Menuju Bukit Thursina
Setelah Allah Subhanahu wata’ala menyempurnakan nikmat-Nya kepada bani Israil dengan menyelamatkan mereka dari musuh mereka dan memberi kekuasaan kepada mereka, Allah Subhanahu wata’ala hendak melengkapi kenikmatan tersebut dengan menurunkan sebuah kitab yang berisi hukum-hukum syariat dan keyakinan yang diridhai.
Allah Subhanahu wata’ala pun menjanjikan kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam tiga puluh malam dan menggenapinya menjadi empat puluh malam. Semua itu agar Nabi Musa ‘Alaihissalam menyiapkan diri untuk menerima janji Allah Subhanahu wata’ala dan supaya turunnya kitab itu menimbulkan kesan dan kerinduan yang luar biasa dalam hati mereka.
Sebelum berangkat, Nabi Musa ‘Alaihissalam berpesan kepada Nabi Harun ‘Alaihissalam agar menggantikannya membimbing bani Israil. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَوَاعَدْنَا مُوسَىٰ ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ۚ وَقَالَ مُوسَىٰ لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ
“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), lalu sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabbnya empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya, yaitu Harun, ‘Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan’.” (al-A’raf: 142)
Sempurnalah waktu yang dijanjikan itu empat puluh hari, dan selama waktu tersebut Nabi Musa ‘Alaihissalam berpuasa siang dan malam. Kemudian, beliau bergegas mendahului kaumnya menuju Bukit Thur dan meninggalkan Nabi Harun ‘Alaihissalam memimpin bani Israil, sementara di situ juga ada Samiri. Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا أَعْجَلَكَ عَن قَوْمِكَ يَا مُوسَىٰ
“Mengapa kamu datang lebih cepat daripada kaummu, hai Musa?” (Thaha: 83)
Mengapa kamu tidak datang bersama kaummu? Nabi Musa berkata (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
قَالَ هُمْ أُولَاءِ عَلَىٰ أَثَرِي وَعَجِلْتُ إِلَيْكَ رَبِّ لِتَرْضَىٰ
“Itulah mereka sedang menyusuli aku dan aku bersegera kepada-Mu. Wahai Rabbku, agar Engkau ridha (kepadaku).” (Thaha: 84)
Sepeninggal Nabi Musa ‘Alaihissalam, bani Israil masih sabar menunggu selama beberapa hari. Sudah hampir sebulan, Nabi Musa ‘Alaihissalam belum juga kembali membawa Taurat yang dijanjikan. Mereka mulai gelisah, kembali mereka menghitung hari. Nabi Harun ‘Alaihissalam yang menggantikan saudaranya memimpin bani Israil berkata kepada bani Israil, “Hai bani Israil, kalian tidak halal memakan rampasan perang (ghanimah), sedangkan perhiasan bangsa Mesir yang kalian bawa adalah ghanimah. Kumpulkanlah dan timbunlah dalam tanah. Kalau Musa datang dan menghalalkannya, ambillah, tetapi kalau tidak, itu adalah sesuatu yang tidak boleh kalian makan.”
Mereka mengumpulkan dan menimbunnya dalam tanah. Datanglah Samiri membawa bekas jejak kaki kuda Jibril lalu melemparkannya ke tumpukan perhiasan tersebut. Dengan izin Allah Subhanahu wata’ala, tumpukan itu menjadi seekor anak lembu yang bersuara. Beberapa hari kemudian, keluarlah anak lembu itu. Begitu melihatnya, Samiri berkata kepada mereka, “Inilah ilah Musa dan kalian, tetapi dia lupa.” Akhirnya, mereka tirakat di sekitar anak lembu itu dan mulai beribadah kepadanya.
Nabi Harun ‘Alaihissalam dengan penuh kasih sayang terus mengingatkan mereka, “Hai kaumku, kalian sedang diuji dengan anak lembu itu. Ingatlah, Rabb kalian adalah Ar-Rahman. Ikutilah aku!” Dengan gigih, tanpa henti, Nabi Harun ‘Alaihissalam bersama mereka yang masih terjaga fitrahnya berusaha menyadarkan kaum mereka. Tetapi, bukannya sadar, mereka bahkan hampir membunuh Nabi Harun ‘Alaihissalam. Mereka menegaskan kepada Nabi Harun (sebagaimana dalam ayat),
قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَىٰ
“Mereka menjawab, ‘Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami’.” (Thaha: 91)
Akhirnya bani Israil terpecah. Sebagian dari mereka mengingkari perbuatan tersebut, yaitu Nabi Harun dan 12.000 orang bani Israil, selebihnya mengikuti Samiri, menari-nari di sekeliling anak lembu tersebut. Sementara itu, Nabi Musa ‘Alaihissalam sudah tiba di tempat yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan.” (al-A’raf: 143)
untuk menurunkan kitab kepadanya,
وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
“dan Rabbnya mengajaknya berbicara (langsung),”
memberikan wahyu, perintah dan larangan. Dalam ayat ini sangat jelas bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam diajak bicara oleh Allah Subhanahu wata’ala, sesampainya beliau di Thursina. Nabi Musa ‘Alaihissalam mendengarnya dari Allah Subhanahu wata’ala, bahkan dalam ayat lain (an-Nisa’ ayat 164), Allah Subhanahu wata’ala mempertegasnya dengan mashdar muakkidah; . تَكْلِيماً Ayat ini membantah keyakinan mu’aththilah yang menolak adanya sifat-sifat Allah Subhanahu wata’ala. Sebagian mereka dengan berani mengubah harakat i’rab dalam firman Allah Subhanahu wata’ala (an-Nisa’ ayat 164) sehingga mengubah maknanya, yang mengajak bicara adalah Nabi Musa ‘Alaihissalam. Bahkan, ada pula di antara mereka yang menemui Abu ‘Amr Ibnul ‘Ala’— salah seorang ahli qiraah sab’ah (tujuh bacaan al-Qur’an)—agar membacanya dengan memfathahkan lafzhul jalalah sehingga menjadi wa kallamallaha Musa takliima (maknanya, Musa mengajak bicara Allah).
