Kisah Qarun, Pelajaran Penting untuk Para Hartawan

pelajaran penting untuk para hartawan

Mukadimah

Sudah bukan rahasia lagi kalau cita-cita kebanyakan orang saat ini—termasuk tak sedikit dari kaum muslimin—, adalah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya, dengan cara apa saja. Banyak pula di antara mereka yang tidak peduli dari mana harta itu mereka dapatkan, bersumber dari sesuatu yang halal ataukah haram?

Kenyataannya, banyak dari kita justru berpandangan, “Yang haram saja sulit (untuk mendapatkannya), apalagi yang halal.”

Keadaan kaum muslimin pun juga tak jauh berbeda dengan kebanyakan manusia. Bagi kaum muslimin, saat ini yang halal adalah apa yang ada di tangannya, sedangkan yang haram adalah yang tidak sampai ke tangannya. Oleh sebab itu, apa dan bagaimana caranya dia memperoleh kekayaan sudah bukan persoalan yang perlu dipikirkan. Wallahul musta’an (Allahlah yang dimintai pertolongan).

Akhirnya, pantaslah berlaku atasnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَتَأْكُلُوْنَ التُّرَاثَ اَكْلًا لَّمًّاۙ ١٩ وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ 

“Dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil), dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (al-Fajr: 1920)

Di sana-sini selalu ada pelatihan melejitkan potensi dan pengembangan diri, untuk apa? Melejitkan kedudukan dan kekayaan? Hanya seputar itu. Ada yang dengan merakit ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam, ada pula yang dengan kisah-kisah nyata ‘keberhasilan’ sejumlah konglomerat di seluruh dunia. Wallahul musta’an.

Qarun

Siapa yang tidak kenal Qarun? Kekayaannya yang berlimpah menjadi buah bibir, bahkan menjadi mimpi dan angan-angan bagi orang-orang yang datang belakangan. Sampai saat ini, setiap orang yang menemukan harta terpendam atau memperoleh kekayaan yang berlimpah, selalu disebut mendapat harta Qarun (diindonesiakan menjadi harta karun, -red.).

Siapakah Qarun dan mengapakah dia, sehingga menjadi tamsil (permisalan) bagi orang-orang yang datang sesudahnya? Pelajaran apa yang dapat diambil dari perjalanan hidupnya? Mudah-mudahan kisah ini memberi pelajaran berharga bagi kita.

Para ulama berbeda pendapat tentang nasabnya. Ada yang mengatakan dia adalah putra paman Nabi Musa alaihis salam, yaitu Qarun bin Yashhur bin Qahits bin Lewi bin Ya’qub, sedangkan Nabi Musa adalah putra Imran bin Qahits.[1]

Ahli sejarah Muhammad bin Ishaq bin Yasar berpendapat bahwa dia adalah paman Nabi Musa alaihis salam sendiri. Akan tetapi, pendapat yang masyhur adalah yang pertama. Wallahu a’lam.

Kita tidak akan mempersoalkannya lebih jauh karena berita Al-Qur’an sudah jelas menyatakan bahwa dia adalah salah seorang dari kaum Nabi Musa alaihis salam. Jadi, termasuk salah seorang dari Bani Israil, keturunan Nabi Ishaq bin Ibrahim al-Khalil alaihimas salam.

Baca juga:

Kisah Bani Israil

Sebagaimana telah dijelaskan pada beberapa edisi yang lalu, kisah-kisah yang termaktub di dalam Al-Qur’anul Karim pasti mengandung pelajaran yang sangat berharga. Akan tetapi, siapakah yang mampu memetik hikmahnya dan menerapkannya dalam kehidupannya?

Jawabnya sudah tentu orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang mempunyai akal sehat atau akal itu masih berfungsi. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَقَدْ كَانَ فِيْ قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۗ مَا كَانَ حَدِيْثًا يُّفْتَرٰى وَلٰكِنْ تَصْدِيْقَ الَّذِيْ بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيْلَ كُلِّ شَيْءٍ وَّهُدًى وَّرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ 

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (Yusuf: 111)

Kisah ini diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala sesudah memaparkan tentang Fir’aun dan kekuasaannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

