‘Umratul Qadha’

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)

 

Setahun setelah perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah n berangkat menunaikan umrah, di bulan Dzul Qa’dah sambil menggiring 70 ekor binatang kurban.

Sesampainya di Ya’juj beliau mulai masuk Makkah dengan senjata pengembara, dan mengutus Ja’far bin Abi Thalib z untuk melamar Maimunah bin Al-Harits Al-’Amiriyah x yang menyerahkan urusannya kepada Al-’Abbas bin ‘Abdul Muththalib z. Kemudian ‘Abbas menikahkannya dengan Rasulullah n.

Setiba di Makkah, beliau n perintahkan kepada para sahabat agar membuka bahu-bahu mereka dan berlari kecil ketika thawaf. Ini dimaksudkan agar kaum musyrikin melihat ketabahan dan kekuatan kaum muslimin. Al-Imam Ahmad t meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas c:

قَدِمَ رَسُولُ اللهِ n وَأَصْحَابُهُ وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ، قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: إِنَّهُ يَقْدُمُ عَلَيْكُمْ قَوْمٌ قَدْ وَهَنَتْهُمْ الْحُمَّى. قَالَ: فَأَطْلَعَ اللهُ النَّبِيَّ n عَلَى ذَلِكَ فَأَمَرَ أَصْحَابَهُ أَنْ يَرْمُلُوا، وَقَعَدَ الْمُشْرِكُونَ نَاحِيَةَ الْحِجْرِ يَنْظُرُونَ إِلَيْهِمْ فَرَمَلُوا وَمَشَوْا مَا بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ. قَالَ: فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ: هَؤُلاَءِ الَّذِينَ تَزْعُمُونَ أَنَّ الْحُمَّى وَهَنَتْهُمْ هَؤُلاَءِ أَقْوَى مِنْ كَذَا وَكَذَا

Rasulullah n dan para sahabatnya tiba dalam keadaan penyakit demam Yatsrib (Madinah) telah melemahkan mereka. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin mengatakan: ‘Sesungguhnya akan datang kepada kalian satu kaum yang telah dibuat lemah oleh demam.’ Dia berkata: “Maka Allah tampakkan kepada Nabi n pembicaraan mereka. Lalu beliau perintahkan kepada para sahabatnya agar melakukan ramal (jalan cepat), sementara kaum musyrikin duduk di arah al-hijr (tembok setengah lingkaran) sambil memandangi kaum muslimin. Maka kaum muslimin pun melakukan ramal (jalan dengan cepat) dan berjalan biasa di antara dua rukun1 tersebut. Dia berkata: “Orang-orang musyrikin itu berkata: ‘Mereka ini yang kalian sangka bahwa panas telah membuat mereka lemah, (ternyata) mereka ini lebih kuat dari ini dan ini’.”

Penduduk Makkah, tua muda, besar kecil, pria dan wanita berdiri mengamati Rasulullah n dan para sahabatnya yang sedang thawaf di Ka’bah. Sementara itu, ‘Abdullah bin Rawahah berjalan di depan Rasulullah n dengan bersenandung:

Berilah dia jalan, wahai anak-anak kafir

Ar-Rahman telah menurunkan dalam wahyu (yang diturunkan-Nya)

Pada lembaran-lembaran yang dibacakan kepada Rasul-Nya

Wahai Rabbku, sungguh aku beriman dengan ucapannya

Sungguh aku melihat al-haq dalam menerimanya

Hari ini kami pukul kamu atas takwilnya

Dengan pukulan yang menghilangkan ujung kepala dari tempatnya

(pukulan yang) membuat lupa kekasih dari kekasihnya

Sementara, beberapa tokoh musyrikin sengaja menghilang, tidak suka melihat Rasulullah n, di samping menyimpan dendam dan kejengkelan.

Rasulullah n kemudian menetap di Makkah selama tiga hari sesuai perjanjian yang telah disepakati.

Pagi-pagi, di hari keempat, datanglah Suhail bin ‘Amr dan Huwaithib bin ‘Abdul ‘Uzza. Ketika itu Rasulullah n tengah bermajelis dengan beberapa orang Anshar, termasuk Sa’d bin ‘Ubadah. Kemudian Huwaithib berteriak mengingatkan beliau agar keluar dari kota Makkah saat itu juga. Sa’d bin ‘Ubadah tidak dapat menahan diri balas membentak: “Kau dusta, tidak ada lagi ibumu. Ini bukan tanahmu dan bukan pula tanah bapak moyangmu. Demi Allah, kami tidak akan keluar.”

Rasulullah n memanggil Huwaithib dan Suhail agar ikut serta dalam acara walimahan beliau itu. Tapi mereka tetap bersikeras agar beliau keluar dari Makkah saat itu juga sesuai dengan kesepakatan.

Rasulullah n memerintahkan Abu Rafi’ menyerukan agar berangkat. Beliaupun berangkat kemudian singgah di lembah Sarif dan membangun mahligai bersama Maimunah di sana.

 

Perbedaan Pendapat Para Ulama

Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa Rasulullah n menikahi Maimunah dalam keadaan beliau sedang ihram, dan masuk kepadanya dalam keadaan sudah halal. Demikian diriwayatkan oleh Al-Bukhari (7/392) dan Muslim (no. 1410). Adapun yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu ‘Abbas c.

Ibnul Qayyim t menjelaskan bahwa pernyataan tersebut termasuk hal-hal yang disanggah dari beberapa pendapat beliau. Sa’id bin Al-Musayyab t sendiri mengatakan: “Ibnu ‘Abbas keliru (dalam hal ini) meskipun Maimunah adalah bibi beliau (saudara perempuan ibunya, Ummul Fadhl x). Padahal tidaklah Rasulullah n menikahi Maimunah x melainkan sesudah beliau dalam keadaan halal (tidak berihram). Demikian ditegaskan oleh Al-Bukhari.”2

Maimunah x sendiri dalam riwayat Muslim (no. 1411) menyatakan: “Rasulullah n menikahi saya dalam keadaan kami berdua sudah halal (tidak ihram) di Sarif.”3

Shahih pula diriwayatkan dari Abu Rafi’ bahwa dia menyatakan: “Rasulullah n menikahi Maimunah dalam keadaan beliau halal (tidak berihram), dan membangun mahligai bersamanya dalam keadaan halal. Sedangkan saya ketika itu adalah utusan di antara keduanya.”4

Ibnul Qayyim t telah menyebutkan beberapa pendapat tersebut. Yang paling kuat adalah apa yang disebutkan sendiri oleh Maimunah sebagai pelaku dari peristiwa tersebut. Jelas dia lebih mengetahui keadaan dirinya. Wallahu a’lam.

Mereka juga berselisih, tentang penamaan umrah ini. Apakah dia dinamakan ‘Umratul Qadha’ karena umrah ini adalah qadha (ganti) dari umrah yang sebelumnya mereka terhalang mengerjakannya (dalam peristiwa Hudaibiyah)? Ataukah dinamakan demikian karena berasal dari al-muqaadhaah (kesepakatan)?

Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan jumhur  rahimahumullah berpendapat yang kedua, karena beliau melakukan kesepakatan dengan Quraisy pada peristiwa Hudaibiyah. Sehingga yang dimaksud dengan qadha di sini adalah keputusan yang jatuh terhadapnya suatu ketetapan hukum, bukan sebagai ganti (qadha) dari umrah yang beliau dihalangi darinya. Sebab, umrah yang terhalang itu tidak rusak sehingga harus diganti. Wallahu a’lam.

 

Meninggalkan Makkah

Ketika hendak keluar dari kota Makkah, putri Hamzah bin ‘Abdul Muththalib mengejar beliau. Lalu dia digamit oleh ‘Ali bin Abi Thalib z  dan berkata kepada Fathimah: “Ambillah anak pamanmu ini.” Fathimahpun segera menggendongnya.

Sesudah itu, ‘Ali, Ja’far, dan Zaid berselisih tentang siapa yang berhak mengurus anak perempuan tersebut.

‘Ali berkata: “Aku lebih berhak karena dia anak perempuan pamanku.”

Ja’far berkata: “Dia putri pamanku, khalah (saudara perempuan ibu)nya adalah istriku.”

Zaid mengatakan: “Dia putri saudaraku.”

Melihat ini, Rasulullah n memutuskan bahwa anak perempuan tersebut diasuh oleh khalah-nya. Beliau bersabda:

الْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الأُمِّ

“Khalah itu sama kedudukannya dengan ibu.”

Beliau berkata kepada ‘Ali:

أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ

“Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.”

Sedangkan kepada Ja’far beliau katakan:

أَشْبَهْتَ خَلْقِي وَخُلُقِي

“Engkau menyerupaiku dalam perawakan/penampilan dan akhlak.”

Dan kepada Zaid, beliau berkata:

أَنْتَ أَخُونَا وَمَوْلاَنَا

“Engkau adalah saudara dan maula kami.”5

Dari kejadian ini, ulama menyimpulkan bahwa khalah (saudara perempuan ibu) harus didahulukan dalam pengasuhan dari semua kerabat sesudah kedua ibu bapak.

Ibnu Katsir t dalam Sirah-nya menceritakan bahwa (peristiwa) umrah inilah yang dipaparkan oleh Allah l dalam Kitab-Nya yang mulia, dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (Al-Fath: 27)
Wallahu a’lam.

1 Sudut sebelum Hajar Aswad dan sudut Hajar Aswad itu sendiri.
2 Pernyataan Sa’id bin Al-Musayyab ini menurut pentahqiq Zadul Ma’ad terdapat pada Abu Dawud (no. 1845) dan Al-Baihaqi.
3 HR. Abu Dawud (no. 1843), Ibnu Majah (no. 1964), dan Ahmad (6/333, 335).
4 HR. Ahmad (6/393), At-Tirmidzi (no. 841), dan katanya: “Ini hadits hasan. Kami tidak tahu ada seorangpun yang menyebutkan sanadnya selain Hammad bin Zaid, dari Mathar Al-Warraq. Sedangkan Mathar tidak dapat dijadikan hujjah haditsnya.”
5 HR. Al Bukhari (7/385, 390) dan Abu Dawud (no. 2278).