Meluruskan Sikap Iman kepada Para Nabi

السلام عليكم ورحمة الله و بركاته

Mengimani para nabi dan rasul tak semata memercayai adanya para nabi dan rasul yang diutus. Ada beberapa hal yang mesti kita wujudkan dalam sikap dan keyakinan kita sebagai konsekuensi keimanan tersebut, terutama menyangkut kedudukan manusia-manusia termulia di muka bumi itu. Adalah wajib bagi kita untuk meyakini bahwa mereka adalah manusia termulia, pilihan Allah Subhanahu wata’ala. Namun, tidak berarti kita mendudukkan mereka secara berlebihan.

Sikap ghuluw (berlebihan) sehingga mendudukkan mereka seperti Rabb yang disembah adalah sikap yang menggelincirkan kaum Nasrani kepada kekafiran. Keyakinan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah awal kejadian, alam semesta diciptakan dari nur (cahaya) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, dan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lah alam itu diciptakan, juga salah satu bentuk ghuluw lain yang beraroma Nasrani. Inilah akidah Ibnu Arabi dan orangorang Sufi pengikutnya. Sufi mengangkat derajat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sedemikian tinggi sehingga seolah-olah sama kedudukannya dengan Yesus (Anak Allah) dengan Tuhan Bapak menurut kepercayaan Kristen.

Ada juga sufi ekstrem yang meyakini bahwa wali mereka punya derajat yang lebih tinggi dari nabi dan rasul. Demikian juga Syiah Rafidhah yang menganggap imam mereka mempunyai derajat yang tidak dicapai oleh nabi dan rasul dan malaikat yang terdekat. Wali versi sufi dan imam versi Syiah (Rafidhah), bahkan diyakini mempunyai sifat rububiyah, turut mengatur alam semesta, mematikan dan menghidupkan, mengetahui urusan gaib. dsb., sebuah keyakinan yang tentu saja lebih sesat daripada Nasrani. Berseberangan dengan itu adalah Yahudi dan yang membebek kepada mereka. Yahudi menjadi bangsa yang suka menista dan menghujat para nabi, bahkan membunuh sebagian di antaranya. Kelakuan bangsa Yahudi, tentu tidak pantas diikuti. Menyematkan karakter-karakter buruk kepada para nabi Allah sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh Ikhwanul Muslimin, Sayyid Quthub, kepada Nabi Musa ‘Alaihissalam— berarti menghujat pilihan Allah Subhanahu wata’ala. Allah Subhanahu wata’ala tidak mungkin salah pilih. Dia pasti memilih hamba-Nya yang terbaik guna menyampaikan risalah-Nya kepada manusia. Tak perlu banyak dalil untuk membantah omongan penghujat nabi.

Cukuplah sebuah cermin dihadapkan pada mereka, siapakah nabi dan siapa yang menghujat? Keimanan kepada para nabi dan rasul dipungkasi dengan keimanan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain beriman kepada kenabian dan kerasulan Muhammad, seorang muslim wajib pula meyakini bahwa Muhammad n adalah khatamun-nabiyyin (penutup para nabi), tidak ada lagi nabi dan rasul sesudahnya sampai hari kiamat. Maka dari itu, keimanan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa disejajarkan dengan keimanan kepada nabi palsu pengidap waham, semacam Mirza Ghulam Ahmad dan yang sejenisnya. Keimanan kepada nabi juga harus melingkupi seluruh nabi. Mengingkari seorang nabi saja yang disebutkan al-Qur’an dan as-Sunnah berarti mengingkari nabi dan rasul seluruhnya. Ketika Nasrani dan Yahudi mengingkari kerasulan Muhammad, mereka sama saja mengingkari seluruh nabi, yang berarti keluar dari lingkup keislaman.

Keyakinan aneh dalam hal keimanan kepada para nabi yang banyak bertebaran di sekitar kita, tentunya tak bisa didiamkan dengan dalih ukhuwah. Keyakinan-keyakinan semacam inilah yang jika dibiarkan justru akan memecah belah umat. Jangan sampai kita salah bersikap. Dakwah yang mencegah umat dari kesesatan justru dianggap memecah belah, sedangkan dakwah yang mendiamkan kesesatan justru dianggap merajut ukhuwah. Semoga kita lebih bisa menyayangi umat, tumbuh kecemburuan manakala saudara-saudara kita terperangkap jerat kesesatan Sufi atau Syiah. Mari kita buang sikap diam terhadap kesesatan dengan dalih ukhuwah.

Dengan itu kita berharap, pemahaman dan akidah umat bisa lurus sesuai yang dimaukan Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya.

والسلام عليكم ورحمة الله و بركاته