Telah kita lewati pembicaraan tentang qiraah (membaca Al-Qur’an) di dalam shalat. Termasuk hal yang perlu diperhatikan dalam membaca Al-Qur’an adalah membacanya dengan tartil, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk membaca Al-Qur’an dengan tartil, tidak tergesa-gesa atau cepat-cepat. Al-Qur’an dibaca huruf demi huruf, kata demi kata. Membaca Al-Qur’an dengan cara seperti ini juga berlaku di dalam shalat. Maka dari itu, orang yang shalat harus memerhatikan bacaannya. Ia tidak boleh tergesa-gesa ingin segera menyelesaikan bacaannya.
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana yang lebih utama atau afdhal, apakah mentartil Al-Qur’an dalam keadaan surat/ayat yang dibaca pendek/sedikit atau cepat dalam membaca Al-Qur’an namun banyak ayat yang bisa dibaca. Pendapat yang pertama dipegangi oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka, dan dipilih oleh Ibnu Sirin rahimahullah. Adapun pendapat kedua dipegangi oleh pengikut Syafi’iyah dengan berdalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Siapa yang membaca satu huruf dari Kitabullah maka ia memperoleh satu kebaikan, dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali.” (HR. at-Tirmidzi no. 2910, disahihkan dalam al-Misykat no. 2137 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 6469) (al-Ashl, 2/562)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/125) menggabungkan dua pendapat ini dan al-Hafizh rahimahullah mengikutinya dalam Fathul Bari (9/73). Dinyatakan bahwa masing-masing memiliki keutamaan, baik yang cepat maupun yang tartil. Namun, dengan syarat orang yang membaca dengan cepat tidak terluputkan darinya satu huruf pun, harakat atau sukun yang wajib. Salah satunya bisa lebih utama daripada yang lain dan bisa pula sama. Orang yang mentartil dan memerhatikan apa yang dibacanya, meresapi dan merenungkannya, ibarat orang yang bersedekah dengan satu permata yang sangat mahal. Sementara itu, orang yang membaca dengan cepat, ibarat orang yang bersedekah dengan sejumlah permata, tetapi nilai semua permata tersebut sama dengan satu permata yang mahal. Terkadang satu permata lebih bernilai dari sejumlah permata, namun terkadang pula sebaliknya, sejumlah permata lebih mahal daripada satu permata. Wallahu a’lam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Pada hari kiamat nanti dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an, “Bacalah dan naiklah! Bacalah dengan tartil sebagaimana engkau mentartilnya di dunia. Sungguh, kedudukanmu (derajat di surga) menurut akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Daud no. 1464, at-Tirmidzi no. 2914, dll. Hadits ini hasan sebagaimana dalam al-Misykat no. 2134 dan ash-Shahihah no. 2240)
Isti’adzah dan Meludah Kecil dalam Shalat
Utsman ibnu Abil Ash radhiallahu ‘anhu berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Wahai Rasulullah, sungguh setan menghalangi antara aku dan shalatku serta bacaanku. Ia membuatku kacau dan ragu-ragu saat membaca Al-Qur’an (dalam shalat).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Itu adalah setan yang disebut Khinzib. Jika engkau merasakan gangguannya, berta’awudzlah (mintalah perlindungan) kepada Allah darinya dan meludah kecillah ke arah kirimu tiga kali.” Utsman berkata, “Aku pun melakukan bimbingan Rasul tersebut maka Allah menghilangkan gangguan setan itu dariku.” (HR. Muslim no. 5702)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan disunnahkannya berta’awwudz kepada Allah subhanahu wa ta’ala ketika ditimpa waswas, disertai dengan meludah kecil ke arah kiri tiga kali[1].” (al-Minhaj 14/411)
Ruku’
Selesai membaca Al-Qur’an saat berdiri dalam shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam sejenak. Demikianlah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan setiap selesai membaca satu ayat. Setelah itu, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangan untuk bertakbir, sebagaimana mengangkat tangan saat takbiratul ihram, lalu ruku’. Tentang mengangkat tangan sebelum ruku’ ini beritanya mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah mazhab imam yang tiga dan selain mereka dari kalangan jumhur ahli hadits dan fuqaha. (Mausu’ah ash-Shalah ash-Shahihah, 2/868)
Tata Cara Ruku’
Pada awalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tathbiq dalam ruku’, yaitu mengumpulkan jari-jemari kedua telapak tangannya, dengan menempelkan bagian dalam telapak tangan satu dengan yang lain, lalu diletakkan di antara dua paha atau dua lutut beliau sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Muslim rahimahullah dalam Shahih-nya (no. 1191, “Kitabul Masajid”, bab an-Nadb ila wadh’il aydi ‘alar rukab fir ruku’ wa naskhut tathbiq)
Cara ruku’ seperti ini kemudian ditinggalkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan beliau melarangnya. Yang kemudian beliau lakukan saat ruku’ adalah:
- Meletakkan dua telapak tangan beliau di atas kedua lutut beliau.
Cara seperti inilah yang belakangan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Sa’d ibnu Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kami shalat. Beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Kemudian ruku’ dan mengumpulkan jari-jemari kedua tangannya dengan menempelkan bagian dalam telapak tangan satu dengan yang lain lalu meletakkannya di antara dua lututnya.”
Hal ini sampai kepada Sa’d, maka ia berkata, “Benar saudaraku itu. Dahulu kami memang melakukan cara seperti itu. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami dengan cara seperti ini.” Sa’d memegang kedua lututnya (dengan kedua telapak tangannya). (HR. al-Bukhari dalam Raf’ul Yadain hlm. 12, dll. Al-Imam ad-Daraquthni rahimahullah berkata, “Isnadnya tsabit sahih.” Al-Imam al-Albani rahimahullah berkata, “Hadits ini di atas syarat Muslim.” Lihat al-Ashl, 2/628)
Mush’ab ibnu Sa’d berkata, “Aku shalat di samping ayahku. Aku mengumpulkan jari-jemari telapak tanganku dengan menempelkan bagian dalam telapak tangan satu dengan yang lain dan aku letakkan di antara kedua pahaku. Ayahku melarangku ruku’ dengan cara demikian. Ia menyatakan, ‘Dahulu kami melakukan cara seperti yang kau lakukan, lalu kami dilarang. Kemudian kami diperintah untuk meletakkan tangan-tangan kami di atas lutut’.” (HR. al-Bukhari no. 790 dan Muslim no. 1197)
Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, termasuk sunnah (ajaran/petunjuk Nabi) adalah memegang lutut saat ruku’.” (HR. at-Tirmidzi no. 258 dan an-Nasa’i no. 1035, sanadnya sahih sebagaimana dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi dan Shahih Sunan an-Nasa’i)
Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata setelah membawakan hadits di atas, “Ini yang diamalkan oleh ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada perselisihan di antara mereka dalam hal ini, selain yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan sebagian muridnya. Mereka mengumpulkan jari-jemari mereka (saat ruku). Cara tathbiq (yang mereka lakukan) ini mansukh menurut ahlul ilmi.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/162—163)
- Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua telapak tangan beliau di atas kedua lutut, beliau seakan menggenggam keduanya.
Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam tambahan hadits Abu Humaid as-Sa’idi[2] radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh at-Tirmidzi no. 260:
“Rasulullah ruku’ dan meletakkan dua telapak tangan di atas kedua lutut. Beliau mengokohkan kedua tangan tersebut pada kedua lututnya seakan-akan menggenggam keduanya.” (Disahihkan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Hadits Umar radhiallahu ‘anhu di atas juga menunjukkan hal demikian.
- Jari-jemari direnggangkan (dijauhkan satu dari yang lain) ketika menggenggam lutut.
Hal ini pernah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang salah shalatnya. Dalam hadits Rifa’ah ibnu Rafi’ radhiallahu ‘anhu yang dikeluarkan oleh al-Imam Ahmad (al-Musnad, 4/340) disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang salah shalatnya:
“Apabila engkau ruku’, letakkanlah dua telapak tanganmu di atas kedua lututmu, kemudian renggangkanlah jari-jemarimu satu dari yang lain, lalu diam/tenanglah hingga seluruh anggota mengambil bagian/posisinya.” (“Sanadnya hasan,” kata al-Imam al-Albani rahimahullah dalam al-Ashl, 2/633)
Hadits di atas memiliki syahid dari hadits Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. Ia menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang A’rabi:
“Jika engkau ruku’, letakkanlah kedua telapak tanganmu di atas kedua lututmu, kemudian renggangkanlah jari-jemarimu, lalu diam/tenanglah hingga setiap anggota mengambil tempat/posisinya.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya)
Posisi jari-jemari ini ke arah yang lebih rendah di atas kedua betis, seperti ditunjukkan oleh hadits Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Badri radhiallahu ‘anhu, yang dibawakan oleh Atha’ ibnus Saib, dari Salim al-Barad, ia berkata, “Kami mendatangi Abu Mas’ud Uqbah ibnu Amr al-Anshari. Kami mengatakan kepadanya, ‘Sebutkan kepada kami tentang shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Abu Mas’ud pun berdiri di hadapan kami di dalam masjid. Ia bertakbir. Tatkala ruku’, ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan ia menjadikan jari-jemari lebih rendah dari lututnya, serta menjauhkan kedua sikunya dari rusuknya, hingga segala sesuatu tenang/menetap pada tempat/posisinya…’.”
Setelah menyelesaikan shalatnya, Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Demikianlah kami melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat.” (HR. Abu Dawud no. 863, disahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud)
- Dari hadits Abu Mas’ud radhiallahu ‘anhu di atas kita dapati pula tata cara ruku’ yang berikutnya, yaitu menjauhkan kedua siku dari rusuk.
Hal ini ditunjukkan pula oleh hadits dari sejumlah sahabat. Di antaranya adalah hadits Abu Humaid radhiallahu ‘anhu dengan lafadz, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya seakan-akan memegangi kedua lututnya. Beliau juga menjauhkan kedua tangannya dari kedua rusuknya.” (HR. at-Tirmidzi no. 260, disahihkan dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Inilah yang dipilih oleh ahlul ilmi, yaitu seseorang yang shalat hendaknya menjauhkan kedua tangannya dari kedua rusuknya ketika ruku’ dan sujud.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/163)
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Kami tidak mengetahui ada perbedaan pendapat dari seorang ulama pun tentang sunnahnya hal ini. Hikmah dilakukannya cara seperti ini adalah lebih sempurna dalam penampakan dan bentuk shalat.”
Catatan
Sunnah menjauhkan kedua tangan dari kedua rusuk ini dilakukan dengan syarat tidak mengganggu orang lain yang shalat di sampingnya dalam shalat berjamaah. Yang wajib dalam ruku’, kata sebagian ulama (sebagaimana dalam al-Inshaf 3/480), ia membengkokkan punggungnya di mana keberadaannya lebih dekat kepada ruku’ yang sempurna daripada berdiri sempurna. Artinya, orang yang melihatnya mengetahui bahwa ia sedang ruku’, tidak sedang berdiri. (asy-Syarhul Mumti’, 3/91)
Insya Allah bersambung
Ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq
[1] Ia sedikit mengarahkan kepalanya ke arah kiri tubuhnya, bukan ke arah orang lain yang ada di sebelah kirinya apabila ia shalat berjamaah, karena hal tersebut akan mengganggu orang lain.
[2] Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits Abu Humaid tanpa tambahan yang disebutkan.