Merenungi Rentetan Peristiwa di IAIN

Sungguh memilukan, hati terasa tersayat-sayat, kalbu serasa berontak, dan emosi meluap, saat mendengar, membaca, bahkan melihat berbagai kejadian yang amat memukul, terjadi di berbagai instansi berlabel Islam, entah itu institut, sekolah tinggi, atau universitas Islam.Tercatat sebuah perubahan besar dalam sejarah IAIN[1], dengan munculnya Harun Nasution[2] yang menawarkan berbagai perubahan dengan mengusung slogan “Islam Rasional”. Bukunya yang kontroversial, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, dikukuhkan oleh Departemen Agama RI—berdasarkan rapat rektor IAIN se-Indonesia pada bulan Agustus 1973 di Ciumbuleuit Bandung—sebagai buku wajib bagi setiap mahasiswa IAIN, apa pun fakultas dan jurusannya. Kala itu, buku ini mendapat tantangan dan reaksi yang sangat keras dan tajam dari Prof. Dr. H.M. Rasjidi—Menteri Agama RI pertama—. Beliau khawatir akan pengaruh buku tersebut bagi angkatan muda Islam, karena menurutnya:

“Karangan Dr. Harun Nasution yang diwajibkan untuk dipelajari mahasiswa IAIN adalah buku yang penuh fikiran kaum orientalis yang beragama Kristen.

  1. Pernyataan bahwa Tuhan tidak perlu ditakuti tetapi dicintai, adalah kata Kristen.
  2. Agama monotheisme adalah Islam, Yahudi, Kristen (Protestan dan Katolik), dan Hindu; adalah fikiran comparative religious yang ditimbulkan oleh orang-orang yang mengaku berdasar ilmiah dengan tidak berguna sedikitpun.
  • Orang-orang yang kotor tidak akan diterima kembali ke sisi yang Mahasuci, adalah ekspresi Kristen, pengaruh dari Neo Platonisme dan Gnosticisme.”[3], demikian ungkapnya.

Dari UIN Syarif Hidatullah Jakarta, tercetak tokoh-tokoh liberal yang bertitel tinggi, siap mengerahkan kemampuannya untuk menjunjung tinggi panji-panji liberalisme dalam beragama, semacam Azyumardi Azra, Kautsar Azhari Noer, Komarudin Hidayat, Abdul Muqsith Ghozali, Siti Musdah Mulia, dan sederet nama lainnya.

Dari IAIN Sunan Gunung Djati (kini UIN Sunan Gunung Djati, red.) Bandung, meledak kejadian yang sangat menghebohkan. Diperankan oleh anak-anak muda berpenampilan mirip berandalan, berambut panjang dengan mulut yang tersumbat rokok, dan berjalan sombong, mengajak mahasiswa baru untuk berzikir dengan mengucapkan “anjing-hu akbar.” Tiada rasa takut dan tiada rasa malu. Ucapan kekafiran itu bahkan ia keluarkan dengan penuh kecongkakan. Terdengar pula sebelumnya suara sambutan dari yang lain, “Selamat bergabung di area bebas tuhan!” Suara ingkar atas kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala itu pun terdengar oleh para mahasiswa baru yang dia sambut. Menyusul pula berikutnya teriakan “…Tuhan yang takut kepada akal manusia… Tuhan pengecut,” bersama kata-kata ingkar dan kekafiran yang lain saling menyahut. Seolah kekafiran yang dilombakan untuk diperebutkan oleh anak-anak muda mirip berandal tersebut. Subhanallah, hanya kepada-Mu kami mengadu.

Dari IAIN Walisongo Semarang, terbit sebuah jurnal yang kemudian dibukukan. Judulnya, Indahnya Kawin Sesama Jenis. Tanpa sopan santun dan rasa malu, penulisnya mengajak untuk melegalkan perkawinan sesama lesbian dan sesama gay, disertai dengan arogansi penghinaan terhadap Nabiyullah Luth ‘alaihissalam serta sikap membabi buta dalam mengingkari ayat dan kandungannya.

Tersentak pula jiwa ini ketika membaca bahwa IAIN Sunan Kalijaga (kini UIN Sunan Kalijaga, red.) Yogyakarta telah meluluskan sebuah tesis dengan judul Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan. Tanpa menyadari kadar dirinya dan menyadari kebesaran Rabbnya sekaligus kalam-Nya, penulis tesis itu menggoreskan tinta penanya untuk menggugat wahyu ilahi. Apa lagi yang tersisa dari agama ini bila wahyu telah dilancangi?!

Terdengar dari IAIN Sunan Ampel Surabaya, seorang dosen mencoreng kesucian wahyu. Dengan penuh “keberanian” terhadap Penciptanya, ia tuliskan lafadz Allah subhanahu wa ta’ala dalam secarik kertas lalu menginjak-injaknya, sembari menunjukkan penghinaan.

Hasbunallah wa ni’mal wakil. Saya menarik nafas panjang-panjang dengan pikiran yang penuh gundah gulana. Tak habis pikir. Duduk termenung sambil bertanya-tanya, “Sejauh inikah kerusakan? Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini…?” Menggelayut dalam pikiran saya, “Apa yang mesti saya perbuat?” “Ingin hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai,” itulah ungkapan yang tepat untuk apa yang tersimpan dalam dada ini.

Namun saya harus berbuat sebatas kemampuan yang ada, walau sekadar kritik yang membangun. Kaum muslimin sendiri juga harus berbuat. Semuanya itu tidak boleh dibiarkan bergulir, menggelinding bagai bola salju, yang pada akhirnya anak-anak kaum muslimin menjadi korbannya.[4]

Wallahul musta’an.

Ditulis oleh Al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc


[1] Istilah IAIN sebenarnya hanya mewakili dari keseluruhan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang meliputi PTAIN (STAIN, IAIN, dan UIN), PTAIS, dan Fakultas Agama Islam (FAI) di PT umum. Penggunaan istilah ini hanya untuk memudahkan, namun juga tidak untuk menggeneralisasi.

[2] Mantan Rektor (1973—1984) dan Dekan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia memperoleh gelar MA dan Doktor dari Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, Kanada. Gelar doktornya ia peroleh pada tahun 1968.

[3] http://www.scribd.com/doc/5485468/TOKOH-JIL-HARUN-NASUTION

[4] Catatan: mayoritas penukilan yang sifatnya data dalam artikel ini dan yang setelahnya diambil dari buku 50 Tokoh Islam Liberal Indonesia dan kata pengantarnya.