan berkata, “Tidak perlu, cukup seperti sebelumnya, dari tanah.”
Keadaan menjadi tenang, warga pun pulang ke tempat masing-masing.
Keikhlasan, kesungguhan, dan kejujuran dalam pengabdian, di samping rahmat serta kasih sayang Allah l tentunya, itulah yang menyelamatkan Juraij.
Demikianlah Allah l berbuat terhadap hamba-hamba yang dicintai-Nya. Rasulullah n bersabda:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الْخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَفَّى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Apabila Allah menghendaki kebaikan pada salah seorang hamba-Nya, niscaya Dia segerakan hukuman untuknya di dunia. Jika Allah menghendaki keburukan atas hamba-Nya, tentu Dia tahan darinya (hukuman itu) dengan dosanya, sampai Dia sempurnakan (balasan) dosa itu pada hari kiamat.”4
Apa yang dialami Juraij, adalah sebuah teguran halus dari Allah l…..
(Insya Allah bersambung)


1 Al-Bukhari (no. 3253) dan Muslim (no. 2500) dari Abu Hurairah z.
2 HR. At-Tirmidzi (no. 2320), kata beliau, “Hadits ini hasan gharib dari jalan ini.”
3 Disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani.
4 HR. At-Tirmidzi (no. 2396) dan kata Asy-Syaikh Al-Albani, “Hasan sahih.”