Allah l berfirman,
“Oleh karena itu, sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang memiliki akal.” (az-Zumar: 17—18)
Sebagai hamba yang mengabdi dan berbakti kepada Penciptanya, kita dituntut untuk mendengar dan mengikuti kalamullah dan kalam Rasulullah n. Barang siapa pada hari ini tidak mau mendengar, niscaya besok dia akan menyesal saat orang-orang kafir berkata,
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (al-Mulk: 10)
Kita diminta untuk menyempatkan waktu guna mendengar khutbah, ceramah-ceramah agama, menghadiri daurah dan kajian-kajian islami agar kita dapat mendengarkan hal-hal yang bermanfaat dan menambah pengetahuan agama kita. Kita pun diimbau mendengarkan acara-acara/siaran-siaran agama yang bermanfaat, yang alhamdulillah siarannya telah sampai ke setiap rumah dan tempat. Akan tetapi, amatlah disesalkan kebanyakan kita tidak mau mendengarnya. Seandainya pun mendengarkan, sebagian kita tidak mau memahaminya. Sungguh, bumi akan mati di kala lama tak turun hujan sehingga air tidak bisa sampai kepadanya. Demikian pula hati, apabila tidak sampai kepadanya wahyu dan zikir niscaya hati akan buta, sakit, dan akhirnya mati!
Apabila seseorang tidak biasa menghadiri khutbah agama dan tidak pernah mendengar nasihat, di samping enggan membaca al-Qur’an, apalagi hadits Rasulullah n, bagaimana gerangan keadaannya? Dari mana dia bisa mempelajari dan memahami agamanya? Bagaimana kiranya dia bisa memenuhi panggilan Allah l dan Rasul-Nya?
Memenuhi panggilan tidaklah mungkin dilakukan melainkan setelah mendengarkan dakwah.
Allah l telah memanggil kita dalam Kitab-Nya dan lewat lisan Rasul-Nya. Dia yang Mahasuci mengajak kepada Darussalam, negeri keselamatan dan kesejahteraan.
“Dia menyeru kalian untuk memberi ampunan kepada kalian dari dosa-dosa kalian…” (Ibrahim: 10)
Siapa yang mendengar panggilan Allah l, dia wajib menjawabnya.
ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ
“Dan orang-orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan dapat melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (al-Ahqaf: 32)
Ada manusia yang sama sekali menolak ajakan/panggilan Allah l. Mereka adalah orang-orang kafir dan kaum munafik yang mengatakan, “Sami’na wa ‘ashaina.” Artinya, kami mendengar, namun kami mendurhakai.
Ada pula di antara manusia yang menerima panggilan tersebut apabila mencocoki selera nafsunya, namun menolaknya apabila tidak sesuai dengan hawa nafsunya. Orang seperti ini adalah hamba bagi hawa nafsunya. Dia bukanlah hamba Allah l yang mengikuti seruan Maulanya. Allah l berfirman,
“Jika mereka tidak menjawabmu (tantanganmu untuk mendatangkan sebuah kitab dari sisi Allah yang lebih dapat memberi petunjuk daripada Taurat dan Injil), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka belaka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tanpa petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Qashash: 50)
Orang yang seperti ini serupa dengan orang yang beriman dengan sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain. Anda melihat apabila orang ini dipanggil dengan seruan azan untuk menghadiri shalat jamaah di masjid, dia tidak menjawabnya. Anda melihat dia diajak untuk meninggalkan riba, suap, dan muamalah yang diharamkan, namun dia tidak berpikir untuk meninggalkan dan menjauhkan diri darinya. Anda melihat dia diperintah kepada yang ma’ruf dan dilarang dari yang mungkar, namun dia tidak memeganginya. Padahal dia mengaku beragama Islam. Dia mengatakan bahwa dirinya termasuk kaum muslimin. Kalaupun orang ini selamat dari kekafiran, namun dia tidak selamat dari kefasikan, kemunafikan, dan akhlak yang buruk.
Seruan Allah l bisa sampai kepada setiap mukallaf dengan cara yang beragam. Ada yang melalui jalan membaca al-Qur’an dan sunnah Rasul-Nya, atau lewat perantaraan para da’i yang mengajak kepada Allah l. Ada pula yang melalui jalan orang-orang yang beramar ma’ruf nahi mungkar dan yang menyerukan shalat dalam sehari semalam sebanyak lima kali. Demikianlah. Tidaklah terlewat satu kesempatan pun melainkan seseorang bisa mendengar ajakan kepada Allah l. Tinggal dia yang memilih, apakah menerima atau menolak, apakah ingin pahala atau hukuman.
