Pahitnya Tawakal, Nabi Ibrahim dan Sara di Mesir bagian 2

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

Nabi Ibrahim q menantang mereka agar bertanya kepada berhala paling besar yang masih utuh dan berkalung kapak….
Mereka tertunduk diam seribu bahasa. Sejenak kemudian, mereka berkata, “Hai Ibrahim, bukankah kamu tahu patung-patung ini tidak bisa bicara?”
“Kalau begitu, mengapa kalian menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat dan mudarat sedikit pun kepada kalian?” kata Nabi Ibrahim q, “Alangkah celaka dan ruginya kalian.”
Ketika alasan mereka dipatahkan dengan sangat mudah oleh Nabi Ibrahim q—demikianlah semua bentuk kesyirikan; tidak ada dasarnya—, bangkitlah kesombongan mereka. Apalagi ketika melihat penguasa berpihak kepada mereka dan jumlah mereka banyak. Mulailah mereka menggunakan kekuatan dan kekuasaan. Tak ada alasan bagi mereka selain karena ingin membela budaya leluhur, adat istiadat, kehormatan orang-orang tua, persatuan, dan lain-lain.
“Bakarlah dia! Ayo, bela sesembahan kalian!” seru mereka.
Nabi Ibrahim ditangkap dan diikat, sementara mereka bersegera mencari kayu api untuk membakarnya. Tak lama kemudian, kayu bakar pun terkumpul bagaikan bukit. Mereka mulai menyalakan api, dan berkobarlah api yang sangat besar, mengerikan. Dalam keadaan terikat, Nabi Ibrahim q diletakkan pada salah satu manjanik (pelontar peluru/batu), lalu dilemparkan ke dalam kobaran api tersebut. Diceritakan, bahwa yang melontarkannya adalah ayahnya sendiri, Azar. Wallahu a’lam bish-shawab.
Pada waktu dilemparkan itu, beliau mengucapkan:
حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
“Cukuplah Allah bagiku, dan Dia sebaik-baik Pelindung.” (HR. al-Bukhari no. 4563 dari Ibnu ‘Abbas c)
Ketika beliau q sedang melayang di udara itu, tiba-tiba Jibril q datang menawarkan bantuannya, “Apakah engkau membutuhkan sesuatu?”
Nabi Ibrahim q berkata, “Adapun kepadamu, tidak. Akan tetapi, kalau kepada Allah, tentu.” (Tafsir Ibnu Katsir, Surat al-Anbiya)
Sebuah keyakinan yang kokoh bagai karang di lautan yang tak goyah diterjang ombak yang ganas. Meski ditawarkan, oleh makhluk yang dikatakan Allah l:
ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ
“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.” (an-Najm: 5—6)
Dan:
ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ
“Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arsy, yang ditaati di sana lagi dipercaya.” (at-Takwir: 19—21)
Nabi Ibrahim q sama sekali tidak meminta kepada Jibril q, tetapi beliau ditawari bantuan oleh Jibril q. Akan tetapi, ternyata tawaran itu pun ditolak oleh Ibrahim karena sangat yakin akan pertolongan Allah l. Kenyataan ini tentu saja bertolak belakang dengan perbuatan para pemuja (penyembah) wali-wali Allah.
Mereka—para pemuja wali-wali tersebut—berdalih dengan kisah ini, bahwa seandainya istighatsah kepada sesuatu selain Allah l dilarang atau kesyirikan, tentu Jibril tidak akan menawarkannya kepada Ibrahim. Mahasuci Allah yang mengunci mati hati-hati mereka. Ke manakah akal yang mereka bangga-banggakan?
Bukankah tidak sama apa yang mereka lakukan dengan apa yang dialami Khalil Allah yang mulia ini?
Tidakkah mereka memerhatikan bahwa apa yang mereka lakukan sangat jauh bedanya dengan apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim q?
Mereka datang meminta kepada para wali, beriba-iba, memelas, menangis, merintih, bahkan kadang-kadang histeris memohon pertolongan kepada jasad-jasad yang sudah terbujur di balik kafan mereka, atau tidak diketahui di mana dan bagaimana keadaannya? Adapun Nabi Ibrahim q sama sekali tidak meminta dan mengharapkan pertolongan siapa pun selain Allah l. Buktinya adalah ucapan beliau, “Cukuplah Allah bagiku, dan Dia sebaik-baik Pelindung.”
Bahkan, tawaran Jibril q pun beliau tolak.
Kalimat manakah yang lebih sempurna menunjukkan ketawakalan selain ucapan ini?
Seandainya ada seorang hartawan melihat seorang yang miskin lalu menawarkan sebagian hartanya kepada orang miskin itu, apakah sebagai pinjaman, utang, ataukah hadiah, tanpa imbalan apa pun, tetapi si miskin tersebut sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah l kepadanya, dan bersabar, lalu menolak secara halus tawaran si hartawan, dapatkah dikatakan si miskin ini meminta bantuan kepada si hartawan tersebut?
Bandingkanlah istighatsah yang dilakukan oleh para pemuja wali dan apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim q. Tidakkah kalian memikirkan?
Adapun Jibril, dengan kekuatannya, yang telah dijelaskan Allah l dalam ayat di atas, dia mampu—setelah izin Allah l—menyelamatkan Khalil Allah, Ibrahim q, dari kobaran api yang dahsyat itu. Dengan kemampuannya, Jibril bisa saja menghancurkan orang-orang yang ada di sekitar api tersebut. Dengan kehebatannya, Jibril q bisa saja mengambil api itu lalu melemparkannya ke timur atau ke barat. Atau memadamkan api itu dan meletakkan Nabi Ibrahim q ke tempat yang sangat jauh.
Sungguh, Mahabenar Allah yang berfirman:
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu selain kesesatan.” (Yunus: 32)
Ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal!

Arti Sebuah Kejujuran
Itulah ‘kedustaan’1 yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim q dalam hidupnya, yang sebetulnya adalah tauriyah atau ta’ridh, bukan murni kedustaan. Mengapa? Karena makna batin yang ada dalam kalimat tersebut adalah hakiki, sesuai dengan kenyataan. Artinya, ketika beliau mengatakan kepada Raja Mesir yang zalim itu bahwa Sarah adalah saudaranya, adalah benar. Walaupun seorang istri bukanlah saudara suaminya, tetapi beliau menginginkan makna yang sesungguhnya, bahwa Sarah adalah saudaranya di jalan Allah l, sama-sama mukmin.
Demikian pula jawaban beliau ketika ditanya siapa yang menghancurkan patung-patung yang disembah oleh bangsanya, bahwa yang melakukannya adalah yang paling besar.
Akan tetapi, itu pun beliau nyatakan sebagai sebuah kesalahan besar. Mengapa? Tidak lain karena sikap Nabi Ibrahim q yang sangat memuliakan Allah l, sehingga rasa malu dan takutnya kepada Allah l membuat beliau segan memintakan syafaat kepada Allah l untuk manusia.
Seandainya hal itu dianggap dusta, lalu menjadi sebab terhalangnya beliau memberi syafaat, tentu perkataan beliau ketika melihat bintang, bulan, dan matahari—sebagaimana dalam firman Allah l:
“Inilah rabbku…” (al-An’am: 76)
lebih pantas dikatakan sebagai kedustaan.
Padahal, ucapan beliau sebagaimana dalam firman Allah l:
“Sesungguhnya saya sakit.” (ash-Shaffat: 89)
tidak ada indikasi yang mengarah kepada kedustaan. Sakit itu sendiri, tidak hanya menyerang fisik, tetapi juga batin seseorang, Lebih-lebih lagi Nabi Ibrahim q. Siapakah yang tidak merasa sakit batinnya, tidak perih hatinya, melihat hak Allah q dilanggar, kesyirikan menyebar di mana-mana?
Alhasil, tidak mungkin seorang mukmin, apalagi seagung Khalil Allah Ibrahim q, berdusta. Tiga tauriyah itu pun tidak beliau lakukan melainkan dalam kondisi sangat darurat.
Alangkah jauhnya kita dari jalan yang telah mereka contohkan. Begitu mudah kita menggoyang lidah melepas beribu dusta. Tidak hanya dalam pembicaraan biasa, melainkan juga dalam bersumpah—dengan menyebut nama Allah l.
Wallahul musta’an.

Catatan Kaki:

1 Ketika Nabi Ibrahim mengucapkan:
“Bahkan, telah melakukannya yang paling besar ini.” (al-Anbiya: 23)
sebenarnya beliau tidak berdusta. Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud ucapan beliau ﭼ ﭽ adalah “Bahkan (dia) telah melakukannya” titik! Lalu berhenti sejenak dan menyatakan ﭾ ﭿ “Inilah yang besar”, sebagai kalimat baru yang terpisah. Ada juga yang mengarahkannya kepada makna yang lain. (Lihat Zadul Masir karya Ibnul Jauzi -ed.)