Hukum Ruju’ dan Tata Caranya

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)

Hukum Rujuk
Rujuk adalah hak mutlak suami di masa ‘iddah wanita yang ditalak raj’i. Hak mutlak artinya tanpa syarat kerelaan istri untuk dirujuk.
Dalilnya adalah:
1. Firman Allah l:
“Dan suami-suaminya lebih berhak merujuknya dalam masa ‘iddah itu, jika mereka (para suami) menghendaki perbaikan.” (al-Baqarah: 228)
2. Firman Allah l:
“Apabila kalian menalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (al-Baqarah: 231)
3. Hadits ‘Umar z:
أَنَّ النَّبِيَّ n طَلَّقَ حَفْصَةَ، ثُمَّ رَاجَعَهَا.
“Nabi n menalak Hafshah, kemudian merujuknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Hakim, dan lainnya. Al-Hakim mensahihkannya menurut syarat al-Bukhari-Muslim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, serta disahihkan oleh al-Albani dan al-Wadi’i)1
4. Hadits Ibnu ‘Umar c ketika menalak istrinya, dan Rasulullah n bersabda kepada ‘Umar z:
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا
“Perintahkan kepadanya agar merujuk istrinya.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Para ulama sepakat bahwa lelaki yang merdeka jika menalak istrinya yang merupakan wanita merdeka setelah menggaulinya dengan talak satu atau talak dua, dia lebih berhak merujuknya (di masa ‘iddah) walaupun istrinya tidak suka dirujuki. Jika dia tidak merujuknya sampai masa ‘iddahnya berakhir, wanita itu bukan lagi istrinya dan tidak halal lagi untuknya kecuali dengan akad nikah yang baru.”
Ijma’ ini juga telah dinukil oleh Ibnu Qudamah dan Ibnul Mundzir.
Jadi, hak rujuk bagi suaminya berlaku meskipun istrinya tidak rela dirujuki. Artinya, kerelaan istri bukan syarat sahnya rujuk. Ini berdasarkan keumuman dalil-dalil di atas yang tidak mempersyaratkannya.
Hal itu karena wanita yang ditalak raj’i masih berlaku atasnya hukum-hukum istri—kecuali hukum pembagian jatah gilir dalam kehidupan poligami. Lagi pula, rujuk sifatnya mempertahankan kedudukannya sebagai istri dan ini lebih kuat daripada pernikahan baru, sehingga tidak dipersyaratkan adanya kerelaan istri. Karena kerelaan istri bukan syarat sahnya rujuk, maka tidak dipersyaratkan pula bahwa istrinya mengetahui saat dirujuki.

Tata Cara Rujuk
Merujuki istri yang ditalak haruslah ditempuh dengan tata cara yang syar’i, baik dalam hal niat maupun prosesnya.

1. Niat rujuk
Dalam merujuk istri harus dengan niat untuk memperbaiki kembali hubungan yang retak, sehingga rujuk diharamkan dengan niat untuk memudaratkannya. Ini berdasarkan dua ayat yang telah disebutkan di atas (al-Baqarah ayat 228 dan 231).
Akan tetapi, terdapat silang pendapat di antara ulama apakah niat untuk perbaikan merupakan syarat sahnya rujuk atau tidak.
1. Yang masyhur dalam mazhab Hanbali, hal itu bukan syarat sahnya rujuk, walaupun pelakunya berdosa bila bertujuan untuk memudaratkannya.
2. Yang dipilih Ibnu Taimiyah, ash-Shan’ani, dan Ibnu ‘Utsaimin, hal itu adalah syarat sahnya rujuk.
Niatnya akan tampak jika seseorang menalak istrinya, kemudian ketika di pertengahan haid ketiga ia pun merujuknya untuk memperpanjang ‘iddahnya. Setelah itu, ia bermaksud menalaknya lagi dan melakukan hal yang sama sampai talak yang ketiga jatuh, agar ‘iddahnya yang dijalaninya panjang. Dengan cara ini, ‘iddahnya jadi sembilan haid.

2. Proses rujuk
Proses rujuk terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut.
a. Ucapan, menurut kesepakatan ulama.
Yang benar, rujuk sah dengan setiap lafadz yang menunjukkan makna rujuk disertai niatnya. Sebab, yang diperhitungkan pada suatu lafadz adalah maknanya. Contohnya:
– “Aku telah merujuk istriku.”
– “Aku telah mengembalikan istriku ke sisiku.”
– “Aku telah menginginkan istriku lagi.”

b. Menggaulinya disertai niat rujuk, menurut pendapat yang benar.
Ini adalah pendapat Malik dan salah satu riwayat dari Ahmad, yang dirajihkan Ibnu Taimiyah, asy-Syaukani, as-Sa’di, dan Ibnu ‘Utsaimin. Keumuman dalil-dalil yang ada meliputi rujuk dengan ucapan dan rujuk dengan perbuatan (senggama disertai niat rujuk).
Berdasarkan hal ini, haram menggaulinya tanpa niat rujuk, sebab hakikat rujuk adalah mengembalikan istri yang ditalak ke posisi semula sebagai istri yang tidak ditalak, sementara hal ini tidak tercapai dengan sekadar menggaulinya.
Lebih-lebih dalam hal menggauli wanita, ini bisa dilakukan pula oleh pezina yang menggauli wanita lain. Suami yang menalaknya ini mungkin saja dikuasai oleh syahwat, atau dia melihatnya dalam keadaan berdandan sehingga tidak mampu menahan diri untuk menggaulinya, kemudian dia menggaulinya dalam keadaan tidak ingin merujuknya sama sekali. Oleh karena itu, menggaulinya tidak sah sebagai rujuk tanpa diniatkan.

Tampaklah dengan ini kelemahan pendapat lainnya yang masyhur pada mazhab Hanbali bahwa rujuk terjadi dengan sekadar menggaulinya tanpa niat rujuk.
Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 Lihat kitab al-Irwa’ no. 2077 dan al-Jami’ ash-Shahih (3/98). Hadits ini memiliki syawahid (penguat-penguat).