Media: Pisau Bermata Dua

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Media memang pisau bermata dua. Di satu sisi ia bisa multiguna, di sisi lain, juga bisa membawa petaka.

Sisi manfaat media memang tak terhitung. Banyak hal-hal keduniawian bahkan akhirat yang bisa ditunjang dengan media. Usaha, berita terkini, hingga dakwah, bisa demikian berkembang dengan adanya media, biidznillah.

Sisi lain, dampak negatif yang ditimbulkan media juga tak terbendung. Media sering dijadikan alat propaganda, dari soal politik hingga soal agama. Banyak kesesatan yang tumbuh subur dan dengan cepat dianut masyarakat karena dilariskan media. Banyak kemaksiatan yang mudah diakses hanya dengan memainkan jari-jemari kita di rumah.

Lebih-lebih dengan menjamurnya media sosial di dunia maya. Ruang-ruang pribadi yang tercipta membuat manusia lupa. Perselingkuhan pun menjadi muaranya. Sebaliknya, media sosial juga menciptakan ruang publik yang seluas-luasnya. Di sini, manusia pun lupa. Pamer kekayaan dan kesuksesan dipertontonkan. Masalah pribadi dan rumah tangga diumbar. Foto-foto narsis bahkan yang memamerkan aurat dipajang seakan media sosial adalah kamar pribadinya.

Tak cukup sampai di sini sisi negatif media yang kita tuai. Islam sebagai agama yang haq, sering menjadi bulan-bulanan media. Pengusaha media yang mayoritas orang-orang non-Islam atau muslim tetapi tidak paham Islam, menjadikan media sebagai alat untuk menyudutkan Islam dan kaum muslimin. Dari yang halus, yakni mencitrakan kemaksiatan sebagai sesuatu yang lumrah, hingga yang sudah “menabuh genderang perang” yakni menghina Islam secara terang-terangan.

Opini demi opini terus diciptakan demi mengesankan bahwa Islam adalah agama yang kolot dan horor. Ajaran Islam yang demikian melindungi wanita dianggap sudah tak relevan. Adapun terorisme dan anarkisme terkesan dilakukan oleh muslim yang “lahiriahnya” taat. Sekian juta umat pun termakan. Opini media mampu membolak-balik penilaian seseorang.

Masyarakat juga latah mengekor media yang menjelma menjadi hakim. Kasus apa saja, karena sudah menjadi konsumsi media, dengan mudahnya masyarakat memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Hanya dengan bermodal baca koran atau menonton berita televisi, masyarakat dengan strata apa pun telah demikian “pintar” menghakimi. Kebenaran menjadi demikian sempit, sebatas apa yang dibaca, apa yang ditonton, dan apa yang (mau) disimpulkan.

Padahal, disadari atau tidak, media massa lebih sering mengajarkan buruk sangka, utamanya jika sasarannya adalah pemerintah. Di mata media, pemerintah berkuasa seakan tidak pernah ada benarnya, kebijakannya seakan 100% cacat dan cela. Seakan-akan jika kita duduk di pemerintahan, kita mampu mengemban amanat yang demikian besar dengan mudahnya. Kita bahkan lupa bahwa kita sendiri juga manusia biasa.

Menjadi amat aneh, jika media sekarang mengaku tidak memihak, objektif, dan independen. Berita kecelakaan yang nyaris tanpa tendensi saja, bisa berbeda versi antara satu dengan yang lainnya. Bagaimana jadinya jika berita itu sudah masuk ranah politik? Bukankah orang-orang di balik media juga memiliki keberpihakan? Jika satu media mendukung dan satunya menentang lantas mana yang benar? Mana yang harus kita ikuti?

Namun layaknya senjata, media akan kembali pada siapa yang memegangnya. Senjata bisa mencelakai diri bahkan orang lain, namun bisa memberi manfaat jika digunakan sebagaimana mestinya.

Maka dari itu, dengan keadaan diri kita yang banyak dosa, yang mudah terjerumus ke dalamnya, kita juga hidup di tengah masyarakat yang lebih banyak maksiat daripada yang taat, sudah semestinya kita menjauhi media-media yang lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.

Wallahu a’lam.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته