Segenap Asa dalam Sebuah Nama

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)

Memberikan nama yang baik adalah salah satu tugas orang tua bagi anaknya yang baru lahir. Ada aturan-aturan yang harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi pemiliknya.

Sosok mungil itu telah ada dalam dekapan hangat sang ibu. Tibalah saat dia mendengar sapaan sang ayah yang penuh kasih sayang, memanggilnya dengan nama yang diberikan baginya. Nama yang indah, disertai dengan harapan yang membuncah, semoga perjalanan hidup si buah hati kelak akan sebaik nama yang disandangnya.
Barangkali jauh hari sebelum si kecil lahir ke dunia, tak kurang banyaknya nama yang dirancang oleh ayah dan ibu, dilatari oleh sekian banyak pertimbangan. Ada yang ingin menamai anaknya dengan nama tokoh yang dikagumi disertai harapan, anaknya akan sehebat tokoh peristiwa itu. Ada pula yang sekedar mempertimbangkan faktor “keren dan enak didengar”.
Si kecil tumpuan harapan, sudah semestinya ayah bunda memberikan nama yang terbaik bagi dirinya, nama yang dicintai oleh Rabb semesta alam. Tidak ada jalan lain untuk mendapatkannya, kecuali menelaah kembali, bagaimana Allah dan Rasul-Nya r menerangkan seputar seluk-beluk nama kepada kita.
Pada hari pertama hadirnya buah hati di dunia, sang ayah boleh memberikan nama padanya. Kita bisa menyimak kisah pemberian nama Rasulullah r pada putranya, Ibrahim.

“Semalam telah lahir anak laki-lakiku, maka aku beri nama dia dengan nama ayahku, Ibrahim.” (Shahih, HR. Muslim no. 2315)
Al-Imam An-Nawawi t menjelaskan bahwa kisah ini menunjukkan bolehnya memberikan nama anak pada hari kelahirannya. (Syarh Shahih Muslim, 15/75)
Juga kisah-kisah lainnya ketika para shahabat  membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah r, beliau memberikan nama pada hari itu juga. Kita lihat dalam kisah kelahiran Abdullah bin Az-Zubair c ketika Rasulullah r men-tahnik-nya:

“Kemudian beliau mengusapnya dan mendoakan kebaikan baginya, serta memberinya nama Abdullah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2146)
Demikian pula dalam kisah lahirnya Abdullah bin Abi Thalhah c, ketika Anas bin Malik z membawanya ke hadapan beliau:

“Kemudian beliau mentahniknya dan memberinya nama Abdullah.” (Shahih, HR. Muslim no. 2144)
Juga ketika Abu Usaid z membawa putranya kepada Rasulullah r pada hari kelahirannya:

“Maka pada hari itu beliau memberinya nama Al-Mundzir.” (Shahih, HR. Al Bukhari no. 6191 dan Muslim no. 2149)
Begitu pula penuturan Abu Musa Al-Asy’ari z:

“Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi r, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma.” (HR. Muslim no. 2145)
Namun di sisi lain, kita dengar penjelasan bahwa seorang anak diberi nama pada hari ketujuh, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah r melalui lisannya yang mulia:

“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838)
Untuk memahami dua sisi ini, kita buka penjelasan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t. Beliau mengatakan bahwa anak yang tak hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya tidak ditangguhkan hingga hari ketujuh, sebagaimana yang terjadi dalam kisah Ibrahim bin Abi Musa, Abdullah bin Abi Thalhah, demikian pula Ibrahim putra Nabi r dan Abdullah bin Az-Zubair, karena tidak ada penukilan yang menyatakan bahwa salah seorang di antara mereka diaqiqahi. Sedangkan anak yang hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya ditangguhkan hingga hari ketujuh sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits lain. (Fathul Bari, 9/501)
Pun ayah bunda tak lupa memilihkan nama terbaik bagi anaknya. Namun toh semua itu tetap tak lepas dari tinjauan syariat, ketika Rasulullah r telah memberikan tuntunan:

“Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR. Muslim no. 2132)
Ucapan Rasulullah r ini menunjukkan keutamaan kedua nama itu atas seluruh nama, demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 14/113).
Ayah dan ibu pun bisa memilihkan nama dari deretan nama-nama para nabi. Bahkan demikian yang dilakukan oleh Rasulullah r bagi putranya, dan demikian pula yang beliau berikan kepada anak-anak shahabatnya. Beliau berikan nama Ibrahim kepada anak Abu Musa Al-Asy’ari, dan Yusuf kepada anak Abdullah bin Salam, sebagaimana dikisahkan sendiri oleh Yusuf bin Abdillah bin Salam:

“Rasulullah memberiku nama Yusuf dan mendudukkan aku di pangkuan beliau serta mengusap kepalaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 282 bahwa isnadnya shahih)
Tak layak dilalaikan, ada nama-nama yang haram disandang. Kita bisa melihat penjelasan Rasulullah r mengenai hal ini.

“Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernama Malikul Amlak (raja dari seluruh raja).” Ibnu Abi Syaibah menambahkan dalam riwayatnya: “Tidak ada raja kecuali Allah U.” Al-Asy’atsi berkata bahwa Sufyan mengatakan:”Seperti Syahan Syah.” (HR. Al-Bukhari no.6206 dan Muslim no. 2143)
Kita simak ucapan Al-Imam An-Nawawi t ketika menjelaskan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa pemakaian nama ini haram, demikian pula memakai nama-nama Allah I yang khusus bagi diri-Nya, seperti Al-Quddus (Yang Maha Suci), Al-Muhaimin (Yang Maha Memelihara), Khaliqul Khalq (Pencipta seluruh makhluk), dan sebagainya. (Syarh Shahih Muslim, 14/122)
Penamaan yang terlarang ini tidak hanya mencakup dalam lafadz bahasa Arab, namun lafadz dalam bahasa lain apabila maknanya demikian pun terlarang. Kita lihat dalam hadits di atas, Sufyan bin ‘Uyainah t memasukkan nama Syahan Syah –yang bukan berasal dari lafadz bahasa Arab namun bermakna serupa dengan Malikul Amlak– dalam larangan ini.
Hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Al-Mubarakfuri. Beliau menyatakan bahwa Sufyan bin ‘Uyainah memberikan peringatan bahwa nama yang tercela ini tidak terbatas pada Malikul Amlak saja. Akan tetapi, seluruh nama yang menunjukkan makna tersebut dengan bahasa apa pun termasuk dalam larangan ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/102)
Begitu pula nama-nama yang mengandung tazkiyah1 ataupun nama-nama yang buruk, sehingga didapati kisah-kisah Rasulullah r mengganti nama-nama itu dengan nama yang lebih baik. Inilah penuturan Abdullah bin ‘Umar c, mengungkapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah r:

“Anak perempuan ‘Umar bin Al-Khaththab bernama ‘Ashiyah (wanita yang suka bermaksiat), maka Rasulullah r memberinya nama Jamilah (wanita yang cantik).” (Shahih, HR. Muslim no. 2139)
Ibnul Atsir t mengatakan –dalam penjelasan beliau yang dinukil di dalam ‘Aunul Ma’bud– bahwa Rasulullah r mengganti nama ‘Ashiyah tersebut karena syi’ar seseorang yang beriman adalah taat kepada Allah, sementara kemaksiatan adalah lawan dari ketaatan. (‘Aunul Ma’bud, 13/201)
Selain itu, ada pula putri Abu Salamah yang semula bernama Barrah (wanita yang suci) kemudian diganti oleh Rasulullah r dengan nama Zainab. Dia mengisahkan sendiri peristiwa ini:

“Dulu aku bernama Barrah, kemudian Rasulullah r memberiku nama Zainab.” (Shahih, HR. Muslim no. 2142)
Bahkan kedua istri beliau, Zainab bintu Jahsy dan Juwairiyah bintu Al-Harits c, semula bernama Barrah, kemudian beliau mengganti nama mereka berdua. (Shahih, HR. Muslim no. 2140 dan 2141)
Al-Imam An-Nawawi t memberikan penjelasan bahwa hadits-hadits di atas mengandung makna penggantian nama yang jelek atau nama yang dibenci menjadi nama yang baik. Telah pasti pula adanya hadits-hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah r mengganti nama banyak shahabat. Beliau r menjelaskan pula bahwa alasan penggantian nama ini ada dua, yaitu karena mengandung tazkiyah (pensucian diri) atau dikhawatirkan terjatuh dalam tathayyur2. (Syarh Shahih Muslim, 14/120-121)
Kita lihat dalam kisah Ibnu ‘Umar c di atas, Rasulullah r tidak mengganti nama putri ‘Umar bin Al-Khaththab z menjadi Muthi’ah (wanita yang taat) –padahal lawan dari kata ‘Ashiyah adalah Muthi’ah– karena ditakutkan nama tersebut mengandung tazkiyah. (‘Aunul Ma’bud, 13/201)
Ada satu hal yang perlu diketahui, dalam Islam disyariatkan memanggil seseorang dengan nama kunyah3 walaupun orang itu belum memiliki anak. Demikian pula yang dilakukan oleh Rasulullah r kepada seorang anak kecil, seperti yang kita dengar dalam penuturan oleh Anas bin Malik z:
Rasulullah r adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan aku mempunyai saudara laki-laki yang telah disapih yang dipanggil Abu ‘Umair. Apabila Rasulullah r datang kemudian melihatnya, beliau biasanya mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Umair! Apa yang dilakukan burung kecilmu?’ Dia biasa bermain-main dengan burung kecil itu.” (Shahih, HR. Muslim no. 2150)
Perbuatan Rasulullah r ini menunjukkan bolehnya memberikan nama kunyah kepada seseorang yang belum memiliki anak atau kepada anak-anak, dan ini bukan termasuk dusta. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi t ketika membicarakan hadits ini. (Syarh Shahih Muslim, 14/129)
Manakala telah gamblang tuntunan Rasulullah r, apakah selayaknya seorang ayah atau seorang ibu –yang ingin memberikan seluruh kebaikan bagi putra-putrinya yang mengemban segenap harapan mereka– akan melalaikan hal ini? Karena bagaimanapun, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi r.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.

Catatan Kaki:

1  Tazkiyah adalah nama yang mengandung pensucian
2  Tathayyur adalah anggapan untung/ sial karena adanya suatu tanda, misalnya burung, hari, bulan, dll.
3  Kunyah adalah nama yang menggunakan Abu atau Ummu, biasanya diambil dari nama anak pertama atau anak laki-laki pertama. Atau yang diawali dengan Ibnu atau Bintu.