(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)
Safar dibagi menjadi lima macam:
1. Safar haram
Seperti safar dalam rangka mengerjakan keharaman (seperti judi, zina, atau tindak kriminal). Safar seperti ini hukumnya haram. Termasuk safar yang haram adalah safarnya seorang wanita sendirian tanpa mahram.
2. Safar makruh
Seperti safar seseorang sendirian.
3. Safar mubah
Seperti safar untuk bertamasya/piknik.
4. Safar mustahab
Seperti safar untuk mengerjakan haji yang kedua kalinya.
5. Safar wajib
Seperti safar untuk mengerjakan haji yang pertama kalinya. (Lihat Asy-Syarhul Mumti’, 4/492)
Apakah dalam Safar Maksiat Diperbolehkan Mengqashar Shalat dan Berbuka Puasa?
Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah berpendapat diperbolehkannya mengqashar shalat dalam seluruh safar, kecuali safar maksiat. An-Nawawi t menyandarkan pendapat ini kepada jumhur (mayoritas) ulama. Mereka berdalil dengan firman Allah l:
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (Al-Baqarah: 173)
Sisi pendalilannya, Allah l tidak membolehkan memakan bangkai dalam keadaan darurat (terpaksa) bagi al-baghi, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada penguasa, dan bagi al-’adi yaitu orang yang muharrib (memerangi) dan merampok. Karena al-baghi dan al-’adi adalah orang-orang yang bermaksiat kepada Allah l dalam safar mereka. (Catatan kaki Asy-Syarhul Mumti’, 4/442, lihat Ahkam Al-Qur’an lil Qurthubi 2/225, Adhwa’ul Bayan, 4/167)
Sedangkan Al-Auza’i, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, dan Al-Muzani rahimahumullah berpendapat diperbolehkan mengqashar shalat dalam seluruh safar, walaupun safar maksiat. Mereka berdalil dengan keumuman dalil1 yang mengharuskan mengqashar shalat dalam safar.
Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam– adalah pendapat yang kedua, sebagaimana dikuatkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Adapun tentang ayat 173 dari surat Al-Baqarah di atas, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t menjelaskan:
“Ayat tersebut, kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-baghi adalah orang yang mencari makanan haram padahal ia mampu mendapatkan makanan yang halal. Sedangkan al-’adi adalah orang yang melampaui batas kebutuhannya.” (Majmu’ Al-Fatawa, 24/25)
Asy-Syaikh Shiddiq Hasan Khan t berkata: “Yang nampak dari dalil-dalil mengqashar shalat dan berbuka (tidak puasa, ketika safar) adalah tidak ada perbedaan antara orang yang safar dalam ketaatan maupun orang yang safar dalam kemaksiatan. Terlebih lagi dalam hal mengqashar shalat, karena shalat seorang yang safar telah disyariatkan oleh Allah l untuk diqashar. Maka, sebagaimana Allah l telah mensyariatkan bagi orang yang mukim untuk menyempurnakan shalat tanpa dibedakan antara orang yang sedang dalam ketaatan maupun dalam kemaksiatan, tanpa ada khilaf (perselisihan antara ahli ilmu), demikian pula Allah l telah mensyariatkan bagi orang yang safar untuk shalat dua rakaat tanpa perbedaan (antara orang yang safar taat atau maksiat).” (Ta’liqat Ar-Radhiyyah ‘ala Ar-Radhah An-Nadiyyah, 1/398)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berkata: “Mengqashar shalat tergantung dengan safar. Maksudnya, mengerjakan shalat dua rakaat dalam safar merupakan kewajiban. Dan bukanlah shalat dua rakaat ini diubah dari empat rakaat menjadi dua rakaat. Sebagaimana hal ini telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan yang lainnya, dari Aisyah x, bahwa dia berkata:
أَوَّلُ مَا فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ سَافَرَ رَسُولُ اللهِ n فَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ وَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ
“Shalat itu pertama kali diwajibkan dua rakaat, kemudian Rasulullah n safar. Maka shalat hadhar (tidak dalam safar) jumlah rakaatnya ditambah dan shalat dalam safar ditetapkan dua rakaat.”
Sekarang menjadi jelas bahwa dua rakaat dalam safar adalah kewajiban, bukan rukhshah. Atas dasar itu, maka tidak ada perbedaan antara safar haram dan safar mubah.” (Asy-Syarhul Mumti’, 4/494)
Lihat juga Al-Mughni (2/540), Al-Majmu’ (4/158), dan Majmu’ Al-Fatawa (24/52).