Abu ‘Amr menjawab, “Baiklah, anggaplah saya baca seperti yang kau inginkan, lalu bagaimana kau berbuat dengan firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَىٰ لِمِيقَاتِنَا وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan, dan Rabbnya mengajaknya berbicara (langsung),” (al-A’raf: 143)
Seketika, terdiamlah orang Mu’tazilah itu. Sama seperti itu juga, bagaimana pula dia memahami firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى
“Tatkala Rabbnya memanggilnya di lembah suci, Lembah Thuwa.” (an- Nazi’at: 16)
Apakah dia akan menashabkan kata Rabb (memberi harakat fathah) pada kedua ayat yang mulia ini? Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Nabi Musa ‘Alaihissalam mendengar Kalam Allah Subhanahu wata’ala langsung dari Allah Subhanahu wata’ala, bukan dari pohon, batu, atau yang lainnya. Seandainya Nabi Musa ‘Alaihissalam mendengar dari selain Allah Subhanahu wata’ala; dari pohon atau batu, atau yang lainnya, niscaya tidak ada kelebihan dan keutamaan beliau dari nabi yang lain, bahkan dari bani Israil. Mengapa? Karena bani Israil mendengar Kalam Allah Subhanahu wata’ala langsung dari Nabi Musa ‘Alaihissalam; seutama-utama manusia yang mendengar dari Allah Subhanahu wata’ala pada masa itu. Akan tetapi—menurut kaum Mu’tazilah—Nabi Musa ‘Alaihissalam mendengarnya bukan dari Allah Subhanahu wata’ala, melainkan dari pohon!?
Ayat ini menunjukkan pula bahwa Kalam Allah Subhanahu wata’ala itu adalah suara dan huruf, yang sesuai dengan kemuliaan dan kesempurnaan-Nya, bukan makna atau pikiran yang ada di dalam diri Allah Subhanahu wata’ala. Sebab, kalau Kalam Allah Subhanahu wata’ala adalah buah pikiran atau sesuatu yang ada di dalam diri Allah Subhanahu wata’ala, niscaya Nabi Musa ‘Alaihissalam tidak dapat mendengarnya, dan tidak akan digelari Kalimur Rahman.
Ibnu Hajar asy-Syafi’i rahimahullah dalam Syarah Shahih al-Bukhari menegaskan bahwa siapa yang menafikan suara dia harus menerima bahwa itu berarti Allah Subhanahu wata’ala tidak memperdengarkan Kalam- Nya kepada siapa saja, baik malaikat- Nya maupun para rasul-Nya, tetapi mengilhamkan kepada mereka Kalam tersebut.
Dalam bagian lain di kitab itu juga, beliau menegaskan bahwa suara adalah sifat Dzat-Nya, tidak serupa dengan suara makhluk-Nya. Wallahu a’lam.
Kita kembali kepada kisah ini. Setelah mendengar Kalam Allah Subhanahu wata’ala, menerima penghargaan yang demikian tinggi, dipilih oleh Allah Subhanahu wata’ala, Nabiyullah Musa ‘Alaihissalam semakin rindu kepada Allah Subhanahu wata’ala. Akhirnya, beliau berkata (sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala),
رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ
“Wahai Rabbku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.”
Sebuah permintaan yang wajar dan bukan terlarang. Akan tetapi, tentu saja tidak di dunia. Oleh sebab itulah, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالَ لَن تَرَانِي وَلَٰكِنِ انظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
“Allah berfirman, ‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya kamu dapat melihat-Ku’.”
Dengan penuh ketundukan dan harap, Nabi Musa ‘Alaihissalam memandang gunung besar yang ada di dekatnya, apa yang terjadi? Ternyata gunung itu hancur luluh dan Nabi Musa ‘Alaihissalam pingsan. Itulah firman Allah Subhanahu wata’ala,
فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا
“Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan.”
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ
“Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, ‘Mahasuci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku adalah orang yang pertama-tama beriman’.” (al-A’raf: 143)
Setelah itu Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قَالَ يَا مُوسَىٰ إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسَالَاتِي وَبِكَلَامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُن مِّنَ الشَّاكِرِينَ () وَكَتَبْنَا لَهُ فِي الْأَلْوَاحِ مِن كُلِّ شَيْءٍ مَّوْعِظَةً وَتَفْصِيلًا لِّكُلِّ شَيْءٍ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوا بِأَحْسَنِهَا ۚ سَأُرِيكُمْ دَارَ الْفَاسِقِينَ
“Allah berfirman, ‘Hai Musa, sesungguhnya aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalah-Ku dan untuk berbicara langsung dengan-Ku, sebab itu berpegang teguhlah kepada apa yang aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.’ Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu.” (al-A’raf: 144—145)
Allah Subhanahu wata’ala memilih dan mengutamakan beliau dari sekalian manusia pada masa itu, tidak mencakup masa sebelum atau sesudahnya. Hal itu karena sebelum beliau, yang paling utama adalah Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam, sedangkan sesudah beliau adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam,.
Dalam riwayat yang sahih disebutkan bahwa salah satu keistimewaan Taurat adalah dia ditulis sendiri oleh Allah Subhanahu wata’ala dengan kedua Tangan-Nya yang mulia.
Wallahu a’lam.
(Insya Allah bersambung)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Muhammad Harits