Hukum Khulu’

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini)

Syariat Khulu’ dan Hikmahnya
Terdapat dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah tentang disyariatkannya khulu’, di antaranya adalah:
1. Firman Allah l:
“Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)

2. Hadits Ibnu ‘Abbas c:
جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ n فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ إِلاَّ أَنِّي أَخَافُ الْكُفْر (إِنِّي لاَ أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ وَلَكِنِّي لاَ أُطِيقُه). فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ. فَرَدَّتْ عَلَيْهِ، وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا.
Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi n dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku takut kekufuran.” (Pada riwayat lain, “Sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama dan akhlaknya, tetapi aku tidak sanggup bersamanya.”)
Nabi n bersabda kepadanya, “Apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya?”
Ia menjawab, “Ya.”
Ia lalu mengembalikan kebunnya kepada Tsabit dan Nabi n pun memerintahkan Tsabit memisahnya. Dia pun memisahnya.” (HR. al-Bukhari dan lainnya)
Kekufuran yang dimaksud dalam hadits ini adalah kufur (durhaka) terhadap suami, yaitu tidak mensyukuri kebaikannya dengan menaati dan menunaikan haknya, tetapi ingkar terhadapnya dengan melalaikan hak-haknya.

Kedua dalil di atas menunjukkan bahwa hikmah disyariatkannya khulu’ adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum-hukum Allah l dalam kehidupan suami istri akibat kebencian seorang istri terhadap akhlak, agama (amalan), ataupun fisik suami.

Masalah: Kekhawatiran akan terjadinya pelanggaran hukum-hukum Allah l dalam kehidupan suami istri akibat kebencian seorang istri terhadap akhlak, agama (amalan), atau fisik suami, sudah cukup menjadi alasan meminta khulu’.
Tidak dipersyaratkan harus terjadinya nusyuz (kedurhakaan istri kepada suami) atau perlakuan suami yang tidak baik (tidak memberi hak istri) sebagai alasan yang membolehkan meminta khulu’. Inilah pendapat jumhur dan yang dipilih oleh asy-Syaukani dalam as-Sail al-Jarrar.

Masalah: Yang tampak dari ayat di atas, khulu’ tidak boleh dilakukan kecuali jika ada kekhawatiran pada keduanya (suami dan istri)
Artinya, si istri khawatir tidak dapat menaati suaminya sebagaimana mestinya dan suaminya pun khawatir tidak dapat berlaku baik kepada istrinya. Namun, hadits Ibnu ‘Abbas c menunjukkan bahwa adanya kekhawatiran dari pihak istri saja cukup sebagai alasan dibolehkannya khulu’. Jadi, tidak dipersyaratkan harus ada kekhawatiran dari kedua belah pihak. Wallahu a’lam.

Hukum Istri Meminta Khulu’ dan Hukum Suami Menanggapinya
Khulu’ terkait dengan dua pihak, yaitu pihak istri selaku yang menuntut khulu’ dan pihak suami selaku yang menjatuhkan khulu’. Untuk itu, masalah ini kami urai menjadi dua pembahasan.

