Sahkah Khuluk Tanpa Ganti Rugi?

Pertanyaan:

Sepasang suami istri telah menjalani kehidupan rumah tangga cukup lama. Tiba-tiba, istrinya meminta berpisah dengan alasan dirinya tidak bisa lagi mencintai suaminya. Setelah menjalani proses pembicaraan yang serius, sang suami menerima permintaan sang istri. Keduanya memahami bahwa hal itu adalah peristiwa khuluk. Akan tetapi, tidak ada pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari sang istri hingga sekarang. Peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.

  1. Apakah dalam kasus di atas jatuh hukum khuluk sebagaimana yang dipahami oleh keduanya, ataukah talak?
  2. Bagaimana apabila sang suami merelakan saja tanpa menuntut ganti rugi?
  3. Bolehkah keduanya menjalin hubungan lagi?
  4. Si lelaki sekarang dalam kebingungan yang serius, seakan-akan memikul beban yang berat karena peristiwa tersebut. Dia menganggap dirinya telah melakukan kesalahan yang fatal. Apa yang harus diperbuatnya?

Fulan di bumi Allah

Jawaban:

Berdasarkan kasus yang diuraikan, tampak bagi kami kesimpulan dan jawaban sebagai berikut.

1 & 2. Kasus tersebut tidak jatuh sebagai hukum khuluk yang berstatus fasakh (pembatalan akad), meskipun keduanya memahami bahwa kasus mereka adalah khuluk dan sang suami menganggap dirinya telah menjatuhkan khuluk.

Sebab, tidak ada pembicaraan ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri atas permintaan khuluk yang diajukannya. Padahal tebusan adalah salah satu rukun khuluk yang harus ada dalam kasus khuluk yang berstatus fasakh (pembatalan akad nikah).

Baca juga: Definisi dan Konsekuensi Khuluk

Ibnu Taimiyah menukilkan kesepakatan ulama bahwa kasus khuluk tanpa pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari istri tidak bisa jatuh sebagai fasakh. Demikian dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191, cet. Darul Wafa’).

Demikian pula dalam Zadul Ma’ad (5/675—676), Ibnul Qayyim menukilkan dari gurunya (Syaikhul Islam) adanya kesepakatan ulama dalam hal ini dan beliau membenarkannya.

Akan tetapi, apakah kasus tersebut jatuh sebagai talak?

Jika yang dimaksud adalah talak ba’in[1], tidak. Hal ini menurut pendapat yang rajih bahwa seorang istri tidak dibenarkan untuk meminta khuluk kepada suaminya dengan menceraikannya sebagai talak ba’in tanpa tebusan ganti rugi. Suami juga tidak berwenang untuk menjatuhkan hal itu[2]. Sebab, hak raj’ah—hak suami untuk menariknya kembali sebagai istri tanpa akad baru selama dalam masa iddah—yang gugur dengan talak ba’in merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala yang telah tetap dalam syariat ini dan tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu, keduanya tidak dibenarkan untuk bersepakat menggugurkan hak tersebut.

Baca juga: Talak Raj’i dan Talak Ba’in

Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan pendapat Imam asy-Syafi’i, dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (5/675), asy-Syaukani dalam as-Sailul Jarrar (2/370), dan as-Sa’di dalam al-Fatawa as-Sa’diyyah (hlm. 389).

Ibnu Taimiyah pun mendukungnya dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191). Beliau menyatakan, pendapat inilah yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta mayoritas riwayat yang tsabit (sahih) dari mayoritas sahabat.

Berdasarkan pendapat ini, apabila sang suami menjatuhkan khuluk dengan menggunakan lafaz-lafaz tertentu (khusus) untuk khuluk, yaitu khuluk (melepaskan), fasakh (membatalkan akad nikah), atau fida’/iftida’ (menerima tebusan) tanpa disertai niat menalaknya, tidak ada sesuatu yang terjadi antara keduanya. Keduanya masih sebagai suami-istri.

Apabila suami menggunakan lafaz-lafaz khas tersebut atau lafaz lainnya yang merupakan bahasa kiasan untuk talak disertai dengan niat talak, jatuh sebagai talak raj’i[3]. Demikian pula, jika menggunakan lafaz talak atau cerai yang jelas dan gamblang untuk talak, jatuh sebagai talak raj’i.[4]

  1. Apabila tidak terjadi sesuatu pun dalam kasus ini berdasarkan keterangan di atas, keduanya masih sebagai suami-istri sampai sekarang.

Hendaklah keduanya memproses ulang kasus khuluk yang diinginkan dengan cara yang sesuai dengan syarati dan memenuhi rukun-rukunnya. Hal ini apaila memang istri tidak bisa lagi mencintai suaminya dan khawatir terjerumus dalam nusyuz (pelanggaran hak suami yang wajib).

Khuluk ini dilakukan dengan cara sebagai berikut.