اِنَّ قَارُوْنَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوْسٰى فَبَغٰى عَلَيْهِمْ ۖوَاٰتَيْنٰهُ مِنَ الْكُنُوْزِ مَآ اِنَّ مَفَاتِحَهٗ لَتَنُوْۤاُ بِالْعُصْبَةِ اُولِى الْقُوَّةِ اِذْ قَالَ لَهٗ قَوْمُهٗ لَا تَفْرَحْ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ ٧٦ وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ٧٧ قَالَ اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْۗ اَوَلَمْ يَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ قَدْ اَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهٖ مِنَ الْقُرُوْنِ مَنْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَّاَكْثَرُ جَمْعًا ۗوَلَا يُسْـَٔلُ عَنْ ذُنُوْبِهِمُ الْمُجْرِمُوْنَ ٧٨ فَخَرَجَ عَلٰى قَوْمِهٖ فِيْ زِيْنَتِهٖ ۗقَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا يٰلَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَآ اُوْتِيَ قَارُوْنُۙ اِنَّهٗ لَذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ ٧٩ وَقَالَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللّٰهِ خَيْرٌ لِّمَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ۚوَلَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا الصّٰبِرُوْنَ ٨٠ فَخَسَفْنَا بِهٖ وَبِدَارِهِ الْاَرْضَ ۗفَمَا كَانَ لَهٗ مِنْ فِئَةٍ يَّنْصُرُوْنَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۖوَمَا كَانَ مِنَ الْمُنْتَصِرِيْنَ ٨١

Sesungguhnya Qarun adalah termasuk kaum Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat.

(Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bangga. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri.” Carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi; berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Baca juga:

Mengutamakan Akhirat di Atas Dunia

Qarun berkata, “Sesungguhnya aku diberi harta itu tidak lain karena ilmu yang ada padaku.” Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.

Keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun. Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.”

Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta tidak diperoleh pahala itu, melainkan oleh orang-orang yang sabar.”

Kami benamkanlah Qarun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya dari azab Allah, dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (al-Qashash: 76—81)

Dalam ayat-ayat ini, Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan keadaan Qarun, perbuatannya, dan apa yang diterimanya, termasuk nasihat dan peringatan yang sampai kepadanya dengan jelas dan gamblang.

Qarun adalah salah seorang kaum Nabi Musa alaihis salam. Termasuk salah seorang di antara Bani Israil yang telah dilebihkan oleh Allah ‘azza wa jalla di atas manusia pada masa itu. Akan tetapi, Qarun justru melampaui batas dan zalim terhadap sesamanya. Dia merasa dirinya serba lebih dari orang lain karena diberi harta yang berlimpah. Harta itu demikian banyaknya, sampai-sampai kunci gudang hartanya harus dipikul oleh beberapa pria yang kekar.

Baca juga:

Menyikapi Nikmat Dunia sebagai Ujian

Entah sudah berapa banyak orang yang berilmu memberi nasihat dan mengingatkan Qarun agar tidak merasa bangga dan melampaui batas terhadap orang lain dengan harta yang dimilikinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِيْنَ ٧٦ وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ

“Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat.”

Demikianlah nasihat yang mereka berikan kepada Qarun. Artinya, hendaklah yang menjadi tekad dan cita-cita atau tujuan hidupmu adalah mencari pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala di akhirat (surga). Sebab, itulah kesenangan yang lebih baik dan lebih kekal. Akan tetapi, jangan pula melupakan bagianmu dari urusan dunia ini. Carilah dengan hartamu itu apa yang sudah dihalalkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untukmu, dan berbuat baiklah, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berbuat baik kepadamu.

Jangan sekali-kali engkau melakukan perbuatan yang merusak—dengan berbuat jahat kepada hamba Allah subhanahu wa ta’ala—sebagai balasanmu atas kebaikan yang telah diberikan oleh Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Begitu lembut nasihat mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menginginkan kebaikan bagi Qarun. Itulah salah satu bukti keimanan sekaligus tanda cinta terhadap sesama muslim di dalam hati mereka yang memberi nasihat tersebut. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحبُّ لِنَفْسِه

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya.”[2]

Baca juga:

Mencintai Orang Beriman dan Membenci Orang Kafir, Tali KeimananTerkokoh dalam Islam

Akan tetapi, Qarun tidak menerima nasihat dan peringatan tersebut, bahkan menyombongkan diri dan melampaui batas. Dia berkata (sebagaimana dalam ayat),

قَالَ اِنَّمَآ اُوْتِيْتُهٗ عَلٰى عِلْمٍ عِنْدِيْۗ

“Sesungguhnya aku diberi harta itu tidak lain karena ilmu yang ada padaku.”

Artinya, dia mengatakan kepada mereka bahwa harta yang dimilikinya itu diperolehnya karena pengetahuannya tentang berbagai bentuk usaha dan sebab kecerdasannya. Atau karena ilmu Allah subhanahu wa ta’ala bahwa dia memang pantas menerimanya. Oleh sebab itu, mereka tidak perlu menasihatinya tentang apa yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya.