Saudariku… sangat disesalkan, ada orang-orang yang lebih memilih mendengarkan nyanyian dan seruling setan daripada mendengarkan kalam ar-Rahman. Ada yang lebih senang pergi ke bioskop, diskotek, dan tempat bersenang-senang lainnya daripada pergi ke masjid. Ada yang lebih asyik menikmati “suara merdu” artis Fulan daripada mendengar wejangan seorang pemberi nasihat. Orang-orang yang demikian termasuk dalam kelompok manusia yang difirmankan oleh Allah l,
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa ilmu dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan beroleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum pernah mendengarnya, seakan-akan di kedua telinganya ada sumbatan. Maka beri kabar gembira padanya dengan azab yang pedih.” (Luqman: 6—7)
Ketahuilah wahai saudariku, ada beberapa hal yang dapat menghalangi seorang hamba memenuhi seruan dan ajakan kepada Allah l dan Rasul-Nya, di antaranya:
1. Sombong untuk menerima al-haq
Hal ini sebagaimana yang dahulu terjadi pada Iblis ketika Allah l memerintahkannya untuk sujud kepada Adam q. Dia pun enggan dan takabbur. “Aku lebih baik daripada Adam,” ujarnya pongah.
Nabi n pernah bersabda,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Sombong adalah menolak al-haq, tidak mau menerimanya, dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
2. Hasad atau iri dengki
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Yahudi tatkala Rasulullah n mengajak mereka untuk beriman kepada beliau. Mereka tidak memenuhi ajakan tersebut, malah mengkufuri beliau karena hasad dari diri mereka setelah jelas bagi mereka al-haq tersebut.
3. Ta’ashub/fanatik terhadap suatu pendapat/mazhab dan taklid/membebek buta terhadap perkara yang dipegangi oleh nenek moyang
Hal ini telah terjadi pada Yahudi dan kaum musyrikin. Allah l berfirman,
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kepada al-Qur’an yang diturunkan Allah,” mereka berkata, “Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami.” Dan mereka kafir kepada al-Qur’an yang diturunkan sesudahnya, sedangkan al-Quran itu adalah kitab yang haq, yang membenarkan apa yang ada pada mereka. (al-Baqarah: 91)
Demikian pula firman-Nya,
Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak mendapatkan petunjuk? (al-Baqarah: 170)
4. Mengikuti hawa nafsu
Allah l berfirman,
“Jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (al-Qashash: 50)
5. Takut celaan manusia dan tidak sabar menanggung gangguan mereka
Allah l berfirman tentang orang-orang kafir Quraisy,
Dan mereka berkata, “Jika Kami mengikuti petunjuk bersama kalian, niscaya kami akan diusir dari negeri kami.” (al-Qashash: 57)
Mereka sebenarnya mengakui bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah n adalah petunjuk dan apa yang mereka pegangi adalah kesesatan. Akan tetapi, mereka menyampaikan alasan tidak mengikutinya, yaitu rasa khawatir/takut mendapat gangguan manusia, takut keamanannya terganggu. Hal ini termasuk rusaknya gambaran dan terbaliknya fitrah karena pada hakikatnya rasa aman tidaklah bisa diperoleh selain dengan mengikuti petunjuk. Adapun rasa takut muncul hanyalah karena mengikuti kesesatan.
Ucapan orang kafir kemarin sama dengan ucapan kebanyakan orang di zaman sekarang. Mereka mengatakan, “Kami tahu bahwa Islam adalah agama yang benar, adapun selainnya batil. Akan tetapi, kami tidak bisa mengikutinya dan menerapkannya karena khawatir terhadap negeri-negeri kafir. Jangan sampai mereka menimpakan kejelekan kepada kami, atau mereka mengejek kami dengan mengatakan kami mundur dan terbelakang.”
Mereka yang berucap seperti ini tidak tahu bahwa perbuatan mereka tersebut justru menambah ketakutan, kelemahan, dan jatuhnya mereka di mata musuh mereka. Padahal Allah l berfirman,
“Janganlah kalian takut kepada mereka tapi takutlah hanya kepada-Ku.” (Ali Imran: 175)
Nabi n bersabda:
مَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهَا النَّاسَ
“Siapa yang mencari ridha manusia dengan membuat Allah murka, niscaya Allah murka kepadanya dan Allah pun menjadikan manusia murka kepadanya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2416)1
Oleh karena itu, bertakwalah kalian kepada Allah l, wahai para hamba Allah l! Berhati-hatilah dari berbagai sebab yang mendatangkan kemurkaan-Nya, berpeganglah dengan kitab Rabb kalian dan sunnah Nabi kalian, karena sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah.
(Dinukilkan dengan beberapa perubahan dari kitab al-Khuthab al-Minbariyah fil Munasabat al-‘Ashriyah, Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah, 4/ 72—76, oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah)
Catatan Kaki:
1 Dalam ash-Shahihah no. 2311, disebutkan hadits Aisyah x secara marfu’ yang berbunyi,
مَنْ أَرْضَى اللهَ بِسَخَطِ النَّاسِ كَفَاهُ اللهُ النَّاسَ، وَمَنْ أَسْخطَ اللهَ بِرِضَى النَّاسِ وَكَّلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ
“Siapa yang membuat Allah l ridha walaupun menyebabkan manusia marah, Allah l akan mencukupinya dari manusia. Namun, siapa yang membuat Allah l murka karena mencari keridhaan manusia, Allah l akan menyerahkannya kepada manusia (tidak mau mengurusinya).”