Saat Cemburu Menyapa; bagian ke-1

Cemburu merupakan tabiat wanita. Ini juga dialami para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabiyyah yang lain. Namun tentu saja, kecemburuan ini tidak serta-merta membutakan hati mereka. Bagaimana dengan kita?

Cemburu tak hanya milik lelaki, tapi juga milik kaum wanita. Bahkan, wanitalah yang dominan memiliki sifat yang satu ini karena merupakan tabiatnya. Perasaan cemburu ini paling banyak muncul pada pasangan suami-istri. (Fathul Bari, 9/384)

Oleh karena itu, semestinya hal ini menjadi perhatian seorang suami. Sehingga ia tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar. Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela. Bahkan menjadi tanda adanya rasa cinta di hatinya. Tentunya selama tidak melampaui batasan syariat.

ghirah

Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah, asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata al-Hafizh rahimahullah, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).

Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)

Cemburu Melebihi Batas

Adakalanya kecemburuan seorang istri terhadap suaminya sangat berlebihan. Di benaknya seolah hanya ada sifat curiga. Bahkan tak jarang ia melemparkan prasangka buruk kepada suaminya dan tidak bisa menerima kenyataan bila suaminya memiliki istri yang lain.

gelas-penuh

Yang ironis adalah bila ada istri yang mengalami hal ini kemudian tidak dapat menahan diri dari perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan, seperti lari ke “orang pintar.” Dengan bantuan tukang tenung atau tukang sihir, ia berharap suaminya membenci madunya dan hanya mencintai dirinya. Padahal perbuatan sihir merupakan perbuatan kekufuran yang diharamkan, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala nyatakan dalam firman-Nya:

وَٱتَّبَعُواْ مَا تَتۡلُواْ ٱلشَّيَٰطِينُ عَلَىٰ مُلۡكِ سُلَيۡمَٰنَۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيۡمَٰنُ وَلَٰكِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ وَمَآ أُنزِلَ عَلَى ٱلۡمَلَكَيۡنِ بِبَابِلَ هَٰرُوتَ وَمَٰرُوتَۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٞ فَلَا تَكۡفُرۡۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِۦۚ وَمَا هُم بِضَآرِّينَ بِهِۦ مِنۡ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمۡ وَلَا يَنفَعُهُمۡۚ وَلَقَدۡ عَلِمُواْ لَمَنِ ٱشۡتَرَىٰهُ مَا لَهُۥ فِي ٱلۡأٓخِرَةِ مِنۡ خَلَٰقٖۚ وَلَبِئۡسَ مَا شَرَوۡاْ بِهِۦٓ أَنفُسَهُمۡۚ لَوۡ كَانُواْ يَعۡلَمُونَ ١٠٢

“Dan mereka (orang-orang Yahudi) mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman[1] (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidaklah kafir[2] akan tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidaklah mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanyalah cobaan bagimu, karena itu janganlah engkau berbuat kekafiran.’ Maka mereka mempelajari sihir dari keduanya yang dengannya mereka dapat memisahkan antara suami dengan istrinya. Tidaklah mereka dapat memberi mudarat kepada seorang pun dengan sihir tersebut kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sungguh mereka telah mengetahui bahwa barang siapa yang menjual agamanya (menukarnya) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. Betapa jelek perbuatan mereka menjual diri mereka dengan sihir itu seandainya mereka mengetahui.” (al-Baqarah: 102)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

اجْتَنِتُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قَالُوْا: ياَ رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ

“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Apa tujuh perkara itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Di antaranya) syirik kepada Allah, sihir’…” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)

Saking cemburunya, sebagian wanita bahkan ada yang sampai berangan-angan tidak dibolehkannya poligami dalam syariat ini[3]. Bahkan ada yang membenci syariat karena menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian suaminya bila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian, tapi lisannya digunakan untuk mencaci-maki madunya, meng-ghibah[4], dan menjatuhkan kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah al-Wadi‘iyyah, hlm. 158—159)

Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas wanita merasa mendapatkan musibah yang sangat besar kala suaminya menikah lagi. Semestinya bagi seorang mukminah, apa pun kenyataan yang dihadapi, semuanya itu disadari sebagai ketentuan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Semua musibah dan kepahitan yang didapatkan di dunia itu sangat kecil dibanding keselamatan agama yang diperolehnya.

Salahkah Bila Aku Cemburu?

Mungkin sering muncul pertanyaan demikian di kalangan para wanita. Maka jawabnya dapat kita dapati dari kisah-kisah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka pun ternyata memiliki rasa cemburu padahal mereka dipuji oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya:

يَٰنِسَآءَ ٱلنَّبِيِّ لَسۡتُنَّ كَأَحَدٖ مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِنِ ٱتَّقَيۡتُنَّۚ

“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan seorang wanita pun (yang selain kalian) jika kalian bertakwa…” (al-Ahzab: 32)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan bahwa istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak sama dengan wanita lain dalam hal keutamaan dan kemuliaan, namun dengan syarat adanya takwa pada diri mereka. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/115)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bertutur tentang cemburunya:

مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ الله كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا

“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebut dan menyanjungnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)

‘Aisyah radhiallahu ‘anha pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah:

كَأَنَّهَ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ: إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ

“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu5, dan aku mendapatkan anak darinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3818)[5]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Sebab kecemburuan ‘Aisyah karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak menyebut Khadijah  radhiallahu ‘anha meski Khadijah radhiallahu ‘anha telah tiada dan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha aman dari tersaingi oleh Khadijah radhiallahu ‘anha. Namun karena Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam sering menyebutnya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha memahami betapa berartinya Khadijah radhiallahu ‘anha bagi beliau. Karena itulah bergejolak kemarahan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya untuk mengatakan kepada suaminya, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.”

Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.”

Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, karena ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabiat wanita.” (Fathul Bari, 9/395)

Pernah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.”

Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5225)

piring-pecah

Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202)

Namun, bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti mengghibah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membiarkannya. Suatu saat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu.”

Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Aisyah:

لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ

“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya (yakni mencemarinya).” (HR. Abu Dawud no. 4232)

Juga kisah lainnya, ketika sampai berita kepada Shafiyyah radhiallahu ‘anha bahwa Hafshah  radhiallahu ‘anha mencelanya dengan mengatakan, “Putri Yahudi”, Shafiyyah menangis. Bersamaan dengan itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Maka beliau pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”

Shafiyyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?”

Kemudian beliau menasihati Hafshah radhiallahu ‘anha, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah.” (HR. an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa, hlm. 43 dan selainnya)

Wallahu a’lam.

(bersambung)

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah


[1] Setan-setan menyebarkan berita bohong bahwasanya Nabi Sulaiman ‘alaihissalam menggunakan ilmu sihir sehingga ia memperoleh kerajaan yang sedemikian besar. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/139)

[2] Dengan mempelajari sihir. (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 61)

[3] Bahkan poligami (ta’addud) perkara yang disyariatkan sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala:

فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً

“Nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi, dua, tiga, atau empat. Namun bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil di antara para istri, maka nikahilah satu wanita saja(an-Nisa: 3)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata, “Seorang lelaki terkadang tidak tercukupi syahwatnya dengan satu istri, maka dibolehkan baginya untuk menikahi wanita lain, satu demi satu, hingga terkumpul padanya empat istri. Pada jumlah ini terdapat kecukupan bagi setiap orang, kecuali orang tertentu yang jumlahnya sangat minim. Poligami ini juga dibolehkan bagi seseorang bila ia merasa dirinya aman dari berbuat aniaya dan zalim terhadap istri-istrinya serta ia percaya dapat menunaikan hak-hak mereka. Bila ia khawatir tidak dapat berlaku demikian, maka hendaknya ia mencukupkan dengan seorang istri.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 164)

Dan tentu ada hikmah-hikmah lain dalam poligami, seperti dijelaskan oleh para ulama. (red.)

[4] Ghibah, kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

“Engkau menyebut tentang saudaramu dengan apa yang tidak ia sukai.”

Lalu ada yang bertanya kepada beliau, “Apa pendapatmu, wahai Rasulullah, bila apa yang kuucapkan memang ada pada diri saudaraku?”

Beliau menjawab, “Bila memang apa yang kamu ucapkan itu ada pada diri saudaramu berarti engkau telah mengghibahnya, namun bila apa yang kau katakan itu tidak ada pada dirinya berarti engkau telah berkata dusta.” (HR. Muslim no. 2589)

[5] Yakni Khadijah radhiallahu ‘anha itu wanita yang memiliki keutamaan, wanita yang cerdas dan semisalnya. Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Dia beriman kepadaku ketika semua manusia mengkufuriku, dia membenarkan aku ketika semua manusia mendustakanku, dia mendukungku dengan hartanya ketika manusia menahannya dariku, dan Allah subhanahu wa ta’ala memberi rezeki kepadaku berupa anak darinya ketika aku tidak mendapatkan anak dari istri-istriku yang lain.” (Fathul Bari, 7/170)