(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Kakak memperkosa adik gara-gara sering melihat adegan mesra orang tuanya, memang bukan berita baru lagi. Namun satu hal yang pasti, itu semua jelas membuat kita prihatin. Sudah demikian rusakkah moral anak-anak kita? Atau jangan-jangan kita tidak pernah menyadari, bahwa kita sendiri juga turut “menciptakan” fantasi kotor anak-anak kita, selain tentu saja film atau klip porno melalui VCD atau handphone?
Mendidik dan membesarkan anak tentu penuh liku-liku dan punya seluk-beluk tersendiri. Sehingga, orang tua mesti memiliki andil dalam berbagai sisi kehidupan si anak. Mulai pemeliharaan kesehatan badannya, menanam-kan akidah yang benar, membiasakan akhlak yang mulia, hingga menjaga kebersihan jiwa seorang anak.
Demikianlah Allah I mengajarkan kepada hamba-hamba-Nya, karena Islam adalah agama yang bersih, yang menjaga agar angan-angan, akal, hati dan lisan anak senantiasa dalam keadaan bersih. Di antara sekian banyak hal yang harus dilakukan untuk menjaga kebersihan jiwa seorang anak, ada satu hal yang teramat sering dilupakan orang tua. Padahal permasalahan ini diperintahkan oleh Allah I dalam Kitab-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali, yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menang-galkan pakaian di tengah hari, dan setelah shalat ‘Isya. Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat ini bagi kalian, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha sempurna hikmah-Nya. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nur: 58-59)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah I memerintahkan kaum mukminin agar budak-budak yang mereka miliki dan anak-anak yang belum ihtilam (baligh) meminta izin kepada mereka pada tiga keadaan. Pertama, sebelum shalat subuh, karena pada saat itu orang-orang tengah tidur di pembaringan mereka; kedua, ketika kalian menanggalkan pakaian di tengah hari, yaitu pada waktu tidur siang (qailulah), karena pada saat itu terkadang seseorang menanggalkan pakaiannya bersama istrinya; ketiga, setelah shalat ‘Isya, karena ini adalah waktu tidur. Karena itulah para budak maupun anak-anak diperintahkan agar mereka tidak masuk menemui ahlul bait tanpa izin pada keadaan-keadaan ini. Sebab dikhawatirkan, saat itu seseorang sedang berada dalam posisi di atas istrinya (jima’, red.) atau hal-hal semacam itu. (Tafsir Ibnu Katsir 5/427)
Umumnya, pada waktu-waktu ini sese-orang bersama istrinya tengah menanggalkan pakaiannya, karena ini adalah waktu-waktu jima’. Maka orang tua diperintahkan untuk mengajari anak-anak mereka yang telah mumayyiz yang belum mencapai usia baligh (ihtilam) untuk meminta izin kepada mereka pada waktu-waktu ini. Karena terkadang seorang anak ketika masuk menemui orang tuanya mendapati mereka dalam keadaan yang tidak semestinya dilihat, seperti menanggalkan pakaian, jima’, atau yang lainnya. Kemudian si anak keluar, sementara di benaknya telah tergambar pemandangan yang dilihat dari ibu atau ayahnya hingga mengotori pikirannya. Dia pun berupaya mencari cara untuk memprak-tekkan apa yang dilihatnya. Hingga bisa jadi dia praktekkan dengan tetangga atau teman wanitanya. Bahkan dengan saudara perem-puannya, terutama dalam rumah yang tak terjaga dan yang tempat tidur anak laki-laki dan perempuannya tidak dipisah. Maka sangat mungkin anak laki-laki yang tidur di sisi saudara perempuannya dalam keadaan dia telah melihat pemandangan yang begitu mengge-lorakan dari ayah dan ibunya, kemudian melakukannya bersama saudara perempuan-nya. Sesungguhnya setan sangat menginginkan kerusakan, hingga terkadang setan menuntun-nya menuju kerusakan dan kehinaan bersama saudara perempuannya. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal.148-149)
Pada ketiga keadaan inilah para budak dan anak-anak kecil seperti orang lain, tidak diperkenankan masuk tanpa izin. Adapun pada selain ketiga keadaan ini, Allah I berfir-man: (Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu).
Mereka tidak seperti yang lainnya, karena penghuni rumah itu senantiasa membutuhkan mereka, sehingga sulit bagi mereka bila harus meminta izin pada setiap waktu. Oleh karena itulah, Allah I berfirman: (Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya) Mereka keluar masuk menemui kalian untuk meringankan kesibukan dan menunaikan kebu-tuhan kalian. (Taisirul Karimir Rahman, hal.573-574)
Inilah ayat Allah yang muhkamat dan tidaklah terhapus ayat ini hingga hari ini. Namun sangat disayangkan, perintah yang agung ini banyak dilupakan. Sampai-sampai Abdullah ibnu ‘Abbas c mengatakan:
“Satu ayat yang kebanyakan orang tidak mengimaninya, yaitu ayat tentang izin. Dan sungguh aku memerintahkan budak perempuan-ku ini untuk meminta izin kepadaku.” Abu Dawud berkata: Demikianlah ‘Atha` meriwa-yatkannya dari Ibnu ‘Abbas, bahwa beliau memerintahkan hal ini. (HR .Abu Dawud no. 5191, dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahihul isnad mauquf)
Suatu ketika Ibnu ‘Abbas c pernah ditanya penduduk Iraq, “Wahai Ibnu ‘Abbas, bagaimana pandanganmu tentang ayat yang diperintahkan kepada kami, namun tidak diamalkan oleh seorang pun, yakni firman Allah U:
“Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki dan orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada kalian tiga kali, yaitu sebelum shalat subuh, ketika kalian menanggal-kan pakaian di tengah hari, dan setelah shalat ‘Isya. Itulah tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani kalian, sebagian ada keperluan atas sebagian yang lainnya. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat ini bagi kalian, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha sempurna hikmah-Nya. Dan apabila anak-anak-mu telah sampai umur baligh, maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An Nur: 58-59)
Ibnu ‘Abbas c menjawab:
“Sesungguhnya Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang terhadap kaum mukminin, Dia mencintai tabir. Sementara orang-orang dahulu, rumah-rumah mereka tidak memiliki tabir atau-pun penutup, sehingga terkadang budak, anak atau anak yatimnya masuk dalam keadaan seseorang sedang berada di atas istrinya. Maka Allah memerintahkan untuk meminta izin pada waktu-waktu aurat tersebut. Namun kemudian Allah datangkan pada mereka tabir dan kebaikan, sehingga setelah itu aku tidak melihat seorang pun mengamalkannya.” 1(HR. Abu Dawud no. 5192, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud: hasanul isnad mauquf)
Demikian pula Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari t membawakan riwayat yang sanadnya sampai kepada Asy-Sya’bi t tentang firman Allah: (hendaklah budak laki-laki dan wanita yang kalian miliki meminta izin kepada kalian).
Asy Sya’bi t mengatakan, “Ayat ini tidak dihapus.” Aku (Musa bin Abi ‘Aisyah) pun berkata, “Sesungguhnya orang-orang tidak mengamalkannya.” Beliau menjawab, “Allahul musta’an (hanya Allah-lah yang dimintai pertolongan).” (Tafsir Ath-Thabari 9/346)
Demikianlah satu hal yang tak boleh diremehkan orang tua dalam mendidik anak-anaknya, agar tumbuh dirinya dalam keadaan bersih hingga menuai keberuntungan di dunia dan di akhirat. Selayaknya orang tua memper-hatikan dan menerapkannya dalam keseharian.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1 Disebutkan dalam riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas c:
“Setelah itu Allah mendatangkan tirai dan Allah luaskan rizki untuk mereka, maka merekapun membuat tirai dan penutup. Maka orang-orang memandang bahwa hal itu mencukupi mereka dari isti`dzan yang diperintahkan untuk mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Katsir menyatakan: “Ini adalah sanad yang shahih sampai Ibnu ‘Abbas.”) [Tafsir Ibnu Katsir, 3/315, cetakan Darul Ma’rifah, Beirut)
Abu Bakr Al-Jashshash mengatakan: “Dalam riwayat tersebut, Ibnu ‘Abbas memberitakan bahwa perintah untuk meminta izin dalam ayat ini terkait dengan suatu sebab. Sehingga, ketika sebab itu tidak ada, maka hukum itu pun tidak berlaku. Ini menunjukkan, beliau tidak berpendapat bahwa ayat tersebut mansukh dan bahwa bila sebab yang semacam itu muncul lagi maka hukum itu pun akan berlaku.” (Ahkamul Qur`an, 3/330)
Lihat pula penjelasan yang semakna dalam ‘Aunul Ma’bud (14/99, cetakan Maktabah Ibnu Taimiyyah) dan Tafsir Al-Qurthubi (12/303). -ed