(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Afifuddin)
Islam mengatur mudharabah dengan ketentuan-ketentuan baku yang tidak boleh dilanggar agar sistem mudharabah tersebut syar’i. Jauh dari praktik ribawi, bersih dari noda pertaruhan dan judi.
Secara garis besar, ketentuan-ketentuan tersebut bermuara pada lima hal:
1. Modal (رَأْسُ الْمَالِ)
2. Kerja (الْعَمَلُ)
3. Keuntungan/Laba (الرِبْحُ)
4. Pemodal (صَاحِبُ الْمَالِ) dan pengelola (الْعَامِلُ/ الْمُضَارِبُ) yang biasa disingkat dengan (الْعَاقِدَانِ) yakni kedua belah pihak yang melakukan kontrak kerjasama usaha.
5. Akad/ijab qabul (الصِّيْغَةُ)
Modal (رَأْسُ الْمَالِ)
Para ahli fiqh menyebutkan beberapa ketentuan terkait dengan masalah modal, walau sebagian besarnya masih dalam perbincangan di antara mereka. Di antaranya adalah:
1. Modal harus berupa alat bayar (نَقْدٌ) dalam hal ini adalah mata uang, baik dinar, dirham, ataupun yang lain.
Ibnu Qudamah t dalam Al-Mughni (6/418) menjelaskan: “Tidak ada khilaf (di kalangan ulama) tentang kebolehan menjadikan dirham dan dinar sebagai modal. Karena berfungsi sebagai mata uang dan alat bayar. Semenjak zaman Nabi n sampai sekarang, orang-orang melakukan syirkah dengan modal tersebut tanpa ada pengingkaran.”
Al-Imam An-Nawawi t juga menukilkan ijma’ ulama dalam Ar-Raudhah. Lihat Takmilah Al-Majmu’ (15/103) karya Al-Muthi’i.
Dalam hal menjadikan sebuah barang (عُرُوضٌ) sebagai modal, ada perselisihan di kalangan ahli fiqh. Bagi sebagian ahli fiqh yang memperbolehkannya, modal yang dianggap adalah nilai barang tersebut di saat akad, sedangkan laba rugi ditentukan sesuai persyaratan yang disepakati kedua belah pihak. Ketika akad mudharabah selesai (فَسَخٌ), kedua belah pihak mengembalikan modal awal dalam bentuk nilai barang tersebut saat akad. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Thawus, Auza’i, Hammad bin Abi Sulaiman, dan satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal. (Al-Mughni, 6/419)
Pendapat ini dirajihkan Asy-Syaikh Utsaimin t dalam Asy-Syarhul Mumti’ (4/256).
2. Modal harus diketahui secara pasti jumlah nominalnya (مَعْلُومُ الْقَدَرِ) dan telah diberikan (مُعَيَّنٌ).
Ibnu Qudamah t mengatakan: “Termasuk persyaratan mudharabah adalah modal harus diketahui jumlah nominalnya, dan tidak diperbolehkan bila majhul (tidak diketahui) nominalnya atau juzaf (sesuatu yang dikira-kira tanpa ada timbangan atau takaran)….” (Al-Mughni, 6/422 dan 6/500).
Ini adalah madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad rahimahumallah. Dampak negatif yang ditimbulkan karena ketidakjelasan nominal sebuah modal adalah:
a) Ketika akad mudharabah selesai, berapa modal yang harus dikembalikan?
b) Hal tersebut rawan perselisihan dan memicu persengketaan.
c) Akan muncul banyak ketimpangan dan permasalahan saat usaha dijalankan.
Masalah 1: Si A punya uang dengan nominal tertentu dipinjam si B. Apakah boleh si A menjadikannya sebagai modal mudharabah dengan si C?
Al-Imam An-Nawawi t menjawab dalam Raudhah-nya. “Kalau seandainya dia punya piutang pada seseorang lalu berkata kepada pihak ketiga: ‘Aku lakukan akad qiradh denganmu. Modalnya adalah piutangku pada si fulan. Ambil dan kelolalah untuk sebuah usaha’ atau dia berkata ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Ambil piutangku dan pakai sebagai modal usaha’ atau dia berkata ‘Ambil piutangku, jika sudah kamu pegang maka itu sebagai modal qiradh antara kita.’
Ini semua tidak sah. Bila sang amil (pengelola) sudah mengambilnya dan mengelola sebuah usaha, maka dia (si A) tidak berhak mendapatkan laba yang dipersyaratkan. Semua harta milik pemodal (shahibul maal), sedangkan sang amil hanya mendapatkan upah sebagai pegawai.
Begitu pula jika dia berkata kepada pihak yang berutang, ‘Aku adakan akad qiradh denganmu. Modalku adalah harta yang kamu pinjam.’ Ini semua tidak sah.” (Takmilah Al-Majmu’ 15/103, Al-Mughni 6/498)
Ketentuan sahnya akad mudharabah dengan kondisi di atas adalah dia harus mengambil terlebih dahulu harta tersebut (قَبْضٌ). Setelah ada di tangan, baru dia jadikan sebagai modal dalam akad mudharabah/qiradh.
Masalah 2: Bila si A punya uang yang dititipkan kepada si B, bolehkah dia jadikan modal mudharabah dengan si C?
Jawabnya:
Ada khilaf, yang rajih adalah diperbolehkan kecuali bila uang tersebut hilang. Maka tidak diperbolehkan sebab kasusnya akan sama dengan uang piutang dan ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan Ahmad rahimahumallah (Al-Mughni 6/500-501).
3. Tidak dipersyaratkan modal mudharabah diserahkan sepenuhnya kepada amil (mudharib/pengelola).
Sebab menurut pendapat yang lebih rajih, sang pemodal juga diperbolehkan ikut terjun dalam usaha mudharabah dan laba dibagi sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Ini adalah pendapat Hambali yang dirajihkan Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (6/435).
Bahkan, bila sang pemodal mensyaratkan salah seorang pegawainya ikut serta dalam mengelola usaha, juga diperbolehkan dan ini adalah pendapat mayoritas sahabat g.
4. Dalam akad syirkah secara umum, tidak dipersyaratkan kesamaan jenis mata uang dalam modal.
Masalah ini terjadi bila kedua belah pihak menjadi pemodal dan yang menjadi pengelola adalah salah satu atau keduanya, seperti pada syirkah ‘anan.
Maka diperbolehkan misalnya salah satunya mengeluarkan modal dalam bentuk rupiah, sementara yang lain dalam bentuk dolar.
Namun Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin t memberikan catatan, apabila kurs (nilai tukar) kedua mata uang tersebut baku tidak berubah-ubah. Jika sering terjadi perubahan (fluktuatif) maka modal harus dari mata uang sejenis. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/255, 264)
5. Apakah diperbolehkan mencampur modal dengan yang lainnya?
Masalah ini ada beberapa gambaran dengan hukum yang beragam:
a) Percampuran modal dua orang yang berserikat baik yang mengelola salah satu atau keduanya. Masalah ini terjadi pada syirkah ‘anan.
Pendapat yang rajih adalah tidak dipersyaratkan percampuran dua modal menjadi satu dalam usaha. Bahkan boleh masing-masing mengelola modalnya dalam sebuah usaha. Laba masing-masing usaha dibagi dua antara mereka.
Untuk lebih jelasnya, para ulama membagi “percampuran” menjadi dua:
• Percampuran total (اخْتِلَاطٌ تَامٌّ)
Yaitu mencampur dua modal menjadi satu untuk usaha yang dikelola secara bersama oleh kedua belah pihak. Jenis ini dipraktikkan di kalangan madzhab Syafi’i.
• Percampuran tempat (اخْتِلَاطُ الْمَكَانِ)
Maksudnya kedua modal disatukan di sebuah lokasi namun masing-masingnya dikelola dalam usaha yang berbeda.
Misal: sebuah supermarket, di sisi kanan untuk modal A dengan usaha A dikelola sendiri oleh pemilik modal. Sedangkan di sisi kiri untuk modal B dengan usaha B juga dikelola oleh pemodalnya sendiri.
Jenis ini dipakai oleh madzhab Maliki.
Pendapat yang shahih kedua percampuran di atas diperbolehkan. Ini adalah pendapat Al-Imam Ahmad t dan dirajihkan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t dalah Asy-Syarhul Mumti’ (4/264).
b) Percampuran modal mudharabah dengan harta sang amil (pengelola).
Pada prinsipnya, sang amil hanya mengelola modal mudharabah dengan shahibul maal (pemodal) dengan kesepakatan antara keduanya:
“Tidak diperbolehkan mencampur harta mudharabah dengan harta dia sendiri. Jika dilakukan dan tidak bisa diidentifikasi maka dia harus mengganti. Sebab, harta (mudharabah) adalah amanah. Kedudukannya sama dengan harta titipan (wadi’ah).” Demikian penjelasan Ibnu Qudamah t (Al-Mughni 6/464).
Adapun bila sang amil mengelola modal mudharabah untuk suatu usaha, di saat yang sama dia lupa mengelola hartanya sendiri, maka tidak boleh ada percampuran antara dua harta. Laba mudharabah bersendiri dibagi sesuai kesepakatan, sedangkan laba usaha sendiri untuk diri pribadi. (Al-Mughni 6/467)
Keadaan di atas dikecualikan bila ada izin dari shahibul maal baik izin umum, menurut sebuah pendapat, maupun izin khusus, menurut pendapat yang lain.
c) Percampuran dua modal dari shahibul maal. Ada dua keadaan:
– Shahibul maal (pemodal) dalam waktu bersamaan menyerahkan dua modal sekaligus kepada ‘amil.
Hal ini diperbolehkan bila sang pemodal mempersyaratkan percampuran modal. Bila ada syarat tersebut, maka sang ‘amil boleh mencampur kedua modal, baik besar modal keduanya sama atau berbeda, persentase bagi hasilnya sama maupun ada perbedaan.
• Shahibul maal menyerahkan dua modal pada waktu yang berbeda. Percampuran modal diperbolehkan dengan dua ketentuan:
• Shahibul maal menyerahkan modal ke-2 sebelum ‘amil mengelola modal pertama
– Adanya syarat percampuran modal
(Ar-Riba fil Mu’amalah Al- Mashrafiyyah 2/1089, Dr. Abdullah As-Sa’idi. Lihat Al-Mughni 6/480)
d) Percampuran modal dari dua shahibul maal (pemodal) atau lebih.
Masalah ini ada kaitannya dengan salah satu pembahasan (amal/kerja) yang akan dibahas pada poin-poin berikutnya.
Wallahu a’lam.
Kerja (الْعَمَلُ)