Penyimpangan-Penyimpangan dalam Safar

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar)

 

1. Wanita safar tanpa mahram

Adalah anggapan yang keliru bahwa Islam mengesampingkan kaum wanita atau merendahkan mereka. Namun justru sebaliknya. Islam sangat memerhatikan dan memuliakan mereka. Sebagai bentuk penjagaan terhadap mereka, Islam melarang seorang wanita safar sendirian (tanpa mahram) karena wanita bisa mengundang syahwat/fitnah yang bisa menjerumuskan pada perbuatan keji. Di sisi lain, mereka hampir-hampir tidak bisa melindungi diri karena kelemahan dan kekurangan yang ada pada mereka. Dan tidaklah ada yang memiliki kecemburuan untuk melindungi kaum wanita seperti yang dimiliki oleh mahram-mahramnya.

Oleh karena itu, Rasulullah n melarang seorang wanita safar tanpa mahram sebagaimana dalam sabdanya:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahram1nya.” (Muttafaqun alaihi dari Abu Hurairah z)

Atas dasar ini kita nasihatkan kepada para ayah atau para wali agar tidak membiarkan istri, anak perempuan, atau saudarinya safar tanpa mahram. Terlebih lagi hanya dalam rangka bekerja sebagai TKW, baik di dalam maupun di luar negeri. Karena kita mendengar dan menyaksikan kemungkaran-kemungkaran yang terjadi akibat mereka safar sendirian (tanpa mahram) ke daerah/negeri lain. Semoga Allah l menyelamatkan kita semua.

Demikian pula apa yang banyak terjadi di negeri kita, sebagian muslimah menunaikan ibadah haji tanpa disertai mahram. Mereka hanya mengikuti rombongan muslimah lain yang memiliki mahram (mahram titip).

Ulama telah menjelaskan tentang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz t dalam fatwanya menjelaskan:

Pertanyaan: Seorang wanita tidak memiliki mahram di mana dia dikenal sebagai wanita yang baik. Dia hendak menunaikan haji fardhu. Bolehkah ia pergi berhaji (ikut) bersama wanita-wanita lain yang memiliki mahram?

Jawaban Asy-Syaikh Ibnu Baz t:

Wanita yang tidak memiliki mahram, tidak berkewajiban menunaikan ibadah haji. Karena mahram bagi wanita termasuk syarat “menempuh perjalanan”, dan kemampuan untuk “menempuh perjalanan” merupakan syarat diwajibkannya haji (bagi seseorang). Allah l berfirman:

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang mampu menempuh perjalanan ke Baitullah.” (Ali Imran: 97)

Tidak boleh bagi wanita untuk safar menunaikan haji atau untuk yang selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya. Dengan dalil hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari, bahwa beliau n bersabda:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Tidak halal bagi wanita safar sejauh perjalanan sehari semalam kecuali bersama mahram.”

Juga hadits Ibnu ‘Abbas c bahwa beliau mendengar Nabi n bersabda:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ وَلَا تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Tidak (diperbolehkan) seorang laki-laki berkhalwat (berduaan) dengan wanita kecuali bersama mahram (wanita tersebut), dan tidaklah (diperbolehkan) seorang wanita safar kecuali bersama mahram.”

Maka berdirilah seorang lelaki kemudian berkata: “Wahai Rasullah, sesungguhnya istriku pergi berhaji dan aku telah diwajibkan untuk berangkat perang ini dan itu.” Rasulullah n berkata: “Pulanglah kemudian berhajilah bersama istrimu!”

Yang berpendapat seperti ini adalah Al-Hasan, An-Nakha’i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, dan Ashabur Ra’yi. Ini adalah pendapat yang shahih, karena pendapat ini sesuai dengan keumuman hadits-hadits tentang larangan bagi wanita untuk safar tanpa suami ataupun mahram.

Yang menyelisihi pendapat ini adalah Malik, Asy-Syafi’i, dan Al-Auza’i. Mereka semua mensyaratkan suatu syarat yang tidak ada hujjah bagi syarat itu. Ibnul Mundzir berkata: “Mereka meninggalkan berpendapat dengan dzahir (teks) hadits, dan mereka semua menyaratkan suatu syarat yang tidak ada hujjah bagi syarat itu.”

Allah l-lah yang memberikan taufiq. (Fatawa An-Nisa’ hal. 132-133, lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 1183, 4909)

 

2. Tayammum dalam Safar

Seorang musafir hendaknya tidak bermudah-mudah untuk mengganti wudhu dengan tayammum. Telah diajukan pertanyaan kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah tentang masalah ini (fatwa no. 4373).

Pertanyaan: Apakah bertayammum dalam safar itu mutlak (diperbolehkan) walaupun mendapatkan air?

Jawab:

Seorang musafir tidak boleh bertayammum kecuali dalam keadaan sakit yang apabila menggunakan air akan membahayakannya, atau karena tidak bisa menggunakan air atau mendapatkannya. Ini berdasarkan firman Allah l:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian shalat, sedang kalian dalam keadaan mabuk, sehingga kalian mengerti apa yang kalian ucapkan. (Jangan pula menghampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, kecuali sekadar berlalu saja, hingga kalian mandi. Dan jika kalian sakit atau sedang dalam safar atau kembali dari tempat buang air atau kalian telah menggauli istri, kemudian kalian tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah kalian dengan tanah yang baik (suci), usaplah muka dan tangan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa’: 43)

Allah l juga berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tangan kalian sampai ke siku, dan usaplah kepala kalian dan (basuh) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kalian junub maka mandilah dan jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau menggauli istri lalu kalian tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (suci). Usaplah muka dan tangan kalian dengan tanah itu. Allah tidak berkehendak menyulitkan kalian tetapi Dia hendak membersihkan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian supaya kalian bersyukur.” (Al-Maidah: 6)

Allah l mensyaratkan pergantian bersuci dengan air kepada bersuci dengan tanah (tayammum) tatkala mereka tidak mendapatkan air, berdasarkan apa yang shahih dari Nabi n bahwasanya beliau n bersabda:

جُعِلَتْ لَنَا الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَتُرْبَتُهَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

“Telah dijadikan bumi ini untuk kita dan tanahnya sebagai tempat sujud dan (dijadikan) tanah itu sebagai alat bersuci (tayammum) apabila kita tidak mendapatkan air.” (HR. Muslim)

Akan tetapi orang sakit yang tidak mampu menggunakan air (sendirian atau dibantu orang lain) atau termudaratkan dengan pemakaian air karena sakit yang ia derita, boleh baginya bertayammum walaupun ada air. Ini berdasarkan firman Allah l:

“Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kalian.” (Ath-Taghabun: 16)

Ketua: Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz

Wakil Ketua: Asy-Syaikh ‘Abdur Razaq ‘Afifi

Anggota: Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Ghudayyan dan Asy-Syaikh ‘Abdullah bin Qu’u.

 

3. Bermudah-mudah dalam memaknai rukhshah dalam shalat

a. Shalat fardhu di atas kendaraan

Al-Lajnah Ad-Da’imah telah menjelaskan permasalahan ini sebagaimana dalam fatwa mereka (8/123, no. 1375).

Pertanyaan: Apakah diperbolehkan bagi musafir untuk melakukan shalat fardhu di atas mobil, kereta api, pesawat terbang, atau hewan tunggangan, dalam keadaan ia khawatir terhadap jiwa dan hartanya? Apakah ia shalat (menghadap) kemana pun kendaraan itu mengarah, ataukah ia harus senantiasa menghadap kiblat, ataukah ia menghadap kiblat pada permulaan shalat saja?

Apabila jawaban pertanyaan di atas adalah ya, dan tidak ada kekhawatiran, juga bahwa kendaraannya berhenti pada beberapa tempat dengan waktu sebentar sekali, terkadang jika musafir (penumpang) pergi hendak menunaikan shalat fardhu, kendaraan telah pergi. Sehingga ia akan kehilangan barang (bawaan) atau yang lainnya.

Jawab:

Apabila penumpang mobil, kereta api, pesawat terbang, atau hewan tunggangan khawatir atas dirinya seandainya dia turun melaksanakan shalat fardhu; sementara seandainya dia mengakhirkan shalat tersebut sampai tiba di tempat yang tenang (aman) untuk melakukan shalat di sana, hilanglah waktu shalat tersebut; maka (hendaklah) dia melakukan shalat sesuai kemampuannya, berdasarkan keumuman firman Allah l:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)

Juga firman Allah l:

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (At-Taghabun: 16)

Juga firman Allah l:

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78)

Adapun keadaan dia shalat menghadap kemana pun kendaraan tersebut mengarah, atau harus selalu menghadap kiblat, atau hanya pada waktu pertama (takbiratul ihram) saja, ini kembali kepada kemampuannya. Apabila dia bisa menghadap kiblat dalam seluruh (gerakan) shalat, dia wajib melakukannya, karena hal itu termasuk salah satu syarat sah shalat fardhu tatkala safar maupun mukim.

Apabila tidak memungkinkan dalam seluruh (gerakan) shalat, maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah l sesuai kemampuannya, berdasarkan dalil-dalil yang telah lalu.

Ini semuanya dalam shalat fardhu. Adapun dalam shalat nafilah (sunnah) maka perkaranya lapang. Boleh bagi seorang muslim untuk melakukan shalat di atas kendaraannya kemana pun mengarah, walaupun ia mampu turun pada waktu-waktu shalat. Karena Nabi n melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya kemana pun mengarah. Namun, yang lebih utama adalah menghadap kiblat tatkala takbiratul ihram bila memungkinkan (untuk melakukan) shalat sunnah ketika ia berjalan dalam safar.

Allah l lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad n, keluarga, dan para sahabatnya.

Ketua: Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz,

Wakil Ketua: Asy-Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi

Anggota: Asy-Syaikh Abdullah bin Mani’.

 

b. Shalat fardhu dengan duduk di atas kendaraan dalam keadaan mampu berdiri

Al-Lajnah Ad-Da’imah telah menjelaskan permasalahan ini (8/126, fatwa no. 12087).

Pertanyaan: Apakah boleh shalat fardhu di atas pesawat terbang dalam keadaan duduk padahal mampu untuk berdiri, karena malu?

Jawab:

Tidak boleh melakukan shalat dalam keadaan duduk di atas pesawat terbang ataupun yang lainnya, apabila mampu berdiri. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah l:

“Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238)

Juga hadits Imran bin Hushain z yang diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari bahwasanya Nabi n berkata kepadanya:

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah dengan berdiri. Jika engkau tidak mampu maka dengan duduk. Jika engkau tidak mampu dengan tidur miring.”

An-Nasa’i t menambahkan dengan sanad yang shahih:

فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًَا

“Jika engkau tidak mampu maka dengan telentang.”

Allah l lah yang memberikan taufik. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita Muhammad n, keluarga dan para sahabatnya.

 

Hukum Safar ke Negeri Kafir

Safar ke negeri-negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali terpenuhi tiga syarat:

1. Memiliki ilmu untuk membantah syubhat-syubhat (kerancuan berpikir).

2. Memiliki agama yang mencegahnya dari hawa nafsu.

3. Ada kebuutuhan untuk melakukan safar.

Apabila ketiga syarat ini tidak sempurna/ terpenuhi, maka tidak boleh melakukan safar ke negeri-negeri kafir, karena di dalamnya terdapat fitnah (ujian, cobaan) atau kekhawatiran terjatuh ke dalam fitnah. Di dalamnya juga terkandung penyia-nyiaan harta.

Apabila ada kebutuhan, misalnya untuk berobat atau mencari ilmu yang tidak didapatkan di negerinya, maka hal ini tidaklah mengapa (boleh). Dengan syarat memiliki ilmu dan agama seperti yang telah disebutkan di atas.

Sedangkan safar dalam rangka rekreasi/berlibur ke negeri-negeri kafir, ini bukanlah kebutuhan. Karena dia bisa pergi tamasya ke negeri-negeri Islam yang menjaga penduduknya di atas syariat Islam.

 

Tinggal di Negeri Kafir

Ada dua syarat pokok untuk tinggal di negeri kafir:

1. Orang yang tinggal merasa aman (tenang) di atas agamanya.

Dia memiliki ilmu dan iman serta kekuatan yang menenangkan dirinya untuk tetap kokoh di atas agamanya. Juga untuk berhati-hati dari berbagai penyimpangan. Dia juga bisa menanamkan permusuhan dan kebenciannya dalam qalbunya terhadap orang-orang kafir, serta menjauhkan diri dari loyalitas dan kecintaan terhadap mereka.

2. Merasa tenang dalam menampakkan syiar-syiar Islam tanpa ada penghalang. Dia tidak dihalangi dari melakukan shalat lima waktu, shalat Jumat, zakat, puasa, haji, dan yang lainnya.

 

Macam-macam bentuk tinggal di negeri kafir

1. Tinggal di negeri kafir dalam rangka mendakwahkan Islam dan memberikan dorongan untuk (melaksanakan) syariat Islam. Ini termasuk bagian dari jihad, hukumnya fardhu kifayah bagi orang yang mampu melakukannya, dengan syarat perwujudan dakwah tersebut nyata dan tidak ada yang menghalangi dari dakwah atau menghalangi penerimaan dakwah tersebut. Karena sesungguhnya mendakwahkan Islam termasuk salah satu kewajiban agama. Itu adalah jalan para rasul. Nabi n memerintahkan untuk menyampaikan Islam ini pada setiap waktu dan tempat. Beliau n bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat.” (HR. Al-Bukhari)

 

2. Tinggal untuk mempelajari keadaan orang-orang kafir dan mengetahui kehidupan mereka seperti rusaknya akidah, batilnya peribadatan, hilangnya akhlak, dan jeleknya perangai mereka, dalam rangka mengingatkan manusia agar tidak tertipu dengan mereka. Juga untuk menjelaskan keadaan mereka yang sebenarnya kepada orang-orang yang mengagumi mereka.

Ini juga termasuk jihad, karena di dalamnya terkandung peringatan dari kekufuran dan para pemeluknya, yang juga meliputi dorongan untuk (melaksanakan syariat) Islam. Namun dengan syarat, tujuan yang hendak dicapai tersebut bisa terwujud tanpa mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Apabila tujuan tersebut tidak bisa terwujud karena ada yang menghalanginya, maka tidak ada faedahnya dia tinggal di negeri kafir itu. Bahkan dia wajib menahan diri (untuk tidak tinggal di negeri itu) bila tujuan tercapai namun mengakibatkan kerusakan yang lebih besar. Seperti, mereka membalas perbuatan tersebut dengan mencela Islam, utusan (duta) Islam, dan pemimpin Islam.

Hal ini berdasarkan firman Allah l:

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An’am: 108)

Yang semisal dengan ini yaitu tinggal di negeri kafir untuk melihat keadaan kaum muslimin di negeri itu, supaya diketahui tipu daya mereka terhadap kaum muslimin. Sehingga kaum muslimin berhati-hati dari mereka.

 

3. Tinggal di negeri kafir dalam rangka memenuhi kebutuhan pemerintah (negeri) muslim, serta pengaturan hubungan antara pemerintah muslim dengan pemerintah kafir, seperti kedutaan. Hukumnya disesuaikan dengan alasan tinggal di negeri itu.

4. Tinggal di negeri kafir dalam rangka kebutuhan khusus yang mubah, seperti berbisnis dan berobat. Yang seperti ini diperbolehkan tinggal di negeri itu sesuai dengan kebutuhan.

 

5. Tinggal di negeri kafir dalam rangka belajar.

Ini termasuk jenis tinggal (di negeri kafir) karena adanya kebutuhan. Namun ini lebih membahayakan agama dan akhlak pelajar tersebut.

Oleh karena itu, wajib untuk lebih berhati-hati dalam bentuk tinggal yang seperti ini daripada bentuk tinggal yang sebelumnya. Disyaratkan juga (selain dua syarat pokok di atas) beberapa hal berikut:

a. Pelajar tersebut memiliki kematangan akal yang dengannya dia bisa membedakan antara yang bermanfaat dan yang memudaratkan, serta berwawasan jauh ke depan.

b. Memiliki ilmu syariat, yang dengannya dia bisa membedakan antara yang haq (benar) dengan yang batil (salah), serta mampu mengalahkan kebatilan dengan kebenaran.

c. Memiliki agama yang menjaga (melindungi)nya dari kekufuran dan kefasikan.

d. Butuhnya terhadap ilmu itu, yaitu memberikan maslahat kepada kaum muslimin, dan tidak didapatkan ilmu yang semisalnya di institusi pendidikan di negerinya.

 

6. Tinggal dalam rangka menetap (menjadi penduduk)

Ini lebih berbahaya dari jenis sebelumnya karena kerusakan-kerusakan yang akan timbul dengan bercampur-baur bersama orang-orang kafir. Juga perasaan dia sebagai warga negara yang diwajibkan dengan tuntutan-tuntutan negara berupa kecintaan, loyalitas, dan memperbanyak jumlah orang kafir. Dia juga mendidik keluarganya di tengah-tengah penduduk yang kafir. Sehingga keluarganya akan menyerap (meniru) akhlak dan kebiasaan orang kafir. Terkadang juga mengikuti mereka dalam permasalahan akidah dan peribadatan.

Oleh karena itu, datang (sebuah berita) dalam hadits Nabi n:

مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهُ فَهُوَ مِثْلُهُ

“Barangsiapa bergaul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia semisal dengannya.”

Hadits ini walaupun sanadnya dhaif, tetapi memiliki sisi untuk diperhitungkan. Karena tinggal bersama (seseorang) itu menuntut untuk menyerupainya.

Diriwayatkan dari Qais bin Hazim, dari Jarir bin Abdullah z, bahwasanya Nabi n bersabda:

أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَلِمَ؟ قَالَ: لَا تُرَاءَى نَارَهُمَا

“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di tengah-tengah kaum musyrikin.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah (yang dimaksud tinggal di tengah-tengah mereka itu)?” Rasulullah n menjawab: “Janganlah saling terlihat api (yang ada di rumah) keduanya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dan kebanyakan perawinya meriwayatkan secara mursal dari Qais bin Hazim, dari Nabi n)

At-Tirmidzi berkata: “Saya mendengar Muhammad –yakni Al-Bukhari– berkata: ‘Yang benar, hadits Qais dari Nabi n adalah mursal’.”

Bagaimana jiwa seorang mukmin akan merasa senang (bahagia) tinggal di negeri-negeri kafir yang ditampakkan kepadanya syiar-syiar kekufuran. Hukum yang berlaku di dalamnya adalah hukum selain Allah l dan Rasul-Nya n, dalam keadaan ia menyaksikan hal itu dengan mata kepalanya, mendengar dengan kedua telinganya serta ridha dengannya. Bahkan ia menisbatkan diri kepada negeri tersebut. Dia tinggal di negeri tersebut bersama keluarga dan anak-anaknya. Dia merasa tenang dengan negeri tersebut sebagaimana ia merasa tenang dengan negeri-negeri muslimin. Padahal di tempat itu terdapat bahaya besar yang mengintai dirinya, keluarga dan anak-anaknya, dalam hal agama serta akhlak mereka. (Diambil dari Syarh Tsalatsatil Ushul hal. 131-138, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t, dengan beberapa perubahan). Wallahu a’lam.


1 Lihat pengertian mahram, catatan kaki hal. 8