1. Hukum istri meminta khulu’
Seluruh ulama sepakat akan bolehnya khulu’, selain pendapat syadz (ganjil) dari Abu Bakr al-Muzani yang memandang tidak boleh dengan klaim bahwa ayat tersebut telah mansukh (dihapus) hukumnya. Pendapat ini gugur secara dalil, karena tidak boleh mengklaim suatu nash telah mansukh (dihapus hukumnya) hanya dengan dugaan tanpa dalil. Di sini, tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu.
Hadits Ibnu ‘Abbas c menunjukkan bahwa istri Tsabit bin Qais meminta khulu’ karena membenci fisik suaminya yang jelek sehingga khawatir durhaka terhadap suaminya karena tidak sanggup hidup bersamanya.
Ucapan istri Tsabit pada hadits tersebut, “Aku tidak mencela Tsabit perihal agama dan akhlaknya” menunjukkan bahwa merupakan hal biasa bagi seorang istri meminta khulu’ jika ia membenci akhlak atau agama (amalan) suaminya yang jelek. Ini diterangkan oleh al-Imam Ibnu ‘Utsaimin dalam Fath Dzil Jalali wal Ikram.
Oleh karena itu, boleh seorang istri meminta khulu’ dari suaminya jika ia membenci akhlak, agama (amalan), atau fisik suaminya, serta khawatir tidak mampu menegakkan hak-hak suaminya yang wajib ditunaikannya ketika hidup bersamanya.
Kelemahan dan kejelekan agama yang dimaksud di sini adalah yang tidak sampai taraf kekafiran. Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam asy-Syarh al-Mumti’, “Kejelekan agama yang dimaksud adalah kejelekan agama yang tidak sampai pada taraf menjadikan pelakunya kafir, seperti suaminya melalaikan shalat jamaah, minum khamr (minuman beralkohol yang memabukkan), merokok, mencukur jenggot, atau semisalnya.”
Abu Thalib (salah seorang ulama mazhab Hanbali) menukil dari al-Imam Ahmad, “Jika seorang istri membenci suaminya sedangkan suaminya mencintainya, saya tidak menyuruhnya meminta khulu’ dan sepatutnya dia bersabar.”
Al-Qadhi membawa nash ucapan al-Imam Ahmad ini kepada hukum mustahab (sunnah), karena al-Imam Ahmad telah membolehkan khulu’ pada beberapa tempat. Artinya, boleh meminta khulu’, tetapi bersabar lebih baik (utama). Bahkan, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih kuatnya hukum makruh meminta khulu’ pada kondisi ini.
Akan tetapi, jika khawatir terkena dampak negatif dari kejelekan agama suami, semakin kuat bolehnya meminta khulu’. Maka dari itu, ketika al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai oleh al-Imam Ibnu Baz ditanya tentang hukum seorang istri minta khulu’ dari suaminya yang peminum khamr, mereka berfatwa—sebagaimana dalam Fatawa al-Lajnah—, “Jika suaminya tidak mau berhenti minum khamr, ia boleh meminta khulu’ darinya agar terhindar dari efek negatif terhadap dirinya dan anak-anaknya.”
Adapun jika kejelekan agama suami sampai pada taraf kekafiran dan tidak bisa lagi dinasihati, ia wajib meminta khulu’ karena haram baginya bersuamikan orang kafir, berdasarkan Al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’.
Ini ditegaskan oleh as-Sa’di, Ibnu ‘Utsaimin, dan al-Lajnah ad-Da’imah yang diketuai Ibnu Baz.
Termasuk di dalamnya jika suami menganut akidah bid’ah yang bertentangan dengan akidah Islam dan membatalkan keislaman, seperti akidah Rafidhah1, akidah hululiyah dan ittihadiyah2, serta akidah Jahmiyah3.
Termasuk pula jika suami tidak melaksanakan shalat wajib lima waktu dan meninggalkannya sama sekali, menurut salah satu pendapat ulama yang menganggapnya kafir (murtad).
Oleh karena itu, Ibnu ‘Utsaimin dan al-Lajnah berfatwa wajibnya seorang istri meminta khulu’ dari suami yang meninggalkan shalat fardhu lima waktu karena mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang meninggalkan shalat wajib lima waktu adalah kafir (murtad).
Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam asy-Syarh al-Mumti’, “Wajib bagi istrinya berpisah darinya dengan segala kemampuan yang dimiliki. Seluruh kaum muslimin berkewajiban membantunya dengan harta (untuk melakukan khulu’).”
Bahkan, as-Sa’di dalam al-Fatawa as-Sa’diyyah berfatwa bahwa istri wajib meminta khulu’ dari suami yang tidak menjaga kesucian dan kehormatan dirinya dengan perzinaan (tidak ‘iffah) jika ia tidak bisa lagi dinasihati. Hal ini kuat, mengingat haramnya menikah dengan pezina, wallahu a’lam.

2. Hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri
Jika istri meminta khulu’ dalam bentuk yang dibolehkan oleh syariat’, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama tentang hukum suami dalam menanggapinya dan mengkhulu’nya.
a. Pendapat yang mengatakan wajib.
Alasannya, inilah yang tampak dari perintah Rasulullah n kepada Tsabit bin Qais. Di samping itu, kebersamaan wanita itu bersama suaminya akan bermudarat terhadapnya, sedangkan mencegah mudarat serta meniadakannya dari seorang muslimah adalah wajib.
Pendapat ini dirajihkan oleh ash-Shan’ani dan al-‘Utsaimin. Berdasarkan hal ini, hakim berwenang memaksanya agar mengkhulu’ istrinya jika dia enggan.
b. Pendapat yang mengatakan tidak wajib.
Alasannya, perintah Rasulullah n kepada Tsabit adalah arahan semata, bukan perintah wajib. Berdasarkan hal ini, hakim hanya sekadar memberi arahan dan menasihatinya. Jika dia menyambut, itulah yang diinginkan. Jika dia enggan, dibiarkan saja.
Tampaknya pendapat pertama lebih kuat, wallahu a’lam.
Adapun jika dikhawatirkan wanita itu akan nekat bunuh diri, nekat mencelakai orang lain, atau bentuk kenekatan lainnya yang bisa saja terjadi akibat sakit hati yang dideritanya bersama suami yang dibencinya, tidak diragukan lagi bahwa wajib atas suaminya menyambut permintaan khulu’nya dan memisahkannya. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu ‘Utsaimin.

