Mengenakan perhiasan bagi wanita adalah sesuatu yang sangat lazim. Masalahnya, tak semua perhiasan yang jamak dikenal di masyarakat mencocoki syariat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَوَ مَن يُنَشَّؤُاْ فِي ٱلۡحِلۡيَةِ وَهُوَ فِي ٱلۡخِصَامِ غَيۡرُ مُبِينٖ ١٨
“Apakah patut (menjadi anak Allah) orang (wanita) yang dibesarkan dalam keadaan beperhiasan, sedang dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran.” (az-Zukhruf: 18)
Kenyataan menunjukkan, wanita memang senang berhias sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas. Islam pun datang menetapkan aturan, mana perhiasan yang boleh dikenakan dan mana yang terlarang. Untuk perhiasan pada wajah telah disinggung pada edisi sebelumnya. Bahasan kali ini adalah kelanjutannya.
Berbagai Jenis dan Bentuk Perhiasan
Dibolehkan bagi wanita untuk memakai berbagai jenis perhiasan, baik yang terbuat dari emas, perak, mutiara atau yang lainnya. Sama saja apakah perhiasan itu diletakkan di telinga, tangan, ataupun kakinya. Hal ini bisa diketahui di antaranya dari hadits-hadits yang mulia berikut ini.
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma bertutur, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami manusia pada hari Idul Fithri, kemudian beliau berkhutbah. Setelah itu beliau mendatangi tempat wanita untuk memberikan peringatan dan nasihat kepada mereka dalam keadaan beliau bersandar pada tangan Bilal. Beliau mendorong mereka untuk bersedekah. Bilal pun membentangkan bajunya untuk menadah sedekah tersebut.”
Ibnu Juraij yang mendengar hadits ini dari ‘Atha, rawi yang menyampaikan riwayat dari Jabir, bertanya, “Apakah yang mereka berikan itu zakat Idul Fithri?”
“Bukan”, kata ‘Atha, “Itu adalah sedekah mereka pada hari tersebut,” lanjutnya. “Para wanita itu melemparkan cincin-cincin mereka dan perhiasan lainnya sebagai sedekah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 978 dan Muslim no. 885)
Dalam riwayat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma disebutkan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى يَوْمَ الْعِيْدِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهُما وَلاَ بَعْدَهُما، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدقَةِ، فَجَعَلَتِ الْمَرْأَةُ تُلقِي قُرُطَهُنَّ.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Ied dua rakaat dan tidak melaksanakan shalat sunnah sebelum dan sesudahnya. Kemudian beliau mendatangi para wanita dengan ditemani Bilal. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Mendengar anjuran tersebut, mulailah wanita yang hadir melemparkan anting-antingnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5883 dan Muslim no. 884)
‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah meminjam kalung milik saudara perempuannya, Asma bintu Abi Bakr, untuk berhias di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kalung ini kemudian jatuh dari ‘Aisyah dalam satu safar (perjalanan)-nya bersama Rasulullah, dan dicari oleh para sahabat hingga mereka tertahan di tempat yang tidak ada air padahal mereka hendak shalat. Dari peristiwa ini, turun syariat tayammum dalam al-Qur’an surat al-Maidah. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 336, 5882 dan Muslim no. 367)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapat hadiah dari Raja Najasyi berupa perhiasan, di antaranya cincin emas bertahtakan batu permata Habasyi. Beliau mengambilnya kemudian memanggil cucunya, Umamah, putri Zainab. Beliau lalu berkata, “Berhiaslah dengan cincin ini, wahai cucuku.” (HR. Abu Dawud no. 3697, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ush Shahih, 4/312)
