(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran)
Kehidupan dunia dengan segala penderitaannya seolah tak lagi berarti baginya, manakala dia telah mendengar janji indah tentang surga. Sepenuh pengorbanan jiwa dan raga dia berikan untuk Allah dan Rasul-Nya.
Mungkin orang yang belum pernah mendengar namanya akan mengernyitkan dahi sembari bertanya, siapakah dia? Namun tak mungkin diingkari, dia adalah seorang shahabiyah yang memiliki untaian kemuliaan besar. Kemuliaannya tertulis dalam sejarah kaum muslimin. Dia bernama Nusaibah bintu Ka’b bin ‘Amr bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar x. Ibunya bernama Ar Rabbab bintu ‘Abdillah bin Habib bin Zaid bin Tsa’labah bin Zaid Manat bin Habib bin ‘Abdi Haritsah bin ‘Adlab bin Jasym bin Al Khazraj.
Ummu ‘Umarah dipersunting oleh Zaid bin ‘Ashim bin ‘Amr bin ‘Auf bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar. Mereka dikaruniai dua orang putra, ‘Abdullah dan Habib, yang kelak di kemudian hari menjadi shahabat Rasulullah n yang menyertai beliau dalam medan peperangan. Sepeninggal suaminya, Ummu ‘Umarah menikah dengan Ghaziyah bin ‘Amr bin ‘Athiyah bin Khansa’ bin Mabdzul bin ‘Amr bin Ghanam bin Mazin bin An Najjar z. Dari pernikahan mereka, lahir Tamim dan Khaulah.
Ummu ‘Umarah x menyambut datangnya seruan Rasulullah n. Setelah keislamannya itu, Allah I menganugerahkan banyak kemuliaan padanya. Satu per satu peristiwa besar turut dilaluinya. Dia salah satu wanita yang hadir pada malam ‘Aqabah dan berbai’at kepada Rasulullah n. Medan Uhud, Hudaibiyah, Khaibar, ‘Umratul Qadla’, Hunain tak lepas dari sejarah perjalanan hidupnya bersama Rasulullah n. Bahkan semasa pemerintahan Abu Bakr Ash Shiddiq z, dia turut terjun memerangi Musailamah Al Kadzdzab dalam perang Yamamah.
Kisah indah dan mengesankan dalam medan pertempuran Uhud, tatkala Ummu ‘Umarah x ikut berperan dalam kancah itu bersama suaminya, Ghaziyah bin ‘Amr serta kedua putranya, ‘Abdullah dan Habib g. Dengan membawa geriba tempat air minum untuk memberi minum pasukan yang terluka, Ummu ‘Umarah berangkat bersama pasukan kaum muslimin di awal siang.
Pertempuran berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, tak tersisa di sisi Rasulullah n kecuali hanya beberapa orang yang tak sampai sepuluh orang banyaknya. Di saat yang genting itu, Ummu ‘Umarah terjun langsung dalam peperangan dengan pedangnya. Bersama suami dan dua putranya, Ummu ‘Umarah mendekati Rasulullah n, melindungi di depan beliau dengan segenap kemampuan.
Tanpa perisai Ummu ‘Umarah melindungi Rasulullah n, sementara sebagian besar pasukan muslimin lari kocar-kacir. Di antara orang-orang yang berlarian menjauh dari beliau, ada seseorang yang lari membawa perisainya. Beliau pun berseru, “Berikan perisaimu pada orang yang berperang!” Orang itu pun melemparkan perisainya dan segera diambil oleh Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah pun bertameng dengannya. Demikian keadaan yang mereka hadapi saat itu, sementara lawan mereka adalah pasukan berkuda kaum musyrikin.
Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda memacu kudanya sembari menyabetkan pedangnya ke arah Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah menangkis tebasan itu dengan perisainya hingga orang itu tak berhasil berbuat sesuatu. Ummu ‘Umarah pun menebas kaki kudanya hingga penunggang kuda itu pun terjatuh. Menyaksikan hal itu, Rasulullah n segera memanggil salah seorang putra Ummu ‘Umarah, “Ibumu! Ibumu!” Dengan cepat putra Ummu ‘Umarah datang membantu ibunya hingga dapat melumpuhkan musuh Allah itu.
Di tengah berkecamuknya perang, putra Ummu ‘Umarah, ‘Abdullah bin Zaid terluka di lengan kirinya, ditebas oleh seseorang yang sangat cepat datangnya dan berlalu begitu saja, tanpa sempat dia kenali. Darah pun mengucur tak henti. Melihat itu, Rasulullah n berkata, “Balut lukamu!” Ummu ‘Umarah pun datang membawa pembalut yang dipersiapkannya untuk membalut luka-luka, segera mengikat luka putranya, sementara Rasulullah n berdiri mengawasi. Usai mengikat luka, Ummu ‘Umarah berkata pada putranya, “Bangkitlah! Perangilah orang-orang itu!” Mendengar ucapannya, Rasulullah n mengatakan, “Siapa yang mampu melakukan seperti yang kaulakukan, wahai Ummu ‘Umarah?”
Kemudian datanglah orang yang melukai ‘Abdullah. Rasulullah n pun berkata, “Itu orang yang menebas putramu!” Ummu ‘Umarah segera menghadangnya dan menebas betisnya hingga orang itu terjatuh. Rasulullah n tersenyum menyaksikannya hingga tampak gigi geraham beliau. Ummu ‘Umarah pun menebasnya bertubi-tubi hingga mati. Rasulullah n mengatakan pada Ummu ‘Umarah, “Segala puji milik Allah yang telah menolongmu serta menyenangkan hatimu dengan keadaan musuhmu dan memper-lihatkan pembalasan itu di depan matamu.”
Ummu ‘Umarah pun menderita luka-luka dalam peperangan itu. Luka yang paling besar terdapat di pundaknya, karena tikaman pedang seorang musuh Allah dan Rasul-Nya, Ibnu Qami’ah. Saat itu, Ibnu Qami’ah datang dan berseru, “Tunjukkan aku pada Muhammad! Aku tidak akan selamat kalau dia selamat!” Dia pun segera dihadang oleh Mush’ab bin ‘Umair z bersama para sahabat yang lain. Ummu ‘Umarah berada dalam barisan itu. Maka Ibnu Qami’ah menghunjamkan pedangnya ke pundak Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah pun membalas dengan beberapa kali tebasan, namun musuh Allah itu mengenakan baju perang yang melindunginya.
Tatkala melihat Ummu ‘Umarah terluka di pundaknya, Rasulullah n berseru pada ‘Abdullah, “Ibumu! Ibumu! Balutlah lukanya! Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan ibumu pada hari ini lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait. Kedudukan suami ibumu lebih baik daripada kedudukan si Fulan dan si Fulan. Semoga Allah memberikan barakah kepada kalian wahai ahlul bait!” Ummu ‘Umarah pun meminta, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah agar kami menemanimu di dalam surga!” Beliau pun berdoa, “Ya Allah, jadikan mereka orang-orang yang menemaniku di dalam surga.” Ummu ‘Umarah berkata, “Aku tidak peduli lagi apa yang menimpaku di dunia.”
Dua belas luka didapatkan oleh Ummu ‘Umarah dalam peperangan itu. Tikaman pedang Ibnu Qami’ah itulah luka yang paling parah yang diderita oleh Ummu ‘Umarah, hingga dia harus mengobati luka itu setahun lamanya.
Keadaan luka yang sedemikian hebat tak menyurutkan semangat Ummu ‘Umarah untuk membela Allah dan Rasul-Nya. Ketika kaum muslimin diseru untuk bersiap menuju peperangan di Hamra`il Asad, Ummu ‘Umarah pun menyingsingkan bajunya. Namun, dia tak kuasa menahan kucuran darah dari lukanya. Dalam semalam lukanya terus diseka hingga pagi.
Sepulang dari peperangan di Hamra`il Asad, Rasulullah n mengutus ‘Abdullah bin Ka’b Al-Mazini untuk menanyakan keadaan Ummu ‘Umarah. ‘Abdullah bin Ka’b pun melaksanakan perintah beliau, kemudian menyampaikan kabar Ummu ‘Umarah kepada beliau.
Kecintaannya pada Allah dan Rasul-Nya terus diwujudkannya, sampai pun setelah Rasulullah n wafat. Ketika Abu Bakr Ash Shiddiq z menjabat sebagai khalifah, muncul seorang pendusta bernama Musailamah Al-Kadzdzab, yang mengaku sebagai nabi. Abu Bakr z pun memeranginya bersama pasukan kaum muslimin dalam perang Yamamah. Ummu ‘Umarah pun turut serta dalam pasukan itu. Di sanalah Ummu ‘Umarah terpotong tangannya dan menderita sebelas luka lainnya karena tebasan pedang dan tusukan tombak. Di sanalah pula Ummu ‘Umarah kehilangan putranya, Habib bin Zaid z.
Tak hanya dalam peperangan dia hadir di sisi Rasulullah n. Pun Ummu ‘Umarah meriwayatkan ilmu dari beliau, serta menyebarkannya pada manusia. Perwujudan cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya dengan segala pengorbanan jiwa dan raga sepanjang perjalanan kehidupannya di dunia, mengan-tarkan dirinya untuk mendapatkan kemuliaan yang kekal selama-lamanya.
Ummu ‘Umarah, semoga Allah meridhainya….
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani (8/265-266)
Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1948-1949)
Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/412-415)
Siyar A’lamin Nubala`, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/278-282)