Besar Kecilnya Tebusan
Jumhur (mayoritas) ulama serta empat imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i, dan Ahmad) berpendapat boleh bagi si suami mengambil tebusan lebih besar dari mahar yang telah dia berikan kepada istrinya. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan, Ibnu ‘Umar, dan Ibnu ‘Abbas g.
Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫﯬ
“Tidak ada dosa atas keduanya akan bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (al-Baqarah: 229)
Kata مَا ( ma’) pada ayat tersebut adalah isim maushul yang berfungsi secara bahasa untuk menunjukkan makna yang umum. Ini berarti secara umum meliputi seluruh jenis tebusan, ragam, nilai, dan tata cara pembayarannya.
Akan tetapi, jumhur berbeda pendapat tentang makruh atau tidaknya. Masalahnya, datang riwayat tambahan pada hadits Ibnu ‘Abbas c dengan lafadz:
أَنَّ جَمِيلَةَ بِنْتَ سَلُولَ أَتَتْ النَّبِيَّ n فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ, وَلَكِنِّي أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِي الْإِسْلاَمِ لاَ أُطِيقُهُ بُغْضًا. فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ n: أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. فَأَمَرَهُ رَسُولُ اللَّهِ n أَنْ يَأْخُذَ مِنْهَا حَدِيقَتَهُ وَلاَ يَزْدَادَ.
“Jamilah bintu Salul telah mendatangi Nabi n lantas berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mencela Tsabit atas agama dan akhlaknya, tetapi aku benci kekufuran dalam Islam karena aku tidak sanggup menahan kebencianku kepadanya.’ Nabi n pun bersabda kepadanya, ‘Apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Maka Nabi n memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebunnya dari wanita itu dan tidak mengambil lebih dari itu.” (HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi)
Riwayat ini dihukumi sahih oleh al-Albani.4
Terdapat pula penguat yang semakna dengannya dari riwayat mursal ‘Atha’ dari Rasulullah n yang dikeluarkan oleh al-Baihaqi dan mursal Abi Zubair dari Rasulullah n yang dikeluarkan ad-Daraquthni.5
Adapun riwayat mursal Abu Zubair lafadznya sebagai berikut.
فَقَالَ النَّبِيُّ n: أَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ الَّتِيْ أَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعْمْ، وَزِيَادَةً. فَقَالَ النَّبِيُّ n:

أَمَّا الزِّيّادَةُ فَلاَ، وَلَكِنْ حَدِيْقَتَهُ. قَالَتْ: نَعَمْ.
“Nabi n berkata, ‘Apakah kamu sanggup mengembalikan kebunnya yang telah diberikannya kepadamu?’ Ia menjawab, ‘Ya, bahkan kuberi tambahan.’ Nabi n berkata, ‘Adapun tambahannya tidak usah, tetapi kembalikan kebunnya saja.’ Ia menjawab, ‘Ya’.”
Ibnul Qayyim t juga menguatkan hadits ini.
Oleh karena itu, Ahmad berpendapat hal itu boleh tetapi makruh, berdasarkan perpaduan makna ayat dan hadits tersebut. Ini dirajihkan oleh Ibnul Qayyim dan Ibnu ‘Utsaimin.
Sementara itu, asy-Syafi’i, Malik, dan Abu Hanifah rahimahumullah berpendapat tidak makruh dengan alasan hadits tersebut lemah. Seandainya hadits tersebut tsabit (tetap), larangan Nabi n itu kemungkinannya sebagai saran dan bimbingan saja kepadanya agar tidak menyusahkan diri dengan memberi lebih dari maharnya. Meskipun begitu, al-Imam Malik t mengatakan bahwa hal itu bertentangan dengan keluhuran akhlak.
Sepertinya, yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan makruh, wallahu a’lam.6

 

Catatan Kaki:

1 Rafidhahnya Khumaini (Khomeini) yang sesat dan kafir, tokoh Syiah Rafidhah Iran. Lihat pembahasan tentang Syiah Rafidhah pada Rubrik Manhaji edisi 05.
2 Keduanya adalah aliran ekstrem kaum Sufi. Hululiyah dipelopori oleh al-Husain al-Hallaj. Adapun ittihadiyah (paham wihdatul wujud) oleh Ibnu Arabi yang sesat dan kafir.
3 Akidah Jahm bin Shafwan yang sesat dan kafir.

4 Lihat kitab Shahih Ibnu Majah (no. 2086) dan al-Irwa’ (no. 2037).
5 Riwayat mursal adalah riwayat seorang tabi’in (pengikut sahabat) dari Rasulullah n. Riwayat seperti ini tergolong dha’if (lemah) karena putus antara tabi’in tersebut dengan Rasulullah n, tetapi bisa jadi syahid (penguat) dalam penguatan hadits.

6 Ada juga yang berpendapat haram, dan ini yang dirajihkan oleh asy-Syaukani, berdalil dengan hadits tersebut.