Alangkah halusnya sebuah kesyirikan. Begitu perlahan dia menyelinap dalam hati setiap orang, bagai langkah-langkah semut hitam di atas batu hitam di dalam kegelapan malam yang pekat. Betapa kita sering mengucapkan, “Kalau tidak ada dia, pasti kita gagal atau celaka,” “Untung ada satpam,” atau kalimat lain yang mengandung ungkapan lupa terhadap Allah subhanahu wa ta’ala yang memberinya nikmat. Padahal, kalimat-kalimat ini ternyata masuk dalam syirik ashghar (syirik kecil).[3]

Syirik ashghar ini mengurangi kesempurnaan tauhid, bahkan bisa menyeret pemiliknya kepada syirik akbar, yang apabila dia mati sebelum bertobat, akan kekal di neraka selama-lamanya.

Baca juga:

Syirik

Oleh karena itu, tidak selayaknya kita menyandarkan kesenangan atau keberhasilan kita kepada sesuatu selain Allah subhanahu wa ta’ala. Dialah yang menjadikan semua sebab. Dia pula yang menjadikan akibat dari sebab tersebut. Dia pula yang menentukan akibat itu berhubungan dengan sebabnya ataukah tidak.

Seperti itu pula kenyataan yang ada di sekitar kita. Betapa banyak orang-orang yang ‘berhasil’ dalam urusan dunianya—ataupun akhiratnya—, menyandarkan keberhasilan/kesuksesan itu kepada keuletan, kesungguhan, kecerdasan, kemauan belajar, dan etos kerjanya untuk meraih keberhasilan tersebut.

Mereka lupa bahwa Allahlah yang memberi karunia kepada mereka berupa keberhasilan tersebut. Allahlah yang memberi jalan kepada mereka, memudahkan berbagai urusan mereka untuk meraih sesuatu yang dianggap ‘keberhasilan’ itu.

Mulai dari pemikiran, perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan, pengembangan, dan seterusnya. Semua itu adalah karunia Allah subhanahu wa ta’ala, di awal perjalanan kariernya, dan di akhir setiap usahanya, bahkan kehidupannya.

Kebanyakan kita tidak menyadari, apabila rezeki-rezeki kita terhalang dari satu pintu, pasti akan terbuka melalui pintu yang lain.

Perhatikanlah janin di dalam rahim ibunya. Apa usahanya mencari rezeki demi kelangsungan hidupnya? Dari mana rezekinya (makanannya)? Dari ibunya, melalui plasenta. Itulah jalan satu-satunya.

Siapa yang mengatur rezeki itu agar sampai kepada janin tersebut? Allah Yang Mahakuasa, Yang Maha Mengatur lagi Maha Penyayang.

Setelah dia lahir, dari mana rezekinya? Ingat, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَاللّٰهُ اَخْرَجَكُمْ مِّنْۢ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ شَيْـًٔاۙ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun.” (an-Nahl: 78)

Baca juga:

Rezeki Tidak Sama, Apa Hikmahnya?

Tentu saja termasuk sesuatu yang tidak dia ketahui adalah usaha mencari rezeki. Akan tetapi, dengan rahmat-Nya, bayi itu memperoleh rezeki berupa ASI dan makanan tambahan, yang lebih lezat daripada makanannya yang pertama selama di dalam rahim.

Setelah sempurna penyusuan, minimal dua tahun, dia disapih, maka dari mana lagi rezekinya?

Ternyata Allah subhanahu wa ta’ala masih membukakan pintu rezekinya berupa dua jenis makanan (nabati dan hewani) dan dua jenis minuman (air dan susu).

Setelah dia mati, tertutuplah jalur makanan dan minumannya. Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala masih memberinya rezeki—kalau dia termasuk golongan kanan—dari delapan jalur, yaitu delapan pintu surga yang boleh dimasukinya dari pintu mana saja.

Itulah kekuasaan dan kemurahan Allah subhanahu wa ta’ala. Dia tidaklah menghalangi seorang mukmin pun dari dunia sama sekali, tetapi justru memberinya sesuatu yang lebih berharga dan bermanfaat, yang tidak diberikan-Nya kepada selain mukmin.

Baca juga:

Jangan Terpikat dengan Dunia

Rasulullah shallahu alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia ini di sisi Allah setara dengan sehelai sayap nyamuk, niscaya Dia tidak akan memberi minum seorang kafir pun meskipun seteguk air.”[4]

Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu pernah mengatakan,

“Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memberikan harta itu kepada siapa saja, baik yang dicintai-Nya maupun tidak. Akan tetapi, Dia tidak memberikan keimanan itu selain kepada yang Dia cintai.”

Ikuti kelanjutan kisahnya…


Catatan Kaki

[1] Demikian dinukil dari Qatadah dan an-Nakha’i serta yang lainnya. Wallahu a’lam.

[2] HR. al-Bukhari no. 13 dan Muslim (1/49, no. 45 dan 71).

[3] Pelakunya tidak keluar dari Islam, tetapi melakukan salah satu dosa yang paling besar. Wallahu a’lam.

[4] HR. Ibnu Majah (no. 4110), at-Tirmidzi (no. 2320), dan kata beliau, “Hadits ini shahih gharib.”

Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Harits