Pengaburan MAKNA Ulama

Mendefinisikan ulama memang sangat subjektif. Tanpa merujuk dalil, standar kapasitas keilmuan—seperti memahami ilmu hadits, mengerti kaidah bahasa Arab, atau yang terpenting apakah ulama tersebut berada di atas akidah yang benar—umumnya menjadi perkara belakangan. Yang muncul adalah ulama versi masing-masing. Yang di luar kelompoknya, dinistakan dengan membabi buta. Saat ini, asal seide, sepemahaman, atau hanya karena separtai, demikian mudahnya gelar ulama atau ustadz disematkan. Kesesatan yang diajarkan, akidah menyimpang yang digemakan, atau kebid’ahan yang diserukan, diabaikan begitu saja. Yang lebih miris, dalil (ayat al-Qur’an atau hadits sahih) justru ditolak. Demikianlah jika fanatisme telah kokoh bertakhta di hati orang-orang yang taklid.
Lebih memilukan, ada “ulama” instan karena sering muncul di televisi, laris bak artis. Jangankan memahami ilmu hadits dan sanad-sanadnya, bahasa Arab saja nol besar. Lantas bagaimana mereka bisa memahami agama ini dengan benar? Alhasil, muncullah ustadz-ustadz “instan” yang tak hanya miskin ilmu, tetapi gegabah dalam berfatwa.
Padahal apabila berkaca pada ulama-ulama salaf yang keilmuannya tak diragukan, mereka sangat berhati-hati dalam berfatwa. Sementara itu, apabila kita melihat fakta sekarang, demikian mudah fatwa itu dilontarkan. Ustadz selebritas, tokoh masyarakat yang hanya baca satu dua buku terjemahan, hingga kalangan awam yang bisa dikatakan jauh dari memahami apa itu Islam dengan entengnya berfatwa. Kadang tanpa disertai dalil atau menggunakan dalil namun tidak pada tempatnya, berfatwa dengan logika, bahkan tak jarang emosional.
Sebagai seorang muslim, kita memang dituntut bersikap proporsional. Di satu sisi kita tidak boleh menistakan ulama, namun di sisi lain kita dilarang berlebih-lebihan dalam memuliakannya. Mereka tidaklah maksum layaknya rasul. Kesalahan sebagai manusia mesti mengiringi langkah mereka. Kekeliruan dalam ijtihad bisa saja lahir dari fatwa mereka. Oleh karena itu, sangat mungkin ada dari kita ketika posisi i’tidal tangannya bersedekap karena mengikuti asy-Syaikh Ibnu Baz. Namun, dalam menggerak-gerakkan telunjuk ketika tasyahud lebih sependapat dengan asy-Syaikh al-Albani. Namun, sekali lagi, itu semua tidak lantas menjadi cacat ulama, karena perbedaan yang terjadi memang bukan dalam hal-hal prinsip dalam Islam, bukan perkara akidah yang perlu disikapi secara tersendiri.
Jangan sampai kita bersikap seperti kalangan pergerakan Islam yang tutup mata dengan penyimpangan-penyimpangan “ulama” mereka, bahkan mencari pembenaran bagi “ulama-ulama” mereka. Alih-alih kritis terhadap fatwa mereka, kesesatan akidah “ulama-ulama” mereka justru dianggap angin lalu.
Orang-orang yang hendak menyatukan Islam dan kekafiran (Syiah Rafidhah) diulamakan dan disebut bapak persaudaraan; yang mencela sahabat Rasulullah n dipuja-puja—bahkan digelari asy-syahid—; tokoh yang lisannya mengafirkan para sahabat g serta menyerukan permusuhan terhadap Ahlus Sunnah, justru dielu-elukan sebagai bapak revolusi Islam, orang yang menyerukan liberalisasi Islam justru disebut cendekiawan muslim, dan sebagainya.
Umat pun dibuat bingung. Umat justru menjauh dari ulama-ulama Rabbani; ulama-ulama yang benar-benar berjuang menegakkan syariat-Nya dan sunnah Nabi-Nya, ulama-ulama yang lebih mencintai hadits daripada politik praktis, serta ulama yang lantang menyuarakan kebenaran bahkan rela pasang badan melawan kesesatan. Alhasil, ulama dan definisi ulama menjadi kian kabur.