Dalam kitab Shahih–nya, al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat bab khusus yang berjudul “Cincin Bagi Wanita”, dan beliau menyatakan bahwa ‘Aisyah mengenakan cincin-cincin emas. (Shahih al-Bukhari dengan Fathul Bari, 10/342)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum wanita diperkenankan memakai sutra dan seluruh jenisnya, sebagaimana halnya dibolehkan bagi mereka memakai cincin emas dan seluruh perhiasan dari emas, demikian pula dari perak. Sama saja baik wanita itu sudah menikah maupun belum, baik masih muda maupun sudah tua, baik kaya maupun miskin.” (Syarah Shahih Muslim, 14/32)
Beliau juga menyatakan bahwa kaum muslimin bersepakat tentang bolehnya wanita memakai cincin emas. (Syarah Shahih Muslim, 14/65)
Ibnu Qudamah rahimahullah dalam al-Mughni (2/324) berkata, “Dibolehkan bagi wanita mengenakan perhiasan dari emas, perak, dan permata, dengan bentuk yang biasa mereka kenakan. Misalnya, gelang tangan, gelang kaki, anting-anting dan cincin. Termasuk pula perhiasan yang dikenakan di wajah, leher, tangan, kaki, telinga mereka, dan selainnya. Adapun perhiasan yang menurut kebiasaan mereka tidak lazim dipakai, seperti sabuk dan perhiasan laki-laki yang semisalnya, diharamkan bagi wanita memakainya.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan bahwa perhiasan emas dan perak boleh dipakai wanita menurut kesepakatan ulama. (Majmu’ Fatawa, 25/64)
Selain emas, perak, batu-batu mulia seperti berlian, dan lainnya, wanita dibolehkan pula memakai perhiasan dari mutiara (al-lu’lu’). Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمِن كُلّٖ تَأۡكُلُونَ لَحۡمٗا طَرِيّٗا وَتَسۡتَخۡرِجُونَ حِلۡيَةٗ تَلۡبَسُونَهَاۖ
“Dan dari setiap laut itu (yang airnya tawar ataupun yang asin), kalian dapat memakan daging yang segar dan kalian dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kalian pakai.” (Fathir: 12)
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Tidak ada perhiasan yang dikeluarkan dari laut selain mutiara. Jadi, dari ayat al-Qur’an di atas, ada penetapan halalnya mutiara ini bagi lelaki maupun wanita.” (al-Muhalla, 9/246)
Di Jari Mana Cincin Diletakkan?
‘Ali radhiallahu ‘anhu berkata,
نَهاَنِي رَسُوْلُ اللهِ أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ. قَالَ: فَأَوْمَأَ إلىَ الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِيْهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangku memakai cincin di jariku ini atau yang ini”, sambil mengisyaratkan jari tengah dan jari setelahnya (jari telunjuk). (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5874 dan Muslim no. 2078)
Larangan yang disebutkan dalam hadits ‘Ali di atas hanya berlaku bagi laki-laki dan tidak bagi wanita. Karena itu, al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Kaum muslimin sepakat, sunnah bagi laki-laki mengenakan cincin di jari kelingkingnya[1], sedangkan wanita boleh memakai cincin di jari mana pun.” (Syarah Shahih Muslim, 14/71)
Melubangi Daun Telinga
Tentang kebolehan wanita melubangi daun telinganya untuk menggantungkan anting-anting diperselisihkan oleh ulama. Dalam ash-Shahihain disebutkan, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan para wanita untuk bersedekah, ada di antara mereka yang menyedekahkan anting-antingnya[2].
Hadits ini cukuplah sebagai dalil tentang bolehnya wanita memakai anting-anting. Al-Imam Ibnu Qayim al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Dibolehkan melubangi daun telinga anak perempuan dalam rangka berhias, demikian dinyatakan oleh al-Imam Ahmad rahimahullah. Adapun untuk anak laki-laki beliau membencinya. Perbedaan keduanya, perempuan membutuhkan perhiasan sehingga ada kemaslahatan melubangi daun telinganya. Berbeda halnya dengan anak laki-laki.”
Beliau juga menyatakan, jika ada yang berkata bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang Iblis, musuh-Nya, yang pernah menyatakan,
وَلَأٓمُرَنَّهُمۡ فَلَيُبَتِّكُنَّ ءَاذَانَ ٱلۡأَنۡعَٰمِ
“Sungguh aku akan memerintahkan mereka hingga mereka benar-benar akan memotong telinga-telinga hewan ternak mereka.” (an-Nisa: 119)
Ini menunjukkan bahwa memotong telinga, membelah, dan melubanginya adalah perintah setan.
