Di antara perkara yang wajib diyakini, setiap nabi dan rasul pasti membawa bukti-bukti kebenaran dakwah mereka, sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
مَا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ قَدْ أُعْطِيَ مِنَ الْآيَاتِ مَا مِثْلُهُ آمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ
“Tidak ada seorang nabi pun, kecuali diberi bukti-bukti (mukjizat) yang dengan semisal itu manusia beriman.” ( HR. Muslim)
Bukti-bukti inilah yang disebut sebagai ayat, bayyinat, atau burhan, yang kemudian lebih masyhur dengan sebutan mukjizat, meskipun kata terakhir ini lebih sempit maknanya. Mukjizat nabi dan rasul, secara global bukanlah pembahasan yang asing bagi kaum muslimin. Namun, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah sabdakan, Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing, demikian pula pemahaman yang benar tentang mukjizat pada kebanyakan manusia.
Sebagai contoh, sebagian kelompok Islam sempalan tidak meyakini adanya mukjizat, bahkan tidak meyakini keberadaannya. Mereka meniru kaum yang tidak memercayai adanya Rabbul ‘Alamin, yakni kelompok atheis. Sebagian lagi meyakini keberadaan mukjizat namun memandangnya dengan tinjauan yang menyimpang. Di antara mereka melampaui batas dalam menetapkan mukjizat sehingga menetapkan mukjizat-mukjizat yang tidak ditetapkan oleh syariat dan tidak disahkan oleh dalil yang sahih. Mereka menetapkan mukjizat melalui berita-berita maudhu’ (palsu), bahkan bertentangan dengan pokok-pokok Islam. Kaum Sufi ekstrem misalnya. Mereka menetapkan ilmu gaib bagi Rasulullah n. Beliau diyakini mengetahui segala yang ada di Lauhul Mahfuzh.
Padahal hanya di sisi Allah Subhanahu wata’ala sajalah ilmu gaib. Sebagian mereka menetapkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mampu mengatur alam setelah wafatnya. Sungguh, keyakinan ini bertentangan dengan al-Kitab dan as-Sunnah, bahkan termasuk bentuk kekufuran kepada Allah Subhanahu wata’ala.
Sayyid Quthub Bicara Soal Mukjizat
Pemikiran-pemikiran yang salah mengenai mukjizat ternyata memengaruhi sebagian tokoh yang dipuja dan disanjung, semisal Sayyid Quthub. Tokoh Ikhwanul Muslimin ini memiliki cara pandang yang salah terhadap masalah mukjizat para rasul secara umum. Katanya, “Sesungguhnya Islam (yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam) tidak menghendaki paksaan dan tekanan sebagai metode agar manusia memeluk Islam, dengan segala bentuknya. Sampai pun bentuk pemaksaan akal dalam kemasan mukjizat juga tidak. (Mukjizat) bukan salah satu dari jalan-jalan keislaman. Berbeda halnya dengan agamaagama sebelumnya (yakni nabi dan rasul sebelum Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam), seperti sembilan ayat (mukjizat) yang dibawa oleh Nabi Musa ‘Alaihissalam, demikian pula mukjizat Nabi Isa q yang bisa berbicara di masa bayinya, menghidupkan orang mati, serta menyembuhkan kebutaan dan peyakit sopak….
Islam menghendaki berkomunikasi dengan kemampuan akal yang dimiliki oleh manusia dan bersandar padanya untuk meyakinkan mereka tentang kebenaran syariat Islam dan akidah (kemudian menerimanya tanpa adanya paksaan), (bukan dengan menampakkan mukjizat yang merupakan bentuk pemaksaan akal, -pen.). Itu semua sesuai dengan landasan umum (Islam) berupa penghormatan dan pemuliaan manusia.” Perhatikan bagaimana Sayyid Qutub memandang mukjizat dengan keliru. Di satu sisi dia menetapkan mukjizat para nabi sebelum Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, namun menganggapnya sebagai bentuk pemaksaan beragama. Alhasil, pokok pemikiran dia dalam masalah mukjizat yang bisa kita pahami dari ucapannya adalah sebagai berikut.
1. Dia menganggap mukjizat adalah cara meyakinkan kebenaran yang mengandung unsur pemaksaan, yaitu pemaksaan akal.
2. Hanya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sajalah yang mendakwahkan Islam tanpa paksaan dan tekanan, baik fisik maupun akal.
3. Menurutnya, mukjizat mengandung paksaan terhadap akal sehingga tidak sesuai dengan dasar pijakan Islam berupa penghormatan kepada manusia.
Atas dasar itulah , Sayyid berkesimpulan bahwa mukjizat hanya ada pada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Seakan-akan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki mukjizat. Perkataan Sayyid ini sangat berbahaya, di samping pemikiranpemikiran lain yang banyak tertera dalam tulisan-tulisannya yang banyak meracuni kepala para pengagum dan pecintanya, seperti dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an.
Dalam salah satu bantahan terhadap pemikiran Sayyid, asy-Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkhali menanggapi pemikiran Sayyid dalam hal mukjizat, “Sesungguhnya mukjizat yang Allah Subhanahu wata’ala tampakkan melalui tangan para rasul-Nya sama sekali tidak mengandung bentuk tekanan dan paksaan, tidak pula bertentangan dengan pandangan Islam yang menghormati manusia. Mukjizat justru memuliakan para nabi Allah Subhanahu wata’ala dan rasul-Nya, menguatkan mereka, dan membuktikan kebenaran (dakwah mereka). Mukjizat juga memuliakan pengikut para nabi, di samping mengokohkan dan menguatkan iman mereka. Sungguh, Allah Subhanahu wata’ala telah memuliakan Nabi kita, penutup para nabi, rasul yang paling tinggi derajatnya, dengan mukjizat yang tidak terhitung. Banyak disusun karya-karya ulama secara khusus dalam hal ini. Banyak pula kitab hadits yang menukilkan mukjizat-mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ini.”
Pengertian Mukjizat
Secara bahasa, mukjizat berasal dari kata ( أَعْجَزَ ) yang berarti melemahkan, dari kata dasar ( عَجَزَ ) yang artinya lemah. Adapun secara istilah, mukjizat dimaknakan sebagai suatu peristiwa atau kejadian menakjubkan yang terjadi di luar kebiasaan. Allah Subhanahu wata’ala menampakkan kejadian tersebut melalui tangan para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti kebenaran dakwah mereka. Kejadian itu tidak mungkin dikalahkan. Selain itu, mukjizat selalu diiringi dengan pengakuan kenabian. Diistilahkan dengan mukjizat karena apa yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala itu membuat manusia lemah untuk mendatangkan yang semisal, apalagi mengalahkannya.
Berita Mukjizat dalam Al-Qur’an
Dalam al-Qur’an tidak ada penyebutan kalimat mukjizat. Buktibukti kebenaran nabi dan rasul disebutkan dalam al-Qur’an dengan kata-kata yang lebih luas maknanya. Bukti-bukti kenabian disebut dengan al-ayat, al-bayyinah, al-burhan, as-sulthan, dan al-basha’ir. Istilah-istilah dalam al-Qur’an inilah yang semestinya digunakan. Namun, yang masyhur di kalangan kaum muslimin adalah penggunaan kata ‘mukjizat’ untuk menyebut bukti-bukti kenabian dan kerasulan. Pembaca yang budiman… Marilah kita tadabburi beberapa ayat yang berisi mukjizat para nabi dan rasul dengan ungkapan-ungkapan al-Qur’an.
وَقَالَ رَجُلٌ مُّؤْمِنٌ مِّنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَن يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُم بِالْبَيِّنَاتِ مِن رَّبِّكُمْ ۖ وَإِن يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ ۖ وَإِن يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُم بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ
Seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata, “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan, ‘Rabbku ialah Allah,’ padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa bayyinat (keterangan-keterangan) dari Rabbmu. Jika ia seorang pendusta, dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. (al- Mu’min: 28)
وَرَسُولًا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُم بِآيَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ ۖ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُم مِّنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ ۖ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَىٰ بِإِذْنِ اللَّهِ ۖ وَأُنَبِّئُكُم بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Dan (sebagai) rasul kepada bani Israil (yang berkata kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa ayat (sesuatu tanda) dari Rabbmu, yaitu aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Aku juga menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak. Aku juga menghidupkan orang mati dengan izin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada hal itu ada suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Ali ‘Imran: 49)
فَلَمَّا أَتَاهَا نُودِيَ مِن شَاطِئِ الْوَادِ الْأَيْمَنِ فِي الْبُقْعَةِ الْمُبَارَكَةِ مِنَ الشَّجَرَةِ أَن يَا مُوسَىٰ إِنِّي أَنَا اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ () وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ ۖ فَلَمَّا رَآهَا تَهْتَزُّ كَأَنَّهَا جَانٌّ وَلَّىٰ مُدْبِرًا وَلَمْ يُعَقِّبْ ۚ يَا مُوسَىٰ أَقْبِلْ وَلَا تَخَفْ ۖ إِنَّكَ مِنَ الْآمِنِينَ () اسْلُكْ يَدَكَ فِي جَيْبِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ وَاضْمُمْ إِلَيْكَ جَنَاحَكَ مِنَ الرَّهْبِ ۖ فَذَانِكَ بُرْهَانَانِ مِن رَّبِّكَ إِلَىٰ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu, “Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Rabb semesta alam, dan lemparkanlah tongkatmu.” Tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa melihatnya bergerakgerak seolah-olah seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik ke belakang tanpa menoleh. (Kemudian Musa diseru), “Hai Musa, datanglah kepada-Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang aman. Masukkanlah tanganmu ke leher bajumu, niscaya ia keluar putih tidak bercacat bukan karena penyakit, dan dekapkanlah kedua tanganmu (ke dada) mu bila ketakutan. Itulah dua burhan (mukjizat) dari Rabbmu (yang akan kamu hadapkan) kepada Firaun dan para pembesarnya. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang fasik.” (al- Qashash: 30—32)
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِن بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الْأُولَىٰ بَصَائِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat.” (al-Qashash: 43)
Mukjizat Sesuai dengan Zaman Diturunkannya
Mukjizat sering berisi tantangan terhadap hal-hal yang sedang menjadi kebanggaan kaum kafir pada zaman diturunkannya mukjizat. Hal ini sesungguhnya salah satu bentuk rahmat Allah Subhanahu wata’ala. Tatkala manusia bangga dengan sesuatu yang menyebabkan mereka berpaling dari Allah Subhanahu wata’ala, Allah Subhanahu wata’ala mengutus rasul-Nya dengan mukjizat yang mengalahkan dan mematahkan apa yang mereka banggakan. Dengan demikian, diharapkan mereka lebih memahami mukjizat dan mengakui bahwa mukjizat datang dari sisi Allah Subhanahu wata’ala.
Di zaman Nabi Musa ‘Alaihissalam, sihir menempati kedudukan yang tinggi dalam peradaban Mesir. Allah Subhanahu wata’ala pun mengutus Nabi Musa ‘Alaihissalam dengan mukjizat yang sesuai dengan keadaan kaumnya yang bangga dengan ilmu sihir. Tongkat Nabi Musa ‘Alaihissalam berubah menjadi ular mengalahkan tukang sihirtukang sihir Fir’aun. Saat itu tukangtukang sihir Fir’aun sujud kepada Allah Subhanahu wata’ala karena menyaksikan kebesaran-Nya dan meyakini bahwa apa yang mereka lihat bukanlah sihir.
وَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ () قَالُوا آمَنَّا بِرَبِّ الْعَالَمِينَ () رَبِّ مُوسَىٰ وَهَارُونَ
Ahli-ahli sihir itu serta-merta meniarapkan diri dengan bersujud. Mereka berkata, “Kami beriman kepada Rabb semesta alam, (yaitu) Rabb Musa dan Harun.” (al-A’raf: 120—122)
Lebih dari itu, tongkat Nabi Musa ‘Alaihissalam membelah Laut Merah menjadi jalan-jalan kering bagi bani Israil. Subhanallah, sihir mana yang mampu membelah samudra? Jangankan samudra, membelah air dalam panci pun tak ada seorang pun mampu melakukannya.
فَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ ۖ فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu!” Maka terbelahlah lautan itu dan tiaptiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (asy-Syu’ara: 63)
Seharusnya Fir’aun dan bala tentaranya berhenti mengejar Musa dan bersegera beriman ketika menyaksikan tanda yang luar biasa. Namun, hati mereka telah keras sehingga mereka terus memasuki Laut Merah menuju kebinasaan. Ilmu pengobatan. Tabib dan ahli pengobatan mendapatkan kedudukan penting di masa Nabi Isa ‘Alaihissalam. Maka dari itu, di antara mukjizat Isa ‘Alaihissalam adalah menyembuhkan orang buta, menyembuhkan penyakit sopak, bahkan menghidupkan burung dan menghidupkan orang yang sudah mati. Adakah ilmu kedokteran yang mampu menghidupkan orang yang telah mati?
Pada zaman Nabi Shalih ‘Alaihissalam, kaum Tsamud bangga dengan kemampuan mereka menjadikan batu-batu gunung menjadi rumah-rumah tempat tinggal. Allah Subhanahu wata’ala tampakkan mukjizat berupa unta yang keluar dari bebatuan. Allahu Akbar, batu melahirkan unta.
قَالُوا إِنَّمَا أَنتَ مِنَ الْمُسَحَّرِينَ () مَا أَنتَ إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَا فَأْتِ بِآيَةٍ إِن كُنتَ مِنَ الصَّادِقِينَ () قَالَ هَٰذِهِ نَاقَةٌ لَّهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَّعْلُومٍ () وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَظِيمٍ () فَعَقَرُوهَا فَأَصْبَحُوا نَادِمِينَ () فَأَخَذَهُمُ الْعَذَابُ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً ۖ وَمَا كَانَ أَكْثَرُهُم مُّؤْمِنِينَ
Mereka berkata, “Sesungguhnya kamu adalah salah seorang dari orangorang yang kena sihir. Kamu tidak lain seorang manusia seperti kami; maka datangkanlah sesuatu mukjizat, jika kamu memang termasuk orang-orang yang benar.” Shalih menjawab, “Ini seekor unta betina, ia mempunyai giliran untuk mendapatkan air, dan kamu mempunyai giliran pula untuk mendapatkan air di hari yang tertentu. Janganlah kamu sentuh unta betina itu dengan sesuatu kejahatan, yang menyebabkan kamu akan ditimpa oleh azab hari yang besar.” Kemudian mereka membunuhnya, lalu mereka menjadi menyesal, maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada hal itu benar-benar terdapat bukti yang Mukjizat dan Karamah, di Tengah Penyimpangan Akidah nyata. Adalah kebanyakan mereka tidak beriman. (asy-Syu’ara: 153—158)
Demikian pula pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Manusia sangat bangga dengan sastra, maka saat itulah diturunkan al-Qur’an sebagai salah satu mukjizat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan yang terbesar dan kekal, di samping sekian banyak bukti lain yang dibawa oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi yang pada saat itu tidak bisa membaca dan menulis bisa menunjukkan al-Qur’an yang diyakini oleh umat muslim memiliki nilai sastra tinggi. Tidak hanya dari cara pemilihan kata-kata, tetapi juga kedalaman makna yang terkandung di dalamnya. Karena itu, al-Qur’an dapat terus digunakan sebagai rujukan hukum yang tertinggi sejak masa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sampai akhir zaman nanti. Kemukjizatan al-Qur’an akan kita bahas secara khusus, insya Allah.
Karya-Karya Ulama tentang Mukjizat
Meyakini mukjizat nabi dan rasul termasuk bagian iman kepada Allah Subhanahu wata’alal dan iman kepada rasul-rasul-Nya. Mengingat pentingnya masalah ini, ulama Ahlus Sunnah mencurahkan perhatian yang sangat besar untuk menyebarkan berita-berita mukjizat kepada umat. Muncullah karya-karya yang memuat berita-berita tersebut, seperti kitab-kitab sirah, kitab-kitab Syamail, demikian pula kitab-kitab hadits yang banyak menukilkan riwayat-riwayat mengenai mukjizat. Dalam Shahih Muslim misalnya, al-Imam Muslim Subhanahu wata’ala membuat sebuah pembahasan khusus berjudul Kitab Fadhail, yang memuat beberapa pembahasan mukjizat dan keutamaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, secara khusus telah dikumpulkan riwayat-riwayat tentang mukjizat rasul dalam karya-karya ilmiah. Di antara tulisan ulama baik yang terbit atau masih dalam bentuk manuskrip adalah:
• Ayatun Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali bin Muhammad al-Madaini (210 H)
• Amarat an-Nubuwwah, Ibrahim bin Ya’qub al-Jauzajani (259 H)
• Dalail an-Nubuwah, Ubaidullah bin Abdul Karim ar-Razi Abu Zur’ah (264 H)
• A’lamun Nubuwwah, al-Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy-’ats (275 H)
• A’lamur Rasul al-Munazzalah ‘ala Rusulihi, Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (276 H)
• Dalail an-Nubuwah, Ibrahim bin al-Haitsam al-Baladi (277 H)
• Dalail an-Nubuwah, Abdullah bin Muhammad bin Abid Dunya (281 H)
• Dalail an-Nubuwah, Ibrahim bin Ishaq al-Harby (285 H)
• Dalail an-Nubuwah, Ja’far bin Muhammad bin al-Hasan al-Firyabi (301 H)
• Dalail an-Nubuwah, Tsabit bin Hazm as-Sarqasthi (313 H)
• Dalail an-Nubuwah, Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan an-Naqqasy, al-Muqri (351 H)
• Dalail an-Nubuwah, Abu asy- Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Hayyan al-Ashbahani (369 H)
• Dalail an-Nubuwah, Abu Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Ashbahani (430 H)
• Dalail an-Nubuwah, Sulaiman bin Ahmad ath-Thabarani (430 H)
• al-Arba’una Haditsan ad-Dalah ‘ala Nubuwatihi ‘Alahissalam, Ali bin al-Hasan bin Hibatullah, Ibnu ‘Asakir (571 H)
• Dalail an-Nubuwah, al-Hafizh Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi. Masih banyak karya ulama lainnya tentang masalah ini. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.