Menyusui anak yang sudah besar/dewasa

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sebagian ulama berpendapat, penyusuan itu kapan saja terjadi walau hanya sekali, maka ditetapkan hukumnya berdasarkan kemutlakan yang disebutkan dalam ayat. Akan tetapi as-Sunnah memberikan batasan lima kali susuan, sebelum anak itu disapih, karena penyusuan sebelum penyapihanlah yang memberi pengaruh hingga menumbuh-kembangkan tubuh.

Dengan demikian, tidaklah teranggap penyusuan yang kurang dari lima susuan dan tidaklah teranggap penyusuan ketika telah besar. Namun sebagian orang membantah hal ini dengan kisah Salim maula Abu Hudzaifah, di mana sebelumnya Abu Hudzaifah ini mengangkat Salim sebagai anak. Ketika Salim telah besar, istri Abu Hudzaifah merasa keberatan Salim masuk ke rumahnya. Ia pun minta fatwa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,

أَرْضِعِيْهِ تَحْرُمِي عِلَيْهِ

“Susuilah Salim, niscaya engkau akan menjadi haram baginya (karena telah menjadi ibu susunya).”

Lalu bagaimana menjawab hal ini? Sebagian ulama menjawab bahwa hal ini merupakan kekhususan bagi Salim. Sebagian ulama yang lain mengatakan hal ini mansukh (dihapus hukumnya/ tidak berlaku lagi). Sebagian ulama mengatakan, masalah penyusuan ketika telah besar, hukumnya umum dan jelas tidak terhapus. Pendapat inilah yang benar, tetapi hukum umumnya dikhususkan terhadap orang yang keadaannya seperti Salim maula Abu Hudzaifah.

Kami tidak mengatakan hukum ini mansukh (terhapus) karena di antara syarat menetapkan mansukhnya suatu hukum adalah adanya pertentangan dengan perkara lain dan tidak mungkin mengumpulkan perkara-perkara yang saling bertentangan tersebut, di samping adanya pengetahuan mana yang paling akhir dari perkara-perkara itu.

Kami pun tidak mengatakan hukum ini khusus (bagi Salim) karena tidak didapatkan satu hukum dalam syariat Islam yang khusus berlaku untuk satu orang selama-lamanya, namun yang ada hanyalah pengkhususan sifat hukum tersebut, karena syariat itu adalah makna-makna yang umum dan sifat-sifat yang umum yakni hukum-hukum syariat berkaitan dengan makna-makna dan sifat-sifat bukan dengan individu-individu.

Dengan demikian tertolaklah bila dikatakan hukum ini khusus bagi seseorang yang bernama Salim dan tidak meliputi orang yang berada dalam makna hukum ini. Dengan demikian, seandainya ada orang yang mengambil seorang anak angkat sehingga anak tersebut sudah seperti anaknya sendiri, bebas keluar masuk menemui keluarganya dan mereka pun menganggapnya seperti bagian dari mereka, (padahal anak angkat itu sudah besar), istri orang ini pun terpaksa menyusui anak angkat tersebut agar ia tetap bisa keluar masuk menemui mereka, maka kami katakan boleh wanita tadi menyusui anak angkat tersebut.

Namun hal seperti ini di waktu sekarang tidak mungkin terjadi karena syariat telah membatalkan hukum mengangkat anak (tidak boleh lagi ada anak angkat yang kemudian dinasabkan kepada ayah angkatnya)1[1].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُوْلَ عَلىَ النِسَاءِ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ الْحَمْوُ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ

“Hati-hati kalian masuk menemui para wanita (yang bukan mahram)”

Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, apa pendapatmu dengan ipar ?

Beliau menjawab, “Ipar adalah kematian.”

Seandainya ada penyusuan ketika telah besar niscaya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengatakan, “Ipar itu hendaklah disusui oleh istri saudara laki-lakinya,” hingga ia bisa masuk menemui istri saudara laki-lakinya tersebut. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikan pengarahan dan bimbingan yang demikian itu. Dengan begitu diketahuilah setelah dibatalkannya hukum anak angkat, penyusuan ketika telah besar tidak mungkin didapatkan lagi.” (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 1/409—410)


[1] Lihat majalah Asy Syariah No. 09/I/1425 H, hlm. 74