DICARI: Suami Ideal

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

Banyak suami yang merasa telah berperan besar dengan mencari nafkah, lalu merasa mendapat pembenaran untuk tidak mau tahu dengan urusan rumah. Mengurus anak, pekerjaan rumah tangga, hingga hal-hal yang lebih kecil dari itu, seperti “wajib” dibebankan pada istri semata.

Itulah salah satu “egoisme” suami yang banyak kita jumpai dalam kehidupan rumah tangga saat ini. Terlihat sepele, namun sejatinya cukup menggerogoti harmonisasi dalam keluarga. Apalagi bara  egoisme itu terus disulut dengan sikap suami yang lebih senang menuruti kesenangan pribadi:  menonton sepak bola, memancing, main game, internetan, nongkrong bersama teman-temannya,  atau malah terlampau asyik dengan pekerjaan kantornya. Alih-alih bicara kepedulian, waktu pun  seperti tiada untuk keluarga.

Patut disadari, suami dengan segala karakternya, jelas dominan memberi warna dalam rumah  tangganya, karena ia adalah kepala rumah tangga. Pada dirinya kepemimpinan itu berada, pada  dirinya keteladanan harus ditampakkan, dan di pundaknya tugas mencari nafkah itu dibebankan. Dengan sederet tanggung jawab yang besar itu, rumah tangga jelas membutuhkan karakter suami  yang bisa memimpin, membimbing, tegas, cepat dan tepat dalam mengambil keputusan, bisa memberi teladan, tidak pantang menyerah, ulet dalam bekerja dan mencari nafkah, dan sebagainya. Sudahkah ini semua dimiliki seorang suami?

Pada kenyataannya, kita justru menjumpai yang sebaliknya. Banyak suami yang tidak punya visi  dalam berumah tangga, hingga terkesan nekat ketika memasuki gerbang pernikahan. Usaha/pekerjaan apa yang akan ditekuni, akan tinggal di mana setelah berumah tangga, seperti  jauh  dari rencana. Ada suami yang masih tinggal jadi satu dengan orang tua dalam keadaan belum punya pekerjaan, justru merasa nyaman-nyaman saja padahal segala kebutuhan rumah tangganya  masih di-support orang tuanya. Galibnya, sebagai kepala rumah tangga, ia dituntut untuk menafkahi  keluarganya, tidak berlindung di balik kata tawakal untuk menutupi kemalasan dan  keputusasaannya.

Parahnya, dalam keadaan yang serba kekurangan ini banyak suami yang justru emosional. Menuruti  emosi, ancaman cerai sedikit-sedikit ditebar. Seolah-olah cerai itu adalah perkara remeh yang tidak punya konsekuensi apa pun. Seakan-akan dengan ancaman cerai dia telah menjadi  laki-laki sejati, superior, dan membuat wanita tak berdaya. Bahkan, ada yang menjadi ringan tangan  demi menutupi “kegagalannya”.

Ada pula yang sebaliknya. Suami dikaruniai rezeki yang luas, namun dia justru pelit memberi nafkah kepada keluarganya. Bahkan, dia menyalahgunakan kepercayaan istri untuk bermaksiat di luar  rumah, berfoya-foya hingga selingkuh. Ada juga tipe suami yang tertutup, tidak mau terbuka kepada istrinya, dari soal pekerjaan atau penghasilannya, lebih-lebih uangnya ke mana saja dibelanjakan.

Padahal istri butuh tipe suami yang terbuka, mau mendengarkan dan mengajaknya bermusyawarah, perhatian, tidak otoriter, dan tidak selalu merasa benar sendiri. Akan tetapi, alih-alih penuh pengertian, sabar, dan pemaaf, banyak suami yang justru tidak mau menganggap, bahkan tidak mau mengingat jasa istri sama sekali.

Itu baru soal karakter. Pertengkaran rumah tangga yang bisa berujung perceraian juga tidak jarang dipicu dari kebiasaan sepele. Seperti suami yang jorok, kurang memerhatikan penampilan, kerapian  rambut atau pakaian, dsb.

Sederet sifat atau kebiasaan jelek suami bisa jadi akan panjang dibeberkan di sini. Intinya, sebisa  mungkin kita menghindari hal-hal yang bisa menyuntikkan kebencian dalam rumah tangga.  Menjadi ideal tidak berarti menjadi pribadi yang sempurna, tetapi ini tetap bisa diupayakan selama  kita mau berusaha, insya Allah.

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh.