Mandi Biasa Tidak Mewakili Wudhu

Apakah mandi biasa (bukan wajib) sudah mencukupi untuk wudhu, artinya kita tidak usah wudhu lagi seusai mandi?
timxxxxxx@yahoo.co.id

Dijawab oleh Al-Ustadz Muhammad As-Sarbini Al-Makassari
Jika yang dimaksud dengan mandi biasa adalah mandi yang dilakukan sekadar untuk bersih-bersih dan menyegarkan tubuh, maka masalahnya jelas bahwa hal itu bukan ibadah yang terkait dengan bersuci dari hadats, dan tentu saja tidak mewakili wudhu. Demikian pula halnya jika yang dimaksud adalah mandi yang disyariatkan untuk shalat Jum’at1, mandi untuk shalat hari raya (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha) serta mandi lainnya yang disyariatkan bukan untuk mengangkat hadats. Mandi karena hal-hal tersebut tidak terkait dengan hadats, sehingga tidak bisa mewakili wudhu dalam mengangkat hadats kecil.
Hal ini difatwakan oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz dalam Majmu’ Al-Fatawa (10/111-112).

 

 

BERWUDHU DENGAN AIR YANG TEPERCIK SABUN

Bolehkah berwudhu dengan air bak mandi yang terkena percikan sabun hingga berubah warna, bau, dan rasanya?
(Pertanyaan via sms
)
Dijawab oleh Al-Ustadz Muhammad As-Sarbini Al-Makassari
Air yang mengalami perubahan dari aslinya, baik perubahan warna, bau, atau rasa karena pengaruh campuran unsur lain yang suci, namun tidak didominasi oleh campuran tersebut dan masih tetap dinamakan air, tetap suci dan menyucikan (thahur). Seperti perubahan air bak yang bercampur dengan percikan sabun, air kolam yang kejatuhan daun-daun, air sawah yang bercampur tanah, atau yang lainnya. Ini tetap dinamakan air dan sah untuk wudhu atau mandi.
Berbeda halnya dengan air yang dicampur dengan bahan minuman seperti susu, kopi, teh, atau bumbu masakan, dan semacamnya, yang mendominasinya dan mengubah namanya menjadi nama lain, sehingga tidak lagi dinamakan air secara mutlak. Misalnya, dinamakan minuman teh, kopi, susu, atau kuah, dan yang semacamnya. Yang seperti ini sudah tidak termasuk kategori air yang menyucikan, meskipun suci. Dengan demikian, jenis ini tidak sah untuk wudhu dan mandi.
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah perintah Rasulullah n untuk berwudhu dengan air laut. Padahal air laut telah berubah rasanya menjadi asin dengan perubahan yang sangat drastis dari asal rasa air yang tawar. Demikian pula perintah Rasulullah n untuk menggunakan air yang dicampuri daun bidara (yang telah ditumbuk halus) bagi wanita yang mandi suci dari haid/nifas dan dalam memandikan jenazah. Padahal campuran daun bidara tersebut tentu saja akan memberi perubahan pada air.
Lebih dari itu, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa air yang mengalami perubahan warna, bau, atau rasa oleh campuran unsur lain, tidak lagi termasuk kategori air yang menyucikan.
Inilah pendapat yang rajih (kuat) dalam masalah ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Al-Fatawa (21/17-20 cet. Darul Wafa’), Asy-Syaikh As-Sa’di dalam Al-Mukhtarat Al-Jaliyyah (hal.12-13), Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa (10/19-20), dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (1/38, 44, cet. Muassasah Asam). Ini juga adalah mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat dari Ahmad.
Kalau pun terjadi perubahan warna, bau, atau rasa karena pengaruh benda najis yang bercampur dengannya, air itu bernajis dan sudah tidak suci lagi. Salah satu saja dari tiga sifat tersebut yang berubah, baik warna, bau, atau rasanya, maka air itu telah ternajisi dan tidak sah untuk wudhu atau mandi.
Kesimpulannya, air hanya terbagi menjadi dua:
1.    Air yang suci lagi menyucikan (thahur), meskipun berubah sebagian sifatnya oleh campuran unsur suci, selama tidak mengubahnya keluar dari nama air ke nama lain. Jenis ini sah untuk wudhu dan mandi.
2.    Air yang ternajisi oleh unsur najis yang mengubah salah satu sifatnya, baik warna, bau, maupun rasanya. Jenis ini tidak sah untuk wudhu dan mandi.
Wallahu a’lam.


1 Dengan catatan bahwa dalam hal mandi untuk shalat Jum’at ada perbedaan pendapat, ada yang berpendapat sunnah dan ada yang berpendapat wajib. –pen.