Tidak Mau Menikah Setelah Suami Meninggal

Semula tak saling kenal. Tak pernah bersua apatah lagi bertegur sapa. Namun, tatkala ikatan sah telah dijalin kuat, pandangan halal saling bertaut, dua hati pun bertemu dan menyatu. Timbullah sebuah rasa yang sebelumnya tak pernah ada. Itulah mawaddah, mahabbah, dan ithmi’nan (tenang dan tenteram) anugerah Ilahi.

Seolah keduanya telah saling kenal sejak lama.

 dua-bunga

Demikianlah pengaruh rahmat Allah ‘azza wa jalla terhadap hamba-hamba-Nya dan sebagian tanda kekuasaan-Nya, penunjuk rububiyah-Nya yang sempurna, sebagaimana firman-Nya,

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari diri-diri kalian, agar kalian merasakan ketenangan kepadanya dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah.” (ar-Rum: 21)

Mawaddah dan mahabbah—yang secara bebas kita artikan ‘rasa cinta’—di antara keduanya terkadang demikian mendalam. Sampai-sampai ketika ajal harus memisahkan keduanya, yang ditinggal enggan untuk menikah lagi selamanya sebagai pembuktian kesetiaan kepada pasangannya dan tak ingin membuka hati untuk cinta yang baru.

Perlu kita ketahui, agama Islam tidak menghendaki pemeluknya memilih hidup sendiri selama-lamanya tanpa pasangan. Islam justru mendorong terjadinya pernikahan guna menjaga kehormatan lelaki dan perempuan. Dengan banyaknya pernikahan, akan langgenglah kehidupan di muka bumi karena keturunan anak manusia seharusnya hanya terlahir lewat akad sah yang bernama pernikahan.

Semestinya, ketika seseorang menduda atau menjanda lantas merasa perlu untuk menikah, dia tidak menahan dirinya. Seorang istri yang “ditinggal” suaminya dan telah mengakhiri masa iddah dan ihdadnya, tidak perlu disalahkan dengan keputusannya untuk ‘melangkah ke pelaminan’, apabila memang lelaki yang datang melamar dipandang cocok dan sesuai untuknya. Ini bukanlah bentuk pengkhianatan kepada suami yang telah meninggal.

Sebab, seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya lantas menahan diri untuk menikah karena ingin mengurus anak-anak yatimnya, bukan sebuah persyaratan yang diharuskan. Ketika di belakang hari dia merasa butuh menikah atau menganggap sudah saatnya untuk menikah sehingga dia pun menikah, keputusan menikah ini tidaklah dicela. Tidaklah dikatakan dia telah melakukan sesuatu yang terlarang.

Dengan demikian, seorang istri yang menjanda bisa melakukan apa yang dipandangnya ada kebaikan dan kemaslahatan baginya. Kalau yang lebih maslahat baginya adalah menikah, hendaknya dia menikah. Apalagi ketika dia membutuhkannya, tidak boleh ada seorang pun yang menahannya, walaupun ada anak-anak yatim dari suaminya yang telah meninggal dunia.

Namun, kalau dia memandang yang maslahat adalah tidak menikah agar bisa konsentrasi penuh memberikan perhatian, pendidikan, dan pengajaran kepada anak-anaknya, itu adalah haknya. Apalagi dia ingin beroleh keutamaan memelihara anak yatim sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْم فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ. وَأَشَارَ بِأُصْبُعَيْهِ يَعْنِي السَّبَابَة وَالْوُسْطى.

“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga nanti seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan dua jari: telunjuk dan jari tengah. (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi dan ash-Shahihah no. 800)

Apabila dia memandang bahwa menikah lagi akan menghalangi dirinya dari keutamaan yang besar tersebut, lalu dia memutuskan untuk tidak menikah, itu adalah haknya pula.

Demikian pula ketika dia tidak ingin menikah lagi karena berharap bisa berkumpul bersama suaminya kelak di surga. Sebab, seorang muslimah yang memiliki beberapa suami saat di dunia, apabila dia dan semua suaminya masuk surga di akhirat kelak, Allah ‘azza wa jalla mengumpulkannya bersama suaminya yang terakhir.

Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu meminang Ummud Darda setelah wafat Abud Darda radhiallahu ‘anhu, berkatalah Ummud Darda radhiallahu ‘anha, “Aku pernah mendengar Abud Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا, فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ فَهِيَ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا.

‘Istri mana saja yang wafat suaminya, lalu menikah lagi sepeninggal suaminya, dia bersama suaminya yang terakhir.’

“Dalam hal ini, aku tidak ingin mengutamakanmu dari Abud Darda[1].”

Muawiyah lalu mengirim surat kepada Ummud Darda berisi pesan, “Hendaknya engkau banyak puasa karena puasa adalah pemutus (syahwat).” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 3/275, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1281)

Hudzaifah radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada istrinya, “Apabila engkau suka menjadi istriku di surga jika kelak Allah ‘azza wa jalla mengumpulkan kita di sana, janganlah engkau menikah sepeninggalku[2]. Sebab, perempuan itu di surga adalah milik suaminya yang terakhir di dunia. Karena itu, Allah ‘azza wa jalla mengharamkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga kelak.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan, 7/69—70. Perawinya tsiqah seandainya tidak ada ‘an’anah dan ikhtilathnya Abu Ishaq as-Sabi’i, demikian kata al-Imam al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, 3/277)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Disarikan oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah dari Lin Nisa’ Ahkam wa Adab Syarh al-Arba’in an-Nisa’iyah, Muhammad Syakir asy-Syarif, hlm. 215—223, Dar Thaybah, Riyadh, cet. pertama)


[1] Ummud Darda memilih untuk tetap menjadi istri Abud Darda di surga nanti.

[2] Hudzaifah tidaklah mempersyaratkan kepada istrinya untuk tidak menikah sepeninggalnya, namun dia memberikan pilihan, sebagaimana tampak dalam kalimatnya, “Bila kamu suka menjadi istriku di surga….