Dijawab, qiyas ini termasuk qiyas yang paling rusak. Sebab, mereka yang diperintah oleh setan untuk memotong telinga hewan mereka dengan ketentuan apabila seekor unta betina telah beranak sebanyak lima kali, kemudian bunting lagi untuk ke-6 kalinya dan ternyata yang lahir adalah jantan, mereka pun membelah telinga unta betina tersebut. Mereka juga mengharamkan unta tersebut ditunggangi dan diambil manfaatnya, tidak boleh dihalau dari sumber air yang sedang diminumnya, tidak pula dari tanaman. Mereka mengistilahkannya dengan bahirah.
Setan mensyariatkan untuk mereka sebuah syariat dari sisinya. Jika demikian, bagaimana bisa dibandingkan dengan perbuatan melubangi daun telinga anak perempuan untuk diletakkan perhiasan yang dibolehkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala? Adapun melubangi telinga anak laki-laki, tidak ada kemaslahatan padanya, baik dari sisi agama maupun dunia. Karena itu, tidaklah diperkenankan.” (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, hlm. 178—179)
Minyak Wangi
Wangi yang semerbak memberi nuansa tersendiri, melapangkan dada, dan menyenangkan hati. Jadi, wajar apabila setiap insan menyukainya, termasuk Rasul kita yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا النِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَ قُرَّةُ عَيْنِيْ فِي الصَّلاَةِ
“Wanita dan minyak wangi dijadikan sebagai kecintaanku dari dunia ini, dan shalat dijadikan sebagai penyejuk mataku.” (HR. Ahmad, 3/128, dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, 1/82)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak pernah menolak apabila diberikan wewangian. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5929)
Beliau menyatakan kepada sahabatnya,
مَنْ عُرِضَ عَلَيْهِ رَيْحَانٌ فَلاَ يَرُدَّهُ فَإِنَّهُ خَفِيْفُ الْمَحْمَلِ طَيِّبُ الرِّيْحِ
“Siapa yang ditawari raihan (minyak wangi) maka janganlah ia menolak, karena raihan ini ringan dibawa dan aromanya wangi.” (Sahih, HR. Muslim no. 2253)
Hadits ini menunjukkan makruhnya menolak tawaran minyak wangi, kecuali apabila seseorang memiliki uzur sehingga terpaksa menolaknya. Demikian yang dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi rahimahullah. (Syarah Shahih Muslim, 15/10)
Seorang sahabat dari kalangan Anshar mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ: الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَيَمُسُّ مِنْ طِيْبٍ إِنْ وَجَدَ
“Tiga hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim, yaitu mandi pada hari Jum’at, bersiwak, dan menyentuh (memakai) winyak wangi jika mendapatkannya.” (HR. Ahmad 4/34, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al–Jami’ush Shahih, 4/309)
Seorang wanita juga disukai untuk selalu menebarkan keharuman dari tubuhnya di hadapan sang suami. Karena itu, sepantasnya ia selalu memakai minyak wangi atau wewangian lain semisalnya yang diperkenankan.
Adapun perbedaan antara minyak wangi laki-laki dan minyak wangi wanita, disebutkan beritanya dari Anas radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
إِنَّ طِيْبَ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيْحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَطِيْبَ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيْحُهُ
“Minyak wangi laki-laki adalah yang tercium jelas baunya dan tidak tampak (samar) warnanya. Adapun minyak wangi wanita adalah yang tampak warnanya dan tersembunyi baunya.” (HR. al-Bazzar dalam Kasyful Astar, 3/376, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 4/308)
Al-Munawi rahimahullah berkata dalam Faidhul Qadir (3/284), “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَطِيْبَ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيْحُهُ
‘Adapun minyak wangi wanita adalah yang tampak warnanya dan tersembunyi baunya’, maksudnya, tampak warnanya dan tersembunyi baunya dari laki-laki yang bukan mahram, seperti za’faran.”
Al-Baghawi rahimahullah dalam Syarhus Sunnah berkata, “Sa’d menyatakan, ‘Aku berpandangan, mereka membawa pengertian sabda Nabi طِيْبَ النِّسَاءِ ‘minyak wangi wanita’ ini apabila si wanita hendak keluar rumah. Adapun apabila ia berada di sisi suaminya, ia boleh memakai minyak wangi/wewangian apa saja yang dia inginkan.”
Dalam syariat yang mulia ini, wanita diharamkan tercium wanginya oleh laki-laki selain mahramnya. Bahkan, wanita yang memakai wewangian kemudian sengaja melewati sekelompok lelaki yang bukan mahramnya dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai wanita pezina.
كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ، وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا
“Setiap mata itu berzina[3]. Apabila seorang wanita memakai wewangian kemudian ia melewati majelis laki-laki (yang bukan mahramnya), wanita itu begini dan begitu.” (HR. at-Tirmidzi no. 2937, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 2237)
Dalam riwayat Ahmad (4/414) disebutkan, “Wanita mana saja yang memakai wangi-wangian, kemudian melewati satu kaum agar mereka mencium wanginya, maka wanita itu pezina.” (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muqbil dalam al-Jami’ush Shahih, 4/311)
Mengapa si wanita disebut demikian? Sebab, ia mengobarkan syahwat lelaki dengan aroma harum yang berasal dari wewangian yang dipakainya sehingga mereka terpancing untuk memandangnya. Jika demikian, si lelaki menjadi berzina dengan kedua matanya dan si wanitalah penyebabnya. Maka dari itu, ia berdosa. Demikian kata al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi (8/58).
Karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita yang ingin ikut shalat berjamaah di masjid untuk memakai minyak wangi, sebagaimana sabdanya,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْعِشَاءَ فَلاَ تَطَيَّبْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ
“Apabila salah seorang dari kalian (para wanita) ingin ikut shalat isya berjamaah (di masjid), janganlah memakai minyak wangi pada malam itu.” (Sahih, HR. Muslim no. 443)
Pun beliau melarang wanita yang telanjur memakai wewangian untuk hadir dalam shalat berjamaah di masjid.
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُوْرًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ
“Wanita mana saja yang memakai wewangian, ia tidak boleh menghadiri shalat isya bersama kami.” (Sahih, HR. Muslim no. 444)
Semua aturan yang agung ini ditetapkan untuk menutup pintu kerusakan, agar kaum lelaki tidak tergoda dengan wanita dan sebaliknya.
Demikian apa yang dapat kami susun untuk pembaca, semoga Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya bermanfaat.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein al-Atsariyyah
[1] Anas radhiallahu ‘anhu berkata, “Cincin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau kenakan di jari ini.” Anas memberi isyarat ke jari kelingking kirinya. (Sahih, HR. Muslim no. 2095)
Terdapat keterangan tentang mengenakan cincin di jari kanan dan jari kiri dalam dua hadits yang sahih. Fuqaha sepakat tentang bolehnya mengenakan cincin di jari kanan dan jari kiri, dan tidak ada kemakruhan dalam hal ini. Namun, mereka berselisih tentang yang lebih afdal di antara keduanya. Banyak kalangan salaf mengenakan cincin di jari kanan dan banyak pula yang mengenakannya di jari kiri. Yang benar dalam mazhab kami, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, mengenakan cincin di jari kanan lebih utama karena cincin itu perhiasan, dan tangan kanan lebih mulia dan lebih pantas untuk diberi perhiasan serta dimuliakan. (Syarah Shahih Muslim, 14/71—73)
[2] Sebagaimana hadits yang telah lewat penyebutannya.
[3] Maksudnya, setiap mata lelaki yang memandang wanita yang bukan mahramnya dengan syahwat maka mata itu berzina. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/58)