Allah l berfirman:
“Dia membuat perumpamaan untukmu dari dirimu sendiri. Apakah ada di antara hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu, maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal. Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan; maka siapakah yang akan menunjuki orang yang telah disesatkan Allah? Dan tiadalah bagi mereka seorang penolong pun.” (ar-Rum: 28—29)
Ini adalah dalil kias. Dengan dalil ini, Allah l berhujah terhadap orang-orang musyrik yang mempersekutukan Allah l dengan makhluk-Nya. Allah l menegakkan hujah yang telah mereka ketahui kebenarannya, tidak perlu yang lain untuk menegakkan hujah tersebut. Sungguh termasuk hujah yang paling kuat, (jika) seseorang mengambilnya dari (keadaan) dirinya, lalu dia berhujah terhadap dirinya dengan sesuatu yang telah dia akui dan telah dia ketahui.
Allah l pun mengatakan (yang maknanya), “Apakah kalian memiliki budak-budak, baik yang laki-laki maupun perempuan serta menjadi serikat kalian dalam pemilikan harta dan keluarga?”
Yakni, menyertai kalian dalam hal kepemilikan harta dan keluarga sehingga kalian dan mereka sederajat. Kalian tentu khawatir kalau mereka membagi harta kalian setengah-setengah bersama mereka, dan mereka mendahulukan diri mereka daripada kalian pada sebagiannya, sebagaimana lazimnya seorang serikat khawatir terhadap teman serikatnya.
Ibnu Abbas c menafsirkan, “(Yakni) kalian khawatir mereka mewarisi harta kalian sebagaimana halnya sebagian kalian mewarisi harta yang lain.”
Maknanya, apakah seseorang di antara kalian rela apabila budaknya menjadi serikatnya dalam memiliki harta dan keluarga kalian sehingga menyamai kalian dalam menggunakannya? Tentu dia khawatir, nanti budak itu akan menguasai sendiri hartanya dan menggunakannya sekehendaknya, sebagaimana halnya serikat yang merdeka mengkhawatirkan hal itu. Kalau kalian tidak rela hal yang seperti itu terhadap diri kalian sendiri, mengapa kalian menjadikan sesuatu dari makhluk-Ku sebagai serikat bagi-Ku, padahal dia adalah milik-Ku?! Kalau kalian menilai, ini adalah sesuatu yang tidak benar menurut fitrah dan akal kalian, padahal itu bisa dan mungkin terjadi pada diri kalian—karena budak kalian pada hakikatnya bukan milik kalian, melainkan saudara kalian sendiri yang dijadikan oleh Allah l berada di bawah kekuasaan kalian, dan kalian juga mereka adalah hamba-Ku—, mengapa kalian menganggap boleh hukum tersebut untuk-Ku? Padahal yang kalian jadikan sebagai serikat-Ku adalah hamba-Ku, milik-Ku, dan ciptaan-Ku.
Sungguh, ini termasuk sesuatu yang sangat mengherankan dan sangat menunjukkan kebodohan seseorang yang menjadikan serikat dan tandingan bagi Allah l. Sesungguhnya, apa yang ia jadikan sebagai serikat itu bakal sirna. Tidak akan bisa menyamai Allah l dan tidak berhak mendapatkan ibadah sedikit pun.
“Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat”, yakni menjelaskannya dengan permisalan-permisalan, “Bagi orang-orang yang berakal”, yakni memahami hakikat sesuatu dan mengetahuinya. Adapun seorang yang tidak berakal, bagaimanapun diterangkan mengenai ayat-ayat-Nya, niscaya ia tidak memiliki kemampuan untuk memahami penjelasannya. Untuk orang-orang yang berakallah ditujukan pembicaraan dan keterangan.
Apabila telah diketahui dari permisalan ini bahwa seseorang yang telah menjadikan selain Allah l sebagai tandingan bagi-Nya, lalu ia mengibadahinya, bertawakal kepadanya dalam segala urusannya, dia tidak memiliki sisi kebenaran sedikit pun. Lantas, apa yang menyebabkannya berani melakukan sesuatu yang batil dan telah dijelaskan kebatilannya serta tampak buktinya?
Sesungguhnya, yang mendorong mereka berbuat demikian adalah ketundukan kepada hawa nafsu. Oleh karena itu, Allah l berfirman:
“Tetapi orang-orang yang zalim, mengikuti hawa nafsunya tanpa ilmu pengetahuan.” (ar-Rum: 29)
Yakni nafsu mereka yang bodoh. Kebodohannya tampak dari sesuatu yang nafsunya bergantung padanya. Nafsu tersebut menginginkan sesuatu yang telah dipastikan rusaknya oleh akal. Fitrah pun pasti menolaknya, tanpa ilmu yang membimbing mereka dan bukti yang menuntun mereka.
“Maka siapa yang dapat memberi petunjuk orang yang telah Allah l sesatkan”, yakni, kalian jangan heran apabila mereka tidak mendapatkan hidayah karena Allah l telah menyesatkan mereka dengan sebab kezaliman diri mereka sendiri. Tiada jalan untuk menunjuki orang yang disesatkan oleh Allah l karena tidak ada seorang pun yang dapat menentang dan melawan-Nya dalam hal kekuasaan-Nya.
(Diterjemahkan dari I’lam al Muwaqqi’in oleh al-Ustadz Qomar Suaidi dengan penambahan dari Tafsir as-Sa’di)