Jangan Mencela Sahabat Nabi

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin)

Tubuh tinggi, kulit putih, dan tampan; itulah sosok Mu’awiyah z, seorang sahabat nan mulia. Dia memeluk Islam sebelum sang ayah, Abu Sufyan bin Harb, berislam. Walaupun untuk itu ia harus menyembunyikan keislamannya hingga Fathu Makkah.
Mu’awiyah z adalah saudara seayah Ummul Mukminin Ummu Habibah Ramlah bintu Abi Sufyan x. Ayahnya (Abu Sufyan) termasuk pemuka Quraisy. Begitu pun ibunya, Hindun bintu Utbah bin Rabi’ah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al-Umawiyah al-Qurasyiyah adalah sosok wanita pejuang di masa jahiliah dan di masa setelah memeluk Islam.
Abu Abdirrahman Mu’awiyah digelari Amirul Mukminin, Malikul Islam. Begitulah sosok Mu’awiyah bin Abi Sufyan Shakhr bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf al-Umawi al-Quraisyi.
Aslam, maula Umar, bercerita, “Mu’awiyah berkunjung ke tempat kami. Dia adalah pria berkulit halus, bertubuh gempal berisi. Dia yang paling gagah dan elok.”
Diungkapkan pula tentang kebagusan fisiknya oleh Abi Abdi Rabb. Katanya, “Saya penah melihat Mu’awiyah memakai semir rambut berwarna kuning, seakan janggutnya adalah emas.”
Ibnu Abi ad-Dunya t menyebutkan, “Sungguh, Mu’awiyah adalah sosok bertubuh jangkung, berkulit putih, dan tampan. Jika tertawa, bergeraklah bibir atasnya. Dia pria bersemir rambut.” (Siyar A’lami an-Nubala’, al-Imam adz-Dzahabi, 3/380)
Mu’awiyah z adalah orang yang pandai menulis, ahli hisab, dan fasih berbahasa. Dia memiliki kecerdasan dan sifat wibawa. Tak mengherankan apabila Khalifah Umar bin Khaththab z menetapkan Mu’awiyah z sebagai penguasa Syam. Mu’awiyah ditunjuk oleh Umar bin Khaththab z sebagai penguasa Syam setelah saudaranya, Yazid bin Abi Sufyan c, meninggal dunia. Penetapan ini terus berlanjut hingga masa kekhalifahan beralih kepada Utsman bin Affan z.
Mu’awiyah z memangku keamiran selama dua puluh tahun dan dua puluh tahun pula memangku jabatan khalifah. Dia senantiasa melakukan shalat witir satu rakaat. Dia seorang yang fakih. (al-Ishabah fi Tamyizi ash-Shahabah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, 5/164)
Semasa Rasulullah n hidup, Zaid bin Tsabit z adalah penulis wahyu dan Mu’awiyah z adalah sekretaris untuk urusan Nabi n dengan kalangan orang Arab. Mu’awiyah z menuliskan urusan-urusan Rasulullah n. Beliau adalah sosok sahabat yang dekat dengan Rasulullah n. Berdasar hadits dari Abdullah bin Abbas c terungkap bentuk kedekatan tersebut. Kata Ibnu Abbas c, “Saat aku bermain bersama anak-anak, Rasulullah n datang. Aku pun bersembunyi di balik pintu. Lantas Nabi n menyentuh punggungku seraya berkata,
اذْهَبْ وَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ
“Pergilah. Panggilkan Mu’awiyah untuk (menghadap) saya.”
Setelah itu, aku pun datang (menghadap Rasulullah n setelah memanggil Mu’awiyah). Aku katakan, “Dia sedang makan.” Lantas Nabi n menyuruh saya kembali untuk memanggil Mu’awiyah z untuk kali kedua. Sabda Nabi n,
اذْهَبْ وَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ
“Pergilah. Panggilkan Mu’awiyah untuk (menghadap) saya.”
Setelah saya memanggil Mu’awiyah z, saya pun mendatangi Nabi n dan menyampaikan bahwa dia sedang makan. Lantas Rasulullah n bersabda,
لاَ أَشْبَعَ اللهُ بَطْنَهُ
“Semoga Allah tak akan mengenyangkan perutnya.” (HR. Muslim, no. 2604)
Terkait hadits di atas, ada yang berpendapat bahwa pernyataan Rasulullah n yang artinya, “Semoga Allah l tak akan mengenyangkan perutnya” mengandung pengertian bahwa pada hari kiamat kelak dia bukanlah termasuk orang yang lapar. Ini didasarkan pada pernyataan Rasulullah n,
أَطْوَلُ النَّاسِ شَبْعًا فِي الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Manusia yang paling lama kenyang di dunia, mereka adalah yang paling lama lapar pada hari kiamat nanti.” (Dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 1199, 1577, 4491. Hadits dari Salman al-Farisi z)
Menurut al-Imam adz-Dzahabi t, pendapat tersebut tidaklah benar. Memberi takwil (penafsiran) kepada makna itu adalah sesuatu yang lemah. (Siyar A’lami an-Nubala’, 3/382)
Oleh karena itu, pendapat tersebut dinyatakan tidak kuat. Adapun al-Imam an-Nawawi t saat memberi penjelasan terhadap hadits di atas (HR. Muslim, no. 2604), beliau menyebutkan bahwa (al-Imam) Muslim t telah memahami perihal hadits tersebut. Sesungguhnya Mu’awiyah bukanlah orang yang berhak mendapatkan doa kejelekan. Karena itu, beliau memasukkan hadits ini dalam pembahasan “Bab Man La’anahu an-Nabi n au Sabbahu au Da’a ‘alaih wa Laisa Ahlan li Dzalika Kana Zakatan wa Ajran wa Rahmatan (Bab Siapa yang dilaknat atau dicerca oleh Nabi n padahal di tidak pantas mendapatkannya maka hal itu adalah penyuci, pahala, dan rahmat baginya)”.
Di samping itu, beliau menjadikan hadits ini sebagai dalil yang menunjukkan kedudukan terpuji Mu’awiyah z. Karena, hakikat dari pernyataan Nabi n pada hadits Abdullah bin Abbas c adalah doa kebaikan untuk Mu’awiyah. (Lihat al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/371)
Dalam hadits yang dituturkan oleh al-Irbadh bin Sariyah dan lainnya c, ia pernah mendengar Nabi n berdoa tatkala sahur pada bulan Ramadhan. Doa yang dipanjatkan berkenaan dengan Mu’awiyah z,
اللَّهُمَّ عَلِّمْ مُعَاوِيَةَ الْكِتَابَ وَالْحِسَابَ وَقِهِ الْعَذَابَ
“Ya Allah, karuniakanlah ilmu al-Kitab dan al-hisab kepada Mu’awiyah serta selamatkanlah dari siksa (neraka).” (Majma’ az-Zawaid, 9/356 dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 3227)
Rabi’ah bin Yazid t menyebutkan bahwa dirinya telah mendengar seorang sahabat bernama Abdurrahman bin Abi ‘Amirah z berkata, “Saya telah mendengar Rasulullah n berdoa untuk Mu’awiyah,
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِيًا مَهْدِيًّا وَاهْدِ بِهِ
“Ya Allah, jadikanlah dia sebagai orang yang memberi petunjuk, yang diberi petunjuk, dan berilah hidayah (petunjuk) kepadanya.” (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah, no. 1969. Lihat Siyar A’lam an-Nubala, 3/382)
Segenap ungkapan yang telah disebutkan di muka menunjukkan manqabah (kedudukan terpuji) Mu’awiyah z. Sosok sahabat yang dipercaya oleh Rasulullah n menjadi juru tulis dalam urusan dengan bangsa Arab.
Namun, ada segolongan yang tidak menyukainya. Di antara orang-orang yang mencela Mu’awiyah adalah kalangan Saba’iyah. Mereka adalah para pengikut ajaran Abdullah bin Saba. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang masyhur, Abdullah bin Saba’ adalah sosok Yahudi yang lahir di kota Shan’a, Yaman. Dia adalah seorang munafik, berpura-pura memeluk Islam, tetapi hatinya penuh permusuhan dan kedengkian terhadap Islam dan kaum muslimin.
Abdullah bin Saba’ adalah sosok provokator. Dia menggerakkan massa untuk mengepung kediaman Khalifah Utsman bin Affan z. Dari aksi demonstrasi yang digagas Abdullah bin Saba’ al-Yahudi ini, terbunuhlah sahabat mulia, Khalifah Utsman bin Affan z. Khalifah terbunuh melalui tikaman senjata tajam dari massa yang melakukan aksi demonstrasi di kediamannya. Perjalanan sejarah umat Islam telah ditulis dengan darah. Semua ini lantaran ulah Abdullah bin Saba’ yang menumpahkan nafsu amarah.
