Zakat Uang

Pertanyaan:

Apakah uang yang dimiliki oleh seorang muslim/muslimah dikenai kewajiban zakat? Lalu, bagaimana cara menghitung zakatnya?

Dijawab oleh Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini al-Makassari

Alhamdulillah wabihi nasta’in ala umur ad-dunya waddin, was-shalatu was-salamu ala rasulihi al-amin wa ala alihi wa ash-habihi ajma’in.

Para ulama telah berbicara mengenai permasalahan ini. Ada perbedaan ijtihad di antara mereka, dan ia terbagi menjadi dua pendapat:

  1. Tidak ada kewajiban zakat pada uang yang dimiliki oleh seseorang, kecuali jika uang tersebut akan dijadikan untuk modal dagang.

Jika diperuntukkan sebagai uang nafkah atau disiapkan untuk pernikahan atau yang semisalnya, ia tidak ada zakatnya.

  1. Zakat uang diwajibkan pada setiap uang yang dikumpulkan oleh seseorang, baik itu dari hasil keuntungan usaha dagang, hasil sewa rumah, hasil gaji, maupun selainnya.

Namun, hal itu dengan syarat bahwa uang tersebut telah mencapai nishab[1] dan telah sempurna pula haulnya[2]. Dalam hal ini tidak ada bedanya, apakah uang yang dikumpulkan itu akan dijadikan modal usaha, nafkah, pernikahan, atau untuk tujuan lain.

Dalilnya adalah keumuman firman Allah subhanahu wa ta’ala,

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ  

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.” (at-Taubah: 103)

Baca juga: Doa untuk Pembayar Zakat

Demikian pula keumuman sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ketika beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata kepada Muadz bin Jabal radhiallahu anhu saat hendak mengutusnya ke negeri Yaman,

أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta-harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. al-Bukhari no. 1458 dan Muslim no. 19, dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)

Uang termasuk dalam keumuman harta benda yang terkena kewajiban zakat. Sebab, uang dengan berbagai jenisnya dan sedemikian banyaknya digunakan oleh kaum muslimin, telah menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Uang sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham), menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang, sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu.

Pendapat yang benar adalah pendapat kedua, berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan.

Pendapat ini difatwakan oleh al-Lajnah ad-Daimah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dalam Fatawa al-Lajnah (9/254, 257); Ibnu Utsaimin, dalam asy-Syarhul Mumti’ (6/98—99, 101); dan guru besar kami, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i.

Karena uang yang ada saat ini merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham), dipersyaratkan padanya nishab dan haul, untuk kemudian dikeluarkan zakatnya pada akhir tahun. Hal ini sebagaimana zakat emas (dinar) dan perak (dirham).

Baca juga: Zakat Emas dan Perak

Nishabnya adalah salah satu dari nishab emas (dinar) dan perak (dirham). Nishab emas (dinar) adalah 20 dinar yang beratnya 20 mitsqal[3], yaitu 85 gram emas murni[4]. Adapun nishab perak (dirham) adalah 200 dirham yang beratnya 140 mitsqal[5], yaitu 595 gram perak murni.

Jika seseorang memiliki sejumlah uang dengan mata uang yang sama atau berbeda[6], yang nilainya mencapai harga salah satu dari dua nishab tersebut, berarti uang yang dimilikinya mencapai telah nishab.

Seandainya harga emas lebih rendah dari harga perak sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 85 gram emas murni, tetapi belum senilai dengan harga 595 gram perak murni; nishab yang digunakan adalah nishab emas.

Apabila harga perak lebih rendah sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 595 gram perak murni, tetapi belum senilai dengan harga 85 gram emas murni; nishabnya adalah nishab perak.

Baca juga: Jenis-Jenis Harta yang Diperselisihkan Zakatnya

Ketika seseorang telah memiliki uang yang jumlahnya senilai dengan salah satu dari dua nishab tersebut, sejak saat itu ia mulai menghitung haul yang harus dilewati oleh nishab tersebut sampai akhir tahun, yang merupakan waktu wajibnya zakat.

Al-Lajnah ad-Daimah berfatwa (Fatawa al-Lajnah 9/254, 257) bahwa uang yang terkena kewajiban zakat adalah uang yang nilainya mencapai nishab emas (senilai dengan harga 20 mitsqal emas), atau nilainya mencapai nishab perak (senilai dengan140 mitsqal perak) hingga akhir haul. Yang diperhitungkan dari dua nishab tersebut adalah yang terbaik bagi kalangan fakir miskin. Perhitungan nishab ini mengacu pada perbedaan harga berdasarkan perbedaan waktu dan negara masing-masing.

Baca juga: Adab Pembayaran Zakat

Artinya, apabila telah mencapai salah satu dari dua nishab tersebut dan tidak mencapai nishab yang lainnya, ia dianggap telah mencapai nishab. Dengan demikian, kaum fakir miskin berhak mendapatkan zakat dari harta tersebut karena hal itulah yang terbaik bagi mereka. Lihat Fatawa al-Lajnah (9/254).

Di masa ini, harga perak lebih rendah daripada harga emas, maka nishab uang adalah senilai nishab perak.

Jika seseorang memiliki uang senilai dengan harga 595 gram perak, berarti uangnya telah mencapai nishab[7]. Uang yang dimiliki telah terkena kewajiban zakat di akhir haulnya. Dengan syarat, jumlah uang yang merupakan nishab di awal haul harus tetap utuh jumlahnya dan tidak pernah berkurang dari nishab sampai akhir haul.

Baca juga: Menjaga Hak Orang-Orang yang Lemah

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa penetapan nishab uang yang mengikuti harga nishab perak bukan sesuatu yang bersifat pasti dan baku, karena harga perak sendiri bukan sesuatu yang sifatnya baku. Harga dan kualitas perak di pasaran pun terdapat banyak sekali perbedaan. Jadi, tidak ada harga nishab perak yang disepakati oleh seluruh kaum muslimin untuk dijadikan sebagai standar yang baku. Dengan demikian, penetapan harga nishab perak sebagai nishab uang bersifat jalan tengah saja—yang paling mendekati, bukan sesuatu yang pasti.

Setelah seseorang melakukan penjajakan harga perak dengan memperhitungkan berbagai kualitas yang ada, hendaklah dia berijtihad (berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran) dalam menetapkan nishab uang yang dimilikinya. Beberapa orang mungkin akan memiliki ijtihadnya masing-masing. Jika harga pasaran berada di atas rata-rata; apabila hartanya telah mencapai harga tersebut, berarti itu merupakan nishab baginya. Jika harga pasaran berada di bawahnya (nilai nishab), sementara ia sendiri ragu apakah sudah mencapai nishab atau belum, yang lebih selamat adalah menganggap bahwa harga itu telah mencapai nishab. Namun, apabila harganya lebih rendah dari nilai nishab, ia (harta yang dimilikinya) tidak dianggap telah mencapai nishab.

Baca juga: Golongan yang Berhak Menerima Zakat

Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga di tengah perputaran haul (tahun berjalan), yang harga tersebut terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas di bawah nishab; haulnya terputus. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga kemerosotan nilainya tidak begitu besar, tetapi ia ragu apakah masih mencapai nishab ataukah tidak; hendaknya ia mengabaikannya dan tetap menganggap bahwa itu masih mencapai nishab, dalam rangka berhati-hati.

Kemudian di akhir haul yang merupakan waktu wajibnya zakat, nilai uang tersebut dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), apakah nilainya tetap mencapai nishab atau tidak. Apabila harga perak di akhir haul mengalami kenaikan yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, berarti tidak terkena zakat. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga nilai uang tersebut masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, untuk kehati-hatian semestinya tetap dianggap mencapai nishab untuk kemudian dikeluarkan zakatnya.

Apabila uang tersebut telah mencapai nishab dan telah sempurna haulnya, ia wajib mengeluarkan zakatnya di akhir tahun. Jika jumlah uang tersebut nilainya melebihi nishab, kelebihannya juga terkena zakat, berapa pun jumlahnya. Besar zakat yang harus dikeluarkan dari uang yang jumlahnya telah mencapai atau melebihi nishab dan telah sempurna pula haulnya; adalah 1/40 (seperempat puluh) atau 2,5% (dua setengah persen), sebagaimana halnya pada zakat emas dan perak[8].

Baca juga: Golongan yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Jika uang tersebut mengalami pertambahan jumlah di tengah perputaran haul, hendaknya ia mencatat setiap tambahannya tersebut beserta waktunya secara terpisah, agar dapat mengeluarkan zakat pada setiap tambahan itu, di akhir haulnya masing-masing.

Namun, jika seseorang lebih memilih untuk mengeluarkan zakat dari total uang yang ada pada akhir haul nishab yang pertama kali dimilikinya, dengan alasan kesulitan dan berat untuk menghitung jumlah setiap tambahan tersebut dan haulnya masing-masing; berarti dia telah memajukan waktu pengeluaran zakatnya setahun sebelum waktunya tiba.

Hal ini diperbolehkan menurut jumhur (mayoritas) ulama, berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,

أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ

“Abbas bin Abdil Muththalib bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam tentang keinginannya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberinya kelonggaran untuk melakukan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan yang lainnya.)

Abu Dawud, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan al-Albani menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits “mursal”. Namun, al-Albani menyatakannya sebagai hadits “hasan” dalam Irwa’ al-Ghalil (no. 857) dengan penguat-penguat yang ada.[9]

Demikianlah hal ini terus berulang setiap tahun. Setiap kali uang yang dimilikinya telah memenuhi persyaratan nishab dan haul, ketika itu pula wajib dikeluarkan zakatnya di akhir tahunnya.[10]

Zakat Harta Perdagangan

Al-Lajnah ad-Daimah berfatwa bahwa nilai/harga harta perdagangan ikut digabungkan dengan uang yang dimiliki oleh seseorang, dalam perhitungan nishab. Sebab, yang dimaukan dari perdagangan bukanlah barang dagangan itu sendiri, melainkan untuk menghasilkan uang yang merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) pada masa ini. Jadi, ia memiliki makna yang sama dengannya. Oleh karena itu, zakat harta perdagangan diwajibkan pada nilai/harganya dan dikeluarkan zakatnya dalam bentuk uang.

Sistem perhitungan nishab dan haul serta kadar yang wajib dikeluarkan pada zakat harta perdagangan sama dengan sistem perhitungan zakat uang.

Perhitungan haul dimulai dari hari seseorang memiliki harta yang diniatkan untuk perdagangan, yang nilai/harganya mencapai salah satu dari nishab emas atau perak.[11] Di akhir tahun, saat telah sempurna haulnya, nilai/harganya dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul). Sebab, itulah waktu wajibnya zakat. Jika nilai/harganya telah mencapai nishab menurut harga saat itu, berarti telah terkena zakat sebesar 1/40 atau 2,5% dari nilai/harga tersebut dan dikeluarkan dalam bentuk uang.

Baca juga: Zakat Hewan Ternak

Akan tetapi, apakah sepanjang perputaran haul hingga akhir tahun dipersyaratkan bahwa nishab tersebut tetap bertahan dan tidak pernah berkurang? Ada dua pendapat di kalangan ulama:

  1. Hal itu dipersyaratkan, sebagaimana halnya pada zakat harta lainnya yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul.

Jika nilainya berkurang dari nishab di tengah perputaran haul, haulnya terputus. Ini adalah mazhab Imam Ahmad.

  1. Hal itu tidak dipersyaratkan.

Sebab, yang diperhitungkan pada zakat harta perdagangan adalah nilai/harganya, sedangkan untuk menghitung nilai/harganya setiap waktu sepanjang haul berjalan adalah sesuatu yang memberatkan. Ini adalah mazhab Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i.

Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam al-Mughni, membantah pendapat yang kedua, “Alasan mereka bahwa hal itu memberatkan, tidak benar. Sebab, harta perdagangan yang nilainya memang jauh dari nishab, ia tidak perlu dihitung nilai/harganya karena jelas-jelas tidak/belum mencapai nishab. Adapun yang nilainya mendekati nishab; jika ia bisa menghitung nilai/harganya (untuk mengetahui apakah telah mencapai nishab atau belum), hendaklah dia melakukannya. Jika sulit dan berat baginya, hendaknya ia berhati-hati, yaitu dengan menganggapnya tetap mencapai nishab dan ia kemudian menunaikan zakatnya di akhir tahun.”[12]

Baca juga: Zakat Biji-Bijian dan Buah-Buahan

Perlu diingat bahwa haul uang atau barang yang merupakan hasil keuntungan perdagangan mengikuti haul modal yang merupakan nishab.[13] Adapun harta lain yang ditambahkan pada modal awal, ia memiliki perhitungan haul tersendiri. Namun, jika dia mengeluarkan zakatnya pada akhir haul modal pertama yang itu merupakan nishab, berarti dia telah menyegerakan pengeluaran harta zakat yang belum sempurna haulnya, setahun sebelumnya. Hal itu dibolehkan menurut jumhur ulama.

Baca juga: Kisah Qarun, Pelajaran Penting untuk Para Hartawan

Apabila seseorang memiliki uang yang jumlahnya tidak senilai dengan nishab perak dan harta perdagangan yang nilai/harganya tidak senilai dengan nishab tersebut, tetapi jika keduanya digabungkan akan senilai dengan nishab tersebut; ia wajib untuk mengeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5% dari keseluruhan hartanya tersebut, yang telah sempurna haulnya, dalam bentuk uang.[14]

Wallahu a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Nishab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat, apabila harta yang dimiliki oleh seseorang telah mencapai nilai tersebut. Harta itu terkena kewajiban zakat. (pen.)

[2] Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu, tanpa berkurang sedikit pun dari nishabnya sampai akhir tahun.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ

“Barang siapa menghasilkan harta, tidak ada kewajiban zakat pada harta tersebut hingga berlalu satu tahun.”

Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat, dan pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan. Namun, gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga bisa dijadikan sebagai hujah. Bahkan, al-Albani menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang sahih sehingga beliau menyatakan bahwa hadits ini sahih. Ibnu Qudamah rahimahullah menyatakan dalam al-Mughni (2/392), “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini.”

Lihat pula Majmu’ Fatawa (25/14). (pen.)

Perhitungan haul ini berdasarkan tahun Hijriah dan bulan Qamariah, yang jumlahnya dua belas bulan, dari Muharram sampai Dzulhijah; bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah. Lihat al-Muhalla (no. 670), Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah (9/200). (pen.)

[3] Dalam hal ini ada beberapa hadits yang saling menguatkan antara satu dan yang lainnya. Lihat Irwa` al-Ghalil, no. 813. (pen.)

[4] Para ulama menyatakan bahwa jika ada sedikit campuran logam yang berfungsi untuk menguatkan dan mengeraskannya, hal itu tidak berpengaruh. Ia tetap memiliki hukum yang sama dengan emas murni. Sebab, emas itu lunak sehingga untuk menguatkan dan mengeraskannya dibutuhkan campuran sedikit logam. Ibarat garam yang ditambahkan pada makanan untuk penyedap rasa, karena suatu makanan tanpa garam akan terasa hambar dan kurang sedap. Lihat asy-Syarhul Mumti’ (6/103—104). (pen.)

Baca juga: Harta dari Penghasilan Haram

[5] Berdasarkan hadits dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu, yang muttafaq alaih; dan hadits dari Jabir radhiallahu anhu dalam Shahih Muslim; juga hadits dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dalam Shahih al-Bukhari tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr ash-Shiddiq dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (pen.)

[6] Seluruh jenis mata uang yang ada digabungkan dalam perhitungan nishab, karena seluruhnya memiliki makna dan tujuan yang sama. Demikian pernyataan al-Lajnah ad-Daimah dalam Fatawa al-Lajnah (9/272—276).

[7] Penetapan beliau ini berdasarkan realitas yang ada sekarang, bahwa harga nishab perak lebih murah daripada harga nishab emas. Wallahu a’lam (pen.)

[8] Terjadi kesepakatan di kalangan para ulama, bahwa zakat emas dan perak adalah 1/40 atau 2,5% berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radhiallahu anhu dalam Shahih al-Bukhari, tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Lihat Bidayatul Mujtahid (2/17) dan al-Mughni (3/6). (pen.)

[9] Adapun menyegerakan pengeluaran zakat harta yang belum mencapai nishabnya, hal ini tidak diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebab, nishab merupakan sebab (faktor) yang menjadikan suatu harta terkena kewajiban zakat. Jika sebab (faktor) tersebut belum ada, harta itu pada asalnya juga tidak terkena kewajiban zakat. (al-Mughni, 2/395—396; al-Majmu’ 6/113—114; asy-Syarhul Mumti’, 6/213—217).

[10] Inilah hukum setiap harta zakat yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul. (pen.)

Baca juga: Menyikapi Nikmat Dunia Sebagai Ujian

[11] Hal ini menurut mazhab Imam Ahmad yang difatwakan oleh al-Lajnah; dan inilah yang rajih. Lihat al-Mughni (3/24) dan Fatawa al-Lajnah (9/318). (pen.)

[12] Lihat al-Mughni (3/24—25) dan al-Majmu’ (6/14).

[13] Bidayatul Mujtahid (2/36); al-Mughni (2/393, 3/28—29); Majmu’ al-Fatawa (25/15); asy-Syarhul Mumti’ (6/23, 147—148); dan Fatawa al-Lajnah (9/321).

[14] Kami sengaja menerangkan sistem perhitungan zakat harta perdagangan di sini sebagai pedoman bagi yang mengikuti pendapat Syaikh Ibnu Baz, Ibnu Utsaimin, dan jumhur (mayoritas) ulama tentang wajibnya zakat harta perdagangan, karena kuatnya pendapat ini.

Namun, kami sendiri ragu dengan pendapat ini dan lebih condong kepada pendapat Dawud azh-Zhahiri dan muridnya, Ibnu Hazm azh-Zhahiri; yang dirajihkan oleh asy-Syaukani, al-Albani, guru besar kami, Muqbil al-Wadi’i; bahwa tidak ada zakat harta perdagangan.

Mereka berhujah bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta, kecuali ada dalil yang menetapkannya. Adapun hadits Samurah bin Jundub dan hadits Abu Dzar yang merupakan nash dalam permasalahan ini, adalah hadits dha’if (lemah) sehingga bukan suatu hujah.

Adapun qiyas (persamaan makna) dengan zakat dinar (emas) dan dirham (perak); jika melihat tujuannya, yaitu untuk menghasilkan keuntungan berupa dinar dan dirham (yang telah digantikan oleh berbagai mata uang) sehingga dianggap masuk dalam keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat pada harta emas (dinar) dan perak (dirham); hal ini perlu ditinjau ulang untuk menjadikannya sebagai hujah dalam permasalahan ini.

Sebab, meskipun benar demikian maknanya, harta perdagangan itu sendiri wujudnya masih berupa barang yang maknanya bisa saja berubah jika nanti akan digunakan untuk tujuan yang lain. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab

Lihat al-Muhalla no (641), Bidayatul Mujtahid (2/16), al-Mughni (3/23), al-Majmu’ (6/3—5), as-Sailul Jarrar (2/26—27), Tamamul Minnah (hlm. 363—368), Fatawa al-Lajnah (9/308—313), asy-Syarhul Mumti’ (6/140—141), Ijabatus Sa`il (119—120). (pen.)