  1. Pembayaran ganti rugi sebagai tebusan dari pihak istri dengan nilai yang disepakati bersama. Sebaiknya, nilainya tidak lebih dari nilai mahar yang pernah diberikan saat pernikahan.
  2. Pihak suami menjatuhkan khuluk dengan salah satu lafaz khuluk yang khusus atau lafaz lainnya.[5]
  3. Disertai kerelaan kedua belah pihak tanpa ada unsur tekanan dan pemaksaan.[6]
Baca juga: Syariat Khuluk dan Hikmahnya

Dengan demikian, proses khuluk pun jatuh dengan sah dan benar sebagai fasakh (pembatalan akad). Dengan khuluk ini, keduanya bukan lagi suami-istri meskipun tanpa diproses di hadapan hakim (melalui Kantor Pengadilan Agama), menurut pendapat yang rajih.

Akan tetapi, kami sarankan agar kasus ini diselesaikan secara administrasi pemerintahan di Kantor Pengadilan Agama agar tidak tersandung oleh hal-hal yang membingungkan dan memberatkannya di kemudian hari.

Setelah itu, hendaklah sang wanita menjalani masa iddah (penantian) hingga haid satu kali dalam rangka pembebasan rahim dari bibit yang mungkin telah ada akibat hubungan suami-istri. Setelah masa iddah itu selesai, sang wanita halal untuk menikah dengan laki-laki lain. Akan tetapi, lelaki mantan suaminya memiliki hak untuk menikahinya kembali dengan akad yang baru, baik dalam masa iddah maupun setelahnya, jika keduanya ingin bersatu kembali.

Baca juga: Iddah dan Macamnya

Apabila yang terjadi sesuai uraian di atas, yaitu kasus tersebut adalah talak raj’i, berarti kasusnya telah selesai dengan hukum talak raj’i tersebut. Jika sang lelaki ingin bersatu kembali, dia bisa menarik kembali istrinya sebagai istrinya tanpa akad yang baru, jika masih dalam masa iddah (belum melewati tiga kali haid). Adapun jika masa iddahnya telah selesai, keduanya bisa bersatu kembali dengan akad nikah yang baru.

  1. Yang harus dilakukan adalah bersegera memperjelas kasus yang dialaminya, kemudian menentukan langkah yang tepat berdasarkan bimbingan di atas.

Dengan demikian, dirinya menjadi tenang dan bisa mantap melangkah ke depan tanpa beban.

Jika selama ini suami sering mengecewakan istrinya dengan kelalaian dan akhlaknya yang jelek, dia pantas merasa bersalah. Hendaknya dia bertobat kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas semua itu.

Jika istrinya kecewa kepadanya dan tidak bisa mencintainya lagi karena sesuatu yang sudah ditakdirkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atas dirinya dan di luar kemampuannya, hendaklah dia bersabar atas takdir Allah subhanahu wa ta’ala.

Baca juga: Bahaya yang Mengancam Keharmonisan Rumah Tangga

Terakhir, kami ingatkan kepada siapa saja yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam urusan-urusan mereka. Hendaknya mereka tidak berucap dan bertindak tanpa bimbingan ilmu yang menerangi langkah mereka.

Wallahul Muwaffiq.


Catata Kaki

[1] Talak ba’in yang dimaksud di sini adalah bainunah shugra’ (perpisahan kecil). Keduanya bukan lagi suami-istri dengan talak itu. Selama masa iddah (penantian) hingga haid satu kali, sang suami tidak lagi memilki hak untuk menariknya kembali menjadi istrinya tanpa akad baru. Sebaliknya, sang istri tidak memiliki hak lagi untuk diberi nafkah dan tempat tinggal. Yang dibahas di sini bukan talak ba’in yang merupakan bainunah kubra’ (perpisahan besar) yang terjadi pada talak tiga. (–pen.)

[2] Demikian pula jika disertai tebusan ganti rugi. Sebab, pendapat yang benar adalah bahwa khuluk semuanya adalah fasakh, dengan lafaz apa pun sang suami menjatuhkannya.

Ada pendapat yang mengatakan khuluk bisa jatuh sebagai fasakh (pembatalan akad) atau sebagai talak ba’in, tergantung pada lafaz yang digunakan serta niatnya. Akan tetapi, pendapat ini lemah. Yang rajih adalah apa yang kami sebutkan. (–pen.)

[3] Talak raj’i ialah talak yang selama masa iddah (penantian) hingga haid tiga kali, sang suami memiliki hak untuk menariknya kembali menjadi istrinya, tanpa akad yang baru. Sebaliknya, istri memiliki hak untuk diberi nafkah dan tempat tinggal. (–pen.)

[4] Yang kami maksud adalah dengan lafaz Arab atau dengan maknanya dalam bahasa Indonesia, atau bahasa daerah, dan yang mengucapkannya mengerti makna dan maksud dari lafaz yang diucapkannya.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (32/191) berkata, “Khuluk dan talak sah dijatuhkan dengan selain bahasa Arab, menurut kesepakatan ulama.” (–pen.)

[5] Lihat catatan kaki no. 4.

[6] Hal ini tidak menafikan wewenang hakim untuk mengharuskan pihak suami melepas istrinya pada kasus khuluk, jika sang istri benar-benar tidak bisa lagi hidup bersamanya. Demikian menurut pendapat yang rajih.

(Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari)