Kejujuran harus ditanamkan sejak kecil. Untuk itu jelas dibutuhkan keteladanan orang tua dalam hal ini. Namun, tanpa disadari orang tua justru memposisikan diri sebagai guru dalam hal kebohongan atau ketidakjujuran.
Orang Tua Sebagai Teladan
Sebuah sisi yang kini banyak terlalaikan sepanjang perjalanan membimbing seorang anak adalah kejujuran. Kadang terjadi, orang tua tidak memberikan teguran ketika melihat si anak berbohong kepada temannya. Terkadang pula justru orang tua memberikan contoh buruk kepada si anak dengan berbuat dusta. Bahkan, yang lebih parah lagi, orang tua menyuruh si anak untuk berbohong demi keuntungan atau kesenangan orang tuanya.
Mungkin tak asing lagi, orang tua yang tidak berkenan menerima seorang tamu yang datang untuk kepentingan tertentu, dia berpesan kepada anaknya, “Katakan saja, ayah dan ibu sedang tidak ada di rumah.” Sementara itu, dia bersembunyi di kamar tidurnya. Pada waktu yang lain, sang ibu memanggil anaknya pulang bermain, “Ayo pulang, Nak! Ibu kasih kue nanti di rumah.” Ternyata sepulang bermain, tak sepotong kue pun diberikan.
Terkadang orang tua juga menyuruh anak melakukan sesuatu dengan iming-iming hadiah. Namun, ketika anak melaksanakan perintah orang tuanya, tak sesuatu pun yang didapat. Bahkan, kemarahan semata yang dihadapi bila anak menagih janji. Alhasil, anak belajar berdusta dan ingkar janji justru dari orang tua mereka sendiri.
Kepada Allah subhanahu wa ta’ala sajalah kita memohon pertolongan dari kerusakan semacam ini. Padahal semestinya orang tua membimbing, mengarahkan, dan mengajarkan pada anak-anak untuk senantiasa jujur dalam ucapan maupun perbuatan, serta menjauhi kedustaan dan ingkar janji.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintah hamba-hamba-Nya agar senantiasa berbuat jujur,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَكُونُواْ مَعَ ٱلصَّٰدِقِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.” (at-Taubah: 119)
Jujurlah kalian dan berpeganglah selalu dengan kejujuran, niscaya kalian termasuk orang-orang yang jujur dan akan selamat dari kebinasaan. Selain itu, Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kelapangan dan jalan keluar dalam berbagai urusan kalian. (Tafsir Ibnu Katsir, 4/160)
Peringatan Rasulullah dari Perbuatan Dusta
Telah banyak peringatan dari perbuatan dusta yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya, beliau mengatakan bahwa dusta akan menggiring pelakunya untuk berbuat berbagai kejelekan lainnya. Demikian yang beliau kabarkan dalam hadits Abdullah bin Masud radhiyallahu ‘anhu,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian selalu jujur. Sesungguhnya kejujuran akan membimbing kepada kebaikan, dan kebaikan akan membimbing ke surga. Seseorang senantiasa jujur dan membiasakan diri untuk jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Sesungguhnya dusta akan membimbing kepada kejahatan, dan kejahatan akan membimbing ke neraka. Seseorang senantiasa berdusta dan membiasakan diri dengan berdusta, hingga dicatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta.” (HR. al-Bukhari no. 6094, dan Muslim no. 2607)
Hadits di atas mengandung anjuran agar seseorang berupaya membiasakan diri untuk jujur dan menjadikan kejujuran sebagai tujuan dan perhatiannya. Di samping itu, ada peringatan dari kedustaan dan sikap menggampangkan berbuat dusta, karena apabila seseorang terbiasa berdusta, dia akan sering berdusta hingga dikenal dengannya. Dan seseorang akan dicatat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sebagai orang yang jujur bila dia membiasakannya, atau sebagai pendusta bila ia terbiasa dengannya. (Syarh Shahih Muslim, 16/160)
Dinyatakan pula oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dusta termasuk ciri orang munafik, sebagaimana dikabarkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu ada tiga: (1) apabila berbicara, dia berdusta, (2) apabila berjanji, dia mengingkari, dan (3) apabila diberi amanat dia mengkhianati.” (HR. al-Bukhari no. 33 dan Muslim no. 107)
Tidak Berdusta di Hadapan Anak
Berdusta sedemikian buruk akibatnya. Terlebih lagi berdusta kepada anak-anak akan membuka pintu kejelekan yang luas, karena nantinya anak akan menirunya, hingga mereka terbiasa berbicara dusta dan mengingkari janjinya. (Nashihati lin Nisa’, hlm. 40)
Selain itu, anak akan kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya sehingga nantinya mereka pun tidak lagi membenarkan orang tuanya dalam berbagai hal. (Fiqh Tarbiyatil Abna‘, hal 240)
Dengan gamblang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang ibu berdusta kepada anaknya. Ini dikisahkan oleh Abdullah bin Amir bin Rabiah al-Adawi radhiyallahu ‘anhu.
Suatu hari ibuku memanggilku, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk di rumah kami. Ibuku berkata, “Mari sini, aku akan memberimu sesuatu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya pada ibuku, “Apa yang akan kau berikan padanya?”
Ibuku menjawab, “Aku akan memberinya kurma.”
Lalu beliau berkata kepada ibuku, “Seandainya engkau tidak memberinya sesuatu, niscaya dicatat atasmu sebuah kedustaan.” (HR. Abu Dawud no. 4991, dihasankan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah)
Kisah ini menunjukkan bahwa setiap perkataan yang ditujukan kepada anak-anak ketika mereka menangis misalnya, baik untuk bergurau maupun untuk membohongi si anak bahwa nanti akan diberi sesuatu atau ditakut-takuti dengan sesuatu, adalah haram dan termasuk kedustaan.
Tidak Boleh Berdusta dalam Canda
Walaupun maksudnya sekadar untuk bergurau dan bercanda, seseorang tetap tidak diperbolehkan mengatakan sesuatu yang dusta. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang berdusta dalam candanya. Bahz bin Hakim meriwayatkan dari ayahnya, dari kakeknya, yang mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Binasalah orang yang berbicara untuk membuat orang-orang tertawa dengan ucapannya, lalu dia berdusta. Binasalah dia, binasalah dia!” (HR. at-Tirmidzi no. 2315, dinilai hasan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah)
Dapat dipahami dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, tidak mengapa bila seseorang membuat orang-orang tertawa dengan ucapan yang jujur. (Tuhfatul Ahwadzi, 6/497)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bukanlah orang yang tidak pernah bercanda. Namun, candaan beliau tidak pernah lepas dari kebenaran. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengisahkan bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, engkau bercanda dengan kami?”
Beliau pun menjawab,
إِنِّي لاَ أَقُولُ إِلاَّ حَقًّا
“Sesungguhnya aku tidak mengatakan kecuali kebenaran.” (HR. at-Tirmidzi no. 1990, dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani rahimahullah)
Oleh karena itu, orang tua tidak boleh bergurau dengan gurauan yang dusta. Orang tua juga harus melarang dan menegur apabila mengetahui anak-anak mereka bergurau dengan kata-kata yang dusta.
Kisah Kejujuran Ka’ab bin Malik
Kisah-kisah tentang kejujuran dapat pula diceritakan pada anak untuk memberikan gambaran kepada mereka bahwa kejujuran senantiasa akan membawa kebaikan. Sebuah kisah indah tentang kejujuran dituturkan oleh Ka’ab bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dia tidak ikut dari Perang Tabuk tanpa satu uzur pun, sementara segala perlengkapan perang telah dia persiapkan. Kisah ini tertulis di dalam ash-Shahihain. (HR. al-Bukhari no. 4418 dan Muslim no. 2769)
Ka’ab bin Malik menceritakan, ketika ada kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah kembali dari peperangan itu, dia pun merasa gelisah. Terlintas dalam hatinya untuk berdusta kepada Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghindari kemurkaan beliau. Namun, Ka’ab yakin, dia tidak akan bisa selamat dari kemurkaan beliau selama-lamanya, hingga dia pun bertekad untuk berkata jujur.
Seperti kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap pulang dari safar, beliau masuk masjid dan shalat dua rakaat. Setelah itu, orang-orang yang tidak ikut dalam peperangan mengajukan uzur masing-masing dan bersumpah di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menerima pengakuan zahir dari mereka, membaiat dan memohonkan ampun bagi mereka dan menyerahkan isi hati mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Hingga datanglah Ka’ab. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang uzurnya, Ka’ab menyatakan, “Wahai Rasulullah, andaikan aku duduk di hadapan penduduk dunia selainmu, tentu aku berpikiran untuk dapat keluar dari kemarahannya dengan mengajukan suatu uzur. Lagipula aku pandai berdebat. Akan tetapi, demi Allah, aku tahu seandainya hari ini kukatakan padamu kebohongan yang membuatmu ridha padaku, sungguh Allah akan membuatmu marah padaku. Apabila kukatakan padamu perkataan jujur yang membuatmu marah padaku, sungguh dengan itu kuharapkan kesudahan yang baik dari Allah subhanahu wa ta’ala. Demi Allah, aku tidak memiliki uzur apa pun. Demi Allah, tak pernah diriku sekuat dan semudah seperti saat aku tertinggal dari peperangan bersamamu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Orang ini telah bicara jujur. Bangkitlah, sampai Allah memberikan keputusan tentangmu.”
Waktu terus bergulir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang setiap orang berbicara dengan Ka’ab dan dua orang sahabat lain yang diberi keputusan serupa. Dunia pun terasa sempit bagi Ka’ab Tak ada seorang pun yang mau menyapanya. Siapa pun, di mana pun. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun enggan bertatap pandang dengannya.
Kejujuran Akan Menyelamatkan
Inilah yang harus dia jalani, hingga lima puluh malam lamanya. Keesokan harinya, usai shalat Subuh di atas rumahnya, Ka’ab duduk sembari merasakan kesempitan hatinya. Tiba-tiba terdengar seseorang berseru padanya dari kejauhan, “Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah!”
Ka’ab pun tersungkur sujud. Dia tahu, kelapangan itu telah datang. Ternyata ketika shalat Subuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengumumkan di hadapan para sahabat bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menerima tobat Ka’ab dan dua orang temannya. Orang-orang pun berdatangan menyatakan kegembiraannya.
Setelah itu, Ka’ab datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyambut dengan wajah yang begitu bersinar bagai rembulan karena rasa gembira, “Bergembiralah dengan kebaikan yang kau dapat hari ini, semenjak engkau dilahirkan ibumu.”
Ka’ab bertanya, “Apakah ini darimu, wahai Rasulullah, ataukah dari Allah?”
“Bukan, ini dari Allah.” Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat 117—119 dari surah at-Taubah.
Saat itu Ka’ab mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah menyelamatkanku dengan kejujuranku. Termasuk tobatku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan jujur seumur hidupku.”
Ka’ab menceritakan, “Demi Allah, aku tak pernah bersengaja bicara dusta semenjak kukatakan hal itu pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini. Sungguh, aku berharap agar Allah tetap menjagaku sepanjang sisa umurku.”
Dia juga mengatakan, “Demi Allah, tidaklah Allah memberikan nikmat pada diriku setelah memberikan petunjuk padaku untuk berislam, yang lebih besar daripada kejujuranku pada Rasulullah, sehingga aku tidak berdusta pada beliau dan binasa seperti binasanya orang-orang yang berdusta.”
Inilah sebuah teladan yang memberikan pelajaran besar bagi anak untuk menanamkan kejujuran dalam dirinya, walaupun untuk mengakui kesalahan.
Mari Berbenah Diri
Demikianlah, tak ada jalan lain bagi orang tua, kecuali berbenah diri dengan mulai membiasakan untuk berkata dan berbuat jujur. Jujur terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan jujur pula terhadap manusia sehingga terus membiasakan diri untuk jujur setahap demi setahap sampai kejujuran itu menjadi akhlak kita, sebagaimana dalam hadits yang disampaikan oleh Ibnu Masud radhiayallahu ‘anhu di atas.
Begitu pula pada anak, orang tua harus membiasakan anak-anaknya untuk jujur dalam ucapan, perbuatan, maupun dalam penunaian janji. Orang tua harus menjauhkan mereka dari segala kedustaan. Dengan demikian, semoga mereka akan menuai kebahagiaan di dunia ini dan di negeri yang kekal abadi.
Ditulis oleh Ustadzah Ummu Abdirrahman bintu Imran
Comments are closed.