Kelompok Saba’iyah mengklaim sebagai pengikut setia ahlul bait. Seakan-akan mereka adalah kumpulan orang-orang yang mencintai Ali bin Abi Thalib z dan keturunannya. Ternyata, pengakuan mereka ditampik dan dibantah oleh ahlul bait sendiri. Sikap berlepas diri dari ahlul bait kalangan Saba’iyah (yang kemudian lebih dikenal dengan kaum Syiah Rafidhah) diungkapkan oleh al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib z.
Kata al-Hasan, “Demi Allah, jika Allah l menghendaki, sungguh kami akan memotong tangan dan kaki kalian serta tidak akan menerima taubat kalian. Rafidhah telah menusuk kami sebagaimana kaum Haruriyah (Khawarij) telah menusuk Ali bin Abi Thalib.” (asy-Syariah, al-Imam al-Ajurri t. Lihat Taudhihu an-Naba’an Mu’assis asy-Syi’ah Abdullah bin Saba’, Ali bin Ahmad ar-Razihi, hlm. 30)
Saat sekelompok orang Rafidhah datang kepada Zaid bin Ali t (salah seorang ahlul bait) untuk meminta Zaid bin Ali berlepas diri dari Abu Bakr dan Umar c, Zaid t berucap,
إِنَّهُمَا وَزِيْرَا جَدِّي
“Sesungguhnya keduanya (Abu Bakr dan Umar c) adalah wazir (pendamping) kakekku (Ali bin Abi Thalib z).”
Lantas mereka menimpali,
إِذًا نَرْفَضَكَ
“Kalau demikian, kami menolakmu (sebagai pemimpin).”
Jawab Zaid bin Ali t,
اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الرَّافِضَةُ
“Pergilah, karena kalian adalah kaum Rafidhah.”
Sejak itulah nama Rafidhah mencuat dan disematkan kepada orang-orang yang segaris dan sepemahaman dengan mereka. Di antara pemahaman mereka adalah adanya keyakinan bahwa mencaci maki para sahabat adalah sebuah kebajikan. Mereka sangat bernafsu mencaci maki Abu Bakr, Umar, Utsman, Abu Hurairah, Mu’awiyah, dan para sahabat lainnya g. Begitulah keyakinan (i’tiqad) yang bersemayam dalam dada mereka. Mencela para sahabat adalah agama mereka.
Di antara i’tiqad mereka, “Barang siapa yang melaknat Abu Bakr dan Umar satu kali pada setiap pagi, tidak akan ditulis dosanya pada hari itu hingga sore hari. Barang siapa melaknat keduanya pada sore hari dengan satu kali laknat, tidak akan ditulis dosa untuknya pada malam hari hingga subuh.” (Taudhihu an-Naba’, hlm. 123)
Mereka juga menafsirkan ayat semau mereka. Firman Allah l,
“Hai orang-orang beriman janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (al-Baqarah: 264)
Menurut al-Iyasyi, seorang pengikut Syi’ah, dalam at-Tafsir (1/148), ayat tersebut diturunkan terkait Utsman bin Affan z. Dalam kitab tafsir yang sama (2/116 cetakan Teheran) dan Biharu al-Anwar karya al-Majlisi (7/37) disebutkan, “Siapakah musuh Allah?” Ia menjawab, “Berhala yang empat.” Ditanyakan kepadanya, “Siapakah berhala yang empat itu?” Jawabnya, “Abul Fashil (Abu Bakr), Rama’ (Umar), Na’tsal (Utsman), Mu’awiyah, dan siapa pun yang memeluk agama mereka. Barang siapa memusuhi mereka, sungguh telah memusuhi musuh Allah l.” (Taudhihu an-Naba’, hlm. 123).
