Fathimah bintu Rasulillah

Siapa yang tak mengenal namanya, sekuntum bunga di tengah Bani Hasyim. Tumbuh di taman yang sarat cahaya kenabian, disunting pemuda yang memiliki kemuliaan. Tebaran ilmunya menghiasi sejarah perjalanan manusia.

Dialah putri seorang nabi, yang terlahir bertepatan saat kaum Quraisy membangun kembali bangunan Ka’bah. Fathimah bintu Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim al-Hasyimiyah radhiallahu ‘anha. Ibunya seorang wanita yang tak asing lagi kemuliaannya, Khadijah bintu Khuwailid radhiallahu ‘anha. Dia lahir menjelang diangkatnya sang ayah sebagai nabi.

Dia tumbuh di bawah naungan ayah bundanya. Dia teramat dicintai dan dimuliakan oleh ayahnya. Berangkat dewasa hingga memasuki 15 tahun usianya. Kala itu, datang seorang pemuda ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan sebuah hasrat memetiknya.

Bertanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadanya, “Apa yang engkau miliki sebagai mahar?”

“Aku tidak memiliki sesuatu pun,” jawab pemuda itu.

“Di mana baju besi yang pernah kuberikan padamu?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi.

“Masih ada padaku,” jawabnya. “Berikan itu kepadanya,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dengan mahar itulah, empat bulan setelah berpengantin dengan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan sang pemuda, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dengan putrinya, Fathimah radhiallahu ‘anha. Saat itu, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berusia 21 tahun 5 bulan sementara Fathimah menginjak 15 tahun 5,5 bulan usianya. Sebelum itu, Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu pernah pula berniat meminang Fathimah radhiallahu ‘anha, begitu pun ‘Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak menyambut pinangan mereka berdua dan menolaknya dengan halus.

Mempelai pengantin mulia yang begitu bersahaja. Tak ada pada mereka selain hamparan dari kulit dan bantal kulit yang berisi sabut. Berjalan seiring dalam rumah tangga yang begitu bersahaja. Mengambil air, menggiling tepung, mereka lakukan dengan kedua tangan mereka sendiri, hingga suatu saat mereka rasakan beratnya. Dada ‘Ali terasa sakit, tangan Fathimah melepuh karenanya. ‘Ali pun mengusulkan untuk meminta seorang pembantu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu Allah subhanahu wa ta’ala karuniai para tawanan.

Fathimah radhiallahu ‘anha datang kepada ayahnya. “Apa yang menyebabkanmu datang kemari, putriku?” tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu.

Rasa malu menyelimuti Fathimah untuk mengutarakan maksudnya meminta seorang pembantu. Akhirnya dia hanya berucap, “Aku datang hanya untuk mengucapkan salam kepadamu.” Pulanglah ia kepada suaminya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya ‘Ali. “Aku merasa malu untuk meminta kepadanya,” jawab Fathimah. Lalu mereka berdua datang bersama ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan keinginan mereka.

Namun ternyata beliau menolaknya. “Demi Allah, aku tidak akan memberikannya pada kalian berdua sementara aku biarkan ahlus shuffah kelaparan karena aku tidak memiliki apa pun untuk kuinfakkan pada mereka. Aku akan menjual para tawanan itu dan menginfakkan hasilnya untuk mereka.” Kembalilah mereka berdua tanpa membawa apa yang mereka harapkan.

Saat mereka berbaring di tempat tidur, berselimut dengan selimut yang bila ditutupkan ke kepala terbuka kaki mereka, bila ditutupkan ke kaki terbukalah kepala mereka. Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang. Mereka berdua pun bergegas bangkit.

“Tetaplah di tempat kalian!” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau berkata lagi, “Maukah kuberitahukan kepada kalian sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Apabila kalian mulai berbaring di pembaringan kalian, bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali.”

Betapa sang ayah yang mulia ini teramat mengasihi dan memuliakan putrinya. Bila sang putri datang, biasa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan selamat datang padanya, menyambut dan menciumnya, lalu menggamit dan membimbing tangannya untuk didudukkan di tempat duduknya.

Pun demikian sang putri memuliakan ayahnya. Bila sang ayah datang padanya, segera diucapkannya selamat datang kepadanya, seraya berdiri menyambut, menggamit tangannya dan mencium sang ayah.

Duhai, kasih sayang yang kan terbaca setiap orang yang menyaksikannya. Suatu ketika, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berniat meminang putri Abu Jahl. Mendengar berita itu, Fathimah radhiallahu ‘anha datang mengadu kepada ayahnya. Naiklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar.

Setelah bertasyahud, beliau berkata, “Tidaklah aku mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram. Sesungguhnya Fathimah adalah darah dagingku, merisaukanku apa pun yang merisaukannya, dan menyakitkan aku apa yang menyakitkannya.”

Beliau berkata pula, “Tidak akan berkumpul putri Nabi Allah dengan putri musuh Allah subhanahu wa ta’ala di bawah seorang pria selama-lamanya.” Mendengar itu pun, Ali radhiallahu ‘anhu membatalkan pinangannya.

Dia pulalah yang mendapatkan kemuliaan di antara keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendengar kabar dekatnya ajal beliau. Ketika beliau sakit menjelang wafat, Fathimah radhiallahu ‘anha datang menemui. Sang ayah menyambutnya dengan ucapan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis.

Kemudian beliau berbisik lagi padanya, lalu Fathimah pun tertawa. Betapa pemandangan itu mengherankan para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai-sampai ‘Aisyah bertanya padanya, “Apa yang beliau katakan padamu?”

“Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,” jawab Fathimah.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Fathimah radhiallahu ‘anha pun menyampaikan jawabannya, “Waktu itu beliau membisikkan padaku, ‘Sesungguhnya aku hendak meninggal’. Mendengar itu, aku pun menangis. Lalu beliau berbisik lagi, ‘Sesungguhnya engkau adalah orang pertama di antara keluargaku yang akan menyusulku’.  Hal itu membuatku gembira.”

Sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Fathimah menemui Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu untuk meminta bagian warisannya. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu pun mengatakan kepadanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Kami tidak mewariskan. Segala yang kami tinggalkan adalah sedekah’.”

Marahlah Fathimah kepada Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu dengan jawaban itu. Kemarahan itu terus tersisa hingga menjelang Fathimah radhiallahu ‘anha wafat.

Benarlah apa yang dikabarkan oleh lisan mulia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sekitar enam bulan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Fathimah radhiallahu ‘anha menyusul sang ayah menghadap kepada Rabbnya ‘azza wa jalla.

Ketika Fathimah radhiallahu ‘anha tengah sakit menjelang wafatnya, Abu Bakr radhiallahu ‘anhu datang, meminta izin untuk menemui Fathimah. Pada saat itu Abu Bakr radhiallahu ‘anhu meminta kelapangan Fathimah radhiallahu ‘anha untuk memaafkan apa yang telah terjadi antara dirinya dengan Fathimah. Fathimah pun melapangkan hati memberikan maaf dan ridha kepada Abu Bakr radhiallahu ‘anhu.

Tak lama berselang, pada bulan Ramadhan tahun kesebelas setelah hijrah, Fathimah radhiallahu ‘anha, kembali ke hadapan Rabbnya pada usianya yang ke-29. Jauh sebelum meninggal, Fathimah pernah berpesan pada Asma’ bintu ‘Umais radhiallahu ‘anha, agar tak seorang pun masuk untuk memandikan jenazahnya kecuali suaminya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan Asma’. Demikianlah, Asma’ bintu ‘Umais radhiallahu ‘anha menunaikan pesan Fathimah.

Datanglah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha untuk turut memandikannya, namun Asma’ melarangnya hingga ‘Aisyah mengadu kepada ayahnya. Abu Bakr radhiallahu ‘anhu pun datang dan berdiri di pintu sembari menanyakan peristiwa itu kepada Asma’.

“Dahulu Fathimah menyuruhku demikian,” ucap Asma’.

“Jika demikian, lakukan apa yang dia perintahkan,” jawab Abu Bakr, lalu beranjak pergi.

Fathimah diusung dengan keranda yang dibuat oleh Asma’ bintu ‘Umais radhiallahu ‘anha. Jenazahnya dibawa turun ke kuburnya oleh ‘Ali bin Abi Thalib, al-’Abbas bin ‘Abdil Muththalib, dan al-Fadhl bin al-‘Abbas radhiallahu ‘anhum. Malam itu, Fathimah radhiallahu ‘anha dikuburkan oleh suaminya, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Fathimah radhiallahu ‘anha telah tiada. Namun dia tinggalkan ilmu yang diambilnya dari sang ayah kepada beberapa sahabat; putranya al-Hasan bin ‘Ali, ‘Aisyah, Ummu Salamah, Anas bin Malik, dan yang lainnya radhiallahu ‘anhum. Dialah yang mendapatkan janji dari lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia, sebagai pemimpin para wanita kaum mukminin di surga.

Fathimah bintu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam , semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhainya….

 

Ditulis oleh Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran

 

Sumber Bacaan:

  • al-Isti’ab, al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/18931899)
  • ath-Thabaqatul Kubra, al-Imam Ibnu Sa’ad (8/1929)
  • Siyar A’lamin Nubala’, al-Imam adz-Dzahabi (2/118134)