Bid’ah dan Hizbiyah (Bukti Tidak Beradab terhadap Rasulullah)

Akhlak adalah cerminan dari hati seorang muslim. Sehingga, perangai yang penuh adab dan sopan santun merupakan gambaran dari apa yang ada di dalam hatinya. Sebaliknya, tutur kata yang tidak beradab, sikap yang jelek, itupun merupakan gambaran isi hati seseorang. Rasulullah n bersabda:
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging. Apabila baik, maka baiklah seluruh jasadnya, dan apabila rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah, dia adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir c)
Bahkan akhlak yang baik adalah bukti kebenaran iman seseorang. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. At-Tirmidzi, Kitab Ar-Radha’ Bab Ma Ja`a fi Haqqil Mar`ah ‘ala Zaujiha, no. 1082, dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Shahih Al-Jami’ no. 1232)
Allah l telah memberitakan kepada kita tentang akhlak Rasul-Nya n:
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4)
Ummul Mukminin Aisyah x pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah n. Beliau menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Qur`an.” (HR. Muslim)
Karena akhlak Rasulullah n adalah Al-Qur`an, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa akhlak itu mencakup agama Islam secara keseluruhan. Baik akhlak terhadap Allah l, terhadap rasul-rasul-Nya r, kitab-kitab-Nya, maupun akhlak terhadap hamba-hamba Allah l yang lainnya.
Dari sini pula kita dapatkan bahwa kebanyakan orang masih berpandangan sempit tentang akhlak. Seakan-akan, akhlak hanya terbatas pada tutur kata dan penampilan yang menarik saja. Padahal cakupannya luas, seluas syariat Islam.
Di antara hamba-hamba Allah l yang paling berhak untuk kita beradab dan berakhlak yang baik adalah para nabi dan rasul r, terutama Rasulullah Muhammad n. Mengapa demikian? Karena, kita tidak mungkin mengetahui jalan yang benar dan melaksanakan ibadah yang bisa diterima oleh Allah l, kecuali dengan Sunnah dan thariqah (jalan) Rasulullah n.
Realisasi dan wujud berakhlaknya seorang mukmin kepada Rasulullah n di antaranya:
1. Beriman kepadanya dan beriman pula kepada apa yang beliau n bawa.
Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hadid: 28)
Dalam ayat ini, Allah l menjanjikan beberapa perkara kepada orang-orang yang bertakwa dan beriman kepada Rasul-Nya n:
q Allah l menggandakan pahalanya dua kali lipat, dan ini merupakan rahmat-Nya.
q Allah l memberikan kepadanya cahaya ilmu dan petunjuk, sehingga mereka bisa berjalan dengannya di dalam gelapnya kejahilan.
q Allah l akan mengampuni dosa-dosanya.
Inilah buah yang akan didapat oleh orang-orang yang beradab dan berakhlak baik, khususnya terhadap Rasulullah Muhammad n.
Sebaliknya, orang yang tidak beradab dan berakhlak baik terhadap Rasulullah n akan gugur amal-amalnya. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. Dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2)
Mengangkat suara kepada Rasulullah n saja bisa menggugurkan amalan. Lebih-lebih berbagai macam syirik, bid’ah, hizbiyah, kemaksiatan, dan kemungkaran lainnya.
2. Membenarkan segala berita yang Rasulullah n sampaikan.
Allah l berfirman:
“Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur`an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 2-4)
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash c, bahwa dia berkata:
كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ n أُرِيدُ حِفْظَهُ فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ فَقَالُوا: إِنَّكَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ n وَرَسُولُ اللهِ n بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا؟ فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ n فَقَالَ: اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّـي إِلَّا حَقٌّ
“Aku senantiasa menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah n untuk aku hafal. Maka kaum Quraisy melarangku dan berkata: ‘Engkau menulis segala yang engkau dengar dari Rasulullah n, padahal Rasulullah n adalah manusia, beliau berkata dalam keadaan marah maupun ridha?’ Aku pun menahan diri dari menulis hingga aku sebutkan hal itu kepada Rasulullah n. Maka Rasulullah n bersabda: ‘Tulislah. Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran’.” (HR. Ahmad, 2/162. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 1532, dan Asy-Syaikh Muqbil t dalam Ash-Shahihul Musnad no. 768)
Sehingga, berita apapun yang shahih dari Rasulullah n wajib kita membenarkannya, baik berita itu masuk akal ataupun tidak. Baik berita itu sudah terjadi, sedang terjadi, atau yang akan terjadi. Semuanya adalah benar, selama berita tersebut shahih dari Rasulullah n. Tidak boleh seseorang mempertentangkannya dengan mazhab, pemikiran, atau pendapat siapapun. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah (yakni Kitabullah) dan Rasul-Nya (yakni Sunnahnya), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Berdasarkan ayat ini, berita apapun yang bertentangan dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah yang shahih adalah salah, siapapun yang mengatakannya. Demikianlah seharusnya akhlak dan adab seorang muslim terhadap berita yang shahih dari Rasulullah n.
3. Menaati perintah dan larangan Rasulullah n.
Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)….” (An-Nisa`: 59)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Abu Hurairah z berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَثْرَةُ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ
“Apa saja yang aku larang kalian darinya maka tinggalkanlah. Dan apa saja yang aku perintahkan kepada kalian maka ambillah semampu kalian. Hanyalah yang membinasakan orang-orang yang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan mereka dan penyelisihan mereka terhadap para nabi yang diutus kepada mereka.” (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah n juga mengabarkan bahwa ketaatan kepada beliau n merupakan sebab yang akan memasukkan seseorang ke dalam jannah (surga). Beliau n bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Seluruh umatku akan masuk jannah, kecuali yang enggan.” Maka dikatakan: “Wahai Rasulullah, siapa yang enggan?” Beliau menjawab: “Barangsiapa yang menaatiku maka dia pasti masuk jannah, sedangkan barangsiapa yang mendurhakaiku maka sungguh dia telah enggan (masuk jannah).” (HR. Al-Bukhari, Kitabul I’tisham bil Kitabi was Sunnah, Bab Al-Iqtida` bi Sunani Rasulillah, no. 6737)
Berbagai musibah, kehinaan dan kerendahan yang menimpa kaum muslimin adalah disebabkan ketidaktaatan dan ketidakberadaban terhadap perintah dan larangan Rasulullah n. Allah l berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
4. Mengikuti dan berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah n.
Seorang muslim tentu mencintai Allah l. Bukti kecintaannya itu adalah dengan mengikuti dan berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah n. Allah l berfirman:
“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
Mengikuti (ittiba’) Rasul merupakan solusi yang tepat tatkala menghadapi perselisihan dan perpecahan yang terjadi pada umat ini. Di samping itu, ittiba’ akan membuahkan keselamatan di dunia dari kesesatan, dan keselamatan di akhirat dari azab Allah l. Rasulullah n bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Sesungguhnya barangsiapa di antara kalian yang hidup panjang, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib kalian berpegang dengan Sunnahku dan sunnah para khalifah yang terbimbing, yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah dari perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dia menyatakan: “Hadits yang hasan shahih dari ‘Irbadh bin Sariyah z.”)
Dari sinilah, ittiba’ Rasul menjadi syi’ar dakwah Ahlus Sunnah wal Jamaah di sepanjang masa dan semua tempat. Sekaligus, bid’ah dan hizbiyah yang merupakan lawan dari ittiba’ adalah tanda dakwah ahli bid’ah dan hizbiyah, yang akan mengajak kepada perpecahan dan perselisihan. Kenapa demikian? Karena tidak ada satu golongan pun kecuali memiliki amalan-amalan, pendapat-pendapat, dan keyakinan-keyakinan yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasulullah n, kecuali Ahlus Sunnah wal Jamaah yang senantiasa mengikuti Sunnah Rasulullah n dan al-jamaah.
Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi t berkata dalam Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah: “Penyimpangan-penyimpangan (dari syariat) itu bertingkat-tingkat. Terkadang berupa kekafiran, terkadang berupa kefasikan, terkadang berupa kemaksiatan, dan terkadang berupa kesalahan semata.”
Demikian juga tidak beradab terhadap Rasulullah n dan Sunnahnya. Ada yang menyebabkan kekafiran, kefasikan, kemaksiatan, dan kesalahan semata. Hal ini dilakukan oleh berbagai golongan yang menisbahkan diri kepada Islam.
Wallahul musta’an.