Kaum Syiah Rafidhah tak semata-mata mencaci maki Mu’awiyah. Mereka pun mencela dan melaknat pula para sahabat yang lain. Perbuatan mencela dan melaknat tak akan pernah berhenti, bahkan akan terus mereka lakukan. Ini karena apa yang mereka perbuat diyakini sebagai ibadah. Padahal perbuatan mereka sangat bertentangan dengan sabda Rasulullah n. Rasulullah n telah melarang mencela seorang pun dari para sahabatnya. Sabda beliau,
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَوْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencela salah seorang pun dari sahabatku. Sungguh, andai salah seorang dari kalian menginfakkan emas semisal Gunung Uhud, niscaya tidak akan bisa menyamai salah seorang dari sahabat satu mud1 pun dan tidak pula bisa menyamainya walau setengahnya.” (HR. Muslim, no. 2541 hadits dari Abu Hurairah zdan lainnya)
Jika mereka mencintai Rasulullah n dan ahlul bait, semestinya mereka mengikuti perintah Rasul-Nya n. Oleh karena itu, bukti seseorang taat dan mencintai Rasulullah n adalah dengan menunaikan sunnah beliau dan apa yang beliau perintahkan. Allah l berfirman,
Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali Imran: 31)
Allah l berfirman,
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya), serta ikutilah aku supaya kamu mendapat petunjuk.” (al-A’raf: 158)
Kebaikan adalah setiap yang baik dalam hal ittiba’ (mengikuti) beliau, berhukum pada syariat dan sunnah beliau. Adapun kejelekan adalah setiap yang jelek dalam hal menyelisihi petunjuk Nabi-Nya dan menjauh dari sunnah Rasul-Nya n. (Haqqu an-Nabi n, asy-Syaikh Dr. Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari, hlm. 26)
Rasulullah n bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبِى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk surga kecuali yang enggan.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu?” Jawab Nabi n, “Barang siapa yang menaatiku, ia akan masuk surga; dan barang siapa yang bermaksiat (durhaka) kepadaku, sungguh dia telah enggan.” (HR. al-Bukhari, no. 7280)
Itulah Syiah Rafidhah. Kebencian terhadap Mu’awiyah z begitu mendalam. Perintah Nabi n pun dicampakkan, namun hawa nafsu yang membumbung tinggi justru diikuti. Kebencian itu pun dialamatkan kepada para sahabat lainnya, terutama Abu Bakr ash-Shidiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Abu Hurairah, dan istri Nabi n, ‘Aisyah g.
Kemunculan Syiah Rafidhah tidak bisa lepas dari kiprah tangan Abdullah bin Saba’. Kehadiran Abdullah bin Saba’ dalam lintasan sejarah Islam tak bisa dilepaskan dari latar belakang pemikiran dan keyakinannya yang busuk terhadap Islam dan kaum muslimin. Abdullah bin Saba’ adalah seorang Yahudi. Allah l telah memperingatkan permusuhan Yahudi (dan Nasrani) terhadap kaum muslimin. Firman-Nya,
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (al-Baqarah: 120)
Abdullah bin Saba’ tak hanya disebutkan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Abdullah bin Saba’ diakui pula sepak terjangnya oleh kaum Syiah, seperti al-Mahdi, yaitu Ahmad bin Yahya al-Murtadha. Dia adalah salah seorang ulama sepuh dari kalangan Zaidiyah di Yaman, wafat tahun 840 H.
Al-Mahdi menyatakan bahwa as-Saba’iyah—para pengikut Abdullah bin Saba’—meyakini Ali adalah tuhan. Kemudian Ali mengusir Abdullah bin Saba’ ke beberapa kota. Para pengikut Abdullah bin Saba’ tetap berkeyakinan bahwa Ali z berada di awan. Guntur adalah suara Ali dan petir adalah cemetinya.
Salah seorang ulama mereka lainnya, al-Qumi (wafat 301 H) menyebutkan, “Kelompok ini dinamakan Saba’iyah, yaitu para pengikut Abdullah bin Saba’. Abdullah bin Saba’ adalah orang pertama yang melancarkan celaan terhadap Abu Bakr, Umar, Utsman, dan para sahabat lainnya g. Abdullah bin Saba’ berlepas diri dari para sahabat.”
Begitulah pernyataan para ulama Syiah terkait keberadaan Abdullah bin Saba’. Pernyataan para ulama Syiah tersebut dinukil dari kitab karya mereka. (Lihat Taudhihu an-Naba’, hlm. 89—90 dan Rafidhatu al-Yaman ‘ala Marri az-Zaman, asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam, hlm. 45—46)
Memuliakan para sahabat Nabi n adalah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Adapun mencela mereka termasuk perbuatan yang menyalahi syariat. Para sahabat adalah orang-orang yang telah mendapat ridha Allah l. Allah l berfirman,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (at-Taubah: 100)
Memuliakan orang mulia adalah sikap mulia. Semua ini dititahkan dalam Islam sebagai ajaran mulia.
Wallahu a’lam.

Catatan Kaki:

1 Satu mud adalah takaran seukuran gabungan dua talapak